Sebelumya, warga Palestina ini hidup di bawah pemerintahan Yordania dan Mesir, kemudian menjadi sasaran pendudukan militer Israel.
Meski demikian, menurut Khaled dalam biografi tersebut, perhatian dunia ke Palestina sendiri sangatlah minim. Mereka dipandang oleh Barat sebagai pengungsi kecil yang dirampas, terjebak dalam permusuhan antara orang Yahudi dan Arab di Timur Tengah, dan tidak terlalu penting, kecuali sebagai alasan untuk menjadi korban agresi kekuatan-kekuatan Arab.
Baca Juga: Palestina Meratap: Rakyat Israel Tuding Negaranya Lakukan Genosida
Selama dekade itu, menurut Khaled, muncul ketidakpuasan di antara orang-orang Palestina di kamp-kamp pengungsi di Yordania, Lebanon, dan Suriah. Sebuah gerakan perlawanan rakyat Palestina pun tumbuh pada pertengahan 1960-an.
Gerakan ini kian , diradikalisasi, dan dipopulerkan usai Perang Enam Hari, dan lewat kecurigaan warga Palestina sendiri atas dukungan kosong rezim negara-negara Arab. Kemunculan pertama PRM telah menuai pemujaan kepahlawanan yang meluas dari sudut pandang opini publik Arab.
PRM pun dianggap sebagai 'malaikat' dan 'penyelamat'. Dukungan semacam ini untuk sementara waktu telah memberikan tekanan kepada rezim-rezim Arab untuk memberikan dukungan resmi sehingga menempatkan PRM secara tepat dalam kerangka perjuangan Dunia Ketiga melawan dominasi ekonomi dan politik AS.
PRM kemudian merevitalisasi elemen-elemen radikal di dunia Arab, dan mengungkap karakter sebenarnya dari rezim-rezim [Arab reaksioner].
Aksi Khaled membajak pesawat yang terpaksa mendarataudrey di London, membuat namanya disejajarkan dengan Che Guevara. Poster Khaled pun terpampang di ribuan dinding di Palestina.
Baca Juga: Polisi Jerman Grebek Tiga Entitas Hizbullah, Depdagri: Teroris tak Aman di Sini
Pada dekade 2000-an, Khaled menjadi pola dasar bagi para revolusioner Palestina terutama kaum perempuan. Aksi-asi Khaled membuatnya muncul dalam berbagai diskusi yang bertemakan taktik perjuangan pembebasan Palestina, dan emanisipasi politik kaum perempuan Timur Tengah.