Berdasarkan kesepakatan tersebut, IAEA menempatkan sekitar 2.000 segel anti-rusak di bahan dan peralatan nuklir. Segel itu dikomunikasikan secara elektronik kepada inspektur. Alat pengukur otomatis juga menyediakan data real-time dari program.
Pembicaraan saat ini sedang berlangsung di Wina agar AS bergabung kembali dengan kesepakatan tersebut, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Baca Juga: Kebas Bisa Jadi Pertanda Anda Mengidap Penyakit Mematikan, Perhatikan 25 Ciri Berikut
Sejak penarikan AS dari perjanjian tersebut, Iran terus-menerus melanggar berbagai batasannya, termasuk jenis sentrifugal yang diizinkan untuk digunakan, jumlah uranium yang diperkaya yang diizinkan untuk ditimbun, dan kemurnian yang diizinkan untuk diperkaya.
Dalam laporan IAEA, badan tersebut untuk kali pertama merilis perkiraan persediaan Iran daripada angka yang tepat, dengan menyatakan bahwa pada 22 Mei 2021, total persediaan uranium yang diperkaya Iran adalah 3.241 kilogram (7.145 pon), naik sekitar 273 kilogram (600 pon), dari laporan triwulanan terakhir.
Angka ini turun dari peningkatan hampir 525 kilogram (1.157 pon), yang dilaporkan dalam laporan kuartalan terakhir. Meskipun tidak segera jelas penyebab terjadinya penurunan, itu terjadi sebagai dampak dari meledaknya fasilitas nuklir bawah tanah Iran di Natanz pada April 2021, yang mempengaruhi sentrifugal di sana.
Iran sendiri belum menawarkan laporan lengkap dan belum berkomentar terbuka tentang apa yang terjadi dalam serangan yang digambarkannya sebagai 'terorisme nuklir' Israel, yang secara luas diduga melakukan serangan itu.
Baca Juga: Joe Biden Menangis di Pemakaman tak Dikenal
AS tak Langsung Hadiri Perundingan
Kesepakatan nuklir yang ditandatangani pada 2015 dengan AS, Jerman, Prancis, Inggris, China, dan Rusia, hanya mengizinkan Iran untuk menyimpan total persediaan uranium yang diperkaya 202,8 kilogram (447 pon).