Palestina kian Berdarah: Teganya Bos-bos Hamas Hidup Bermewah-mewah di Qatar

- 18 Mei 2021, 15:45 WIB
 Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh /DOK.REUTERS/
Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh /DOK.REUTERS/ /REUTERS

KALBAR TERKINI - Perang tanpa berkesudahan dengan Israel telah membawa kesengsaraan bagi lebih dua juta warga Palestina. Derita terjadi merata, begitu pula korban jiwa baik di kalangan warga Otoritas Palestina yang beragama Muslim, Nasrani dan Yahudi.

Interes politik di antara partai-partai politik di Palestina membuat rakyat sulit untuk hidup aman dan sejahtera.  Di kalangan kaum tua yang sudah mengalami hidup penuh derita selama berdekade-dekade, semuanya seimbang: menyalahkan Israel, Otoritas Palestina, dan juga Hamas.

Khusus Hamas, dianggap tidak bertanggung jawab atas nasib dan keamanan mereka.

Dikutip  Kalbar-Terkini.com dari The Arab Weekly, Rabu,  3 Februari 2021, kenyataan ironis terlihat dari realitas kehidupan di Palestina terutama di Gaza serta para pemimpin Hamas. Para pemimpin Hamas hidup dalam kemewahan,  sementara warga Gaza menderita. Warga hanya bisa menggerutu secara pribadi, dan jarang berbicara menentang Hamas, kelompok yang memiliki sejarah mengurung kritik.

Baca Juga: Iran Tuding AS Suplai Roket Mematikan ke Israel

Pemimpin Hamas,  Ismail Haniyeh terkenal berjanji untuk hidup dengan zeit wa zaatar (minyak zaitun dan herba kering) setelah memimpin kelompok militan Islam itu dalam meraih kemenangan dengan pesan perjuangan bersenjata,  dan penghematan selama Pemilu Palestina pada 2006.

Toh Haniyeh  tidak hidup di Gaza. Haniyeh meninggalkan Jalur Gaza yang miskin bersama beberapa pemimpin Hamas lainnya. Mereka hidup dalam kemewahan,  mondar-mandir antara Turki dan Qatar.  

Itu sebabnya dengan pemilihan baru,  yang direncanakan digelar pada musim semi 2021 ini, Hamas diyakini akan menjadi pihak yang tidak diunggulkan karena Hamas berada di atas prinsip-prinsipnya:  berjuang untuk kenyamanan materi kelompok.

Masih harus dilihat apakah pemilihan yang diputuskan oleh Presiden Mahmoud Abbas,  presiden terpilih untuk Otoritas Nasional Palestina (PNA) sejak 9 Januari 2005, benar-benar akan diadakan atau tidak.

Baca Juga: Roket Hamas Disuplai dari Sudan, Hizbullah: Fabriknya Dibangun Iran

Banyak hal bergantung pada apakah partai sekuler Fatah dan Hamas,  dapat mencapai kesepakatan untuk mengatasi perpecahan pahit, yang telah mencegah upaya sebelumnya untuk mengadakan pemungutan suara.

Tapi sudah jelas citra Hamas di antara banyak warga Palestina.  Bahkan yang pernah menjadi pendukung Hamas, telah menderita sejak 2007, ketika Hamas merebut Gaza dari pasukan Abbas dalam sepekan pertempuran jalanan yang berdarah.

Sejak itu, Hamas telah mendirikan negara bayangan sendiri, dengan layanan sipil,  dan pasukan keamanannya sendiri. Negara bayangan itu telah berjuang untuk memberikan layanan dasar,  bahkan dengan ekonomi Gaza yang hancur oleh tiga perang dengan Israel dan blokade Israel-Mesir yang melumpuhkan.

Perang itu juga  telah membatasi dua juta orang di wilayah itu, yang sering disebut oleh orang Palestina sendiri sebagai 'penjara terbuka terbesar di dunia'. Bahkan, beberapa pemimpinnya telah meninggalkan Gaza,  dan tidak membantu.

Baca Juga: Palestina makin Gawat, Yordania Lindungi Situs Suci Islam dan Nasrani

Rakyat Menggerutu 

Para pemimpin Hamas yang naik pangkat dari kelompok militan bawah tanah,  telah menukar pakaian jalanan dan sepeda motor mereka,  digantikan dengan setelan bisnis dan SUV yang mengkilap.

Beberapa di antara mereka, seperti Haniyeh, telah pergi ke hotel mewah di Turki dan Qatar, meninggalkan pejabat berpangkat lebih rendah dan warga Palestina biasa. 

“Setiap tahun, situasinya berubah,  dari buruk menjadi lebih buruk,” kata Youssef Ahmed, yang bekerja di warung makan di pasar timur Kota Gaza. “Orang tidak punya uang untuk membeli barang-barang dasar kebutuhan rumah tangga.” 

Ahmed mengaku menyalahkan 'semua orang': Hamas, Israel, dan Otoritas Palestina pimpinan Abbas.  

Namun menurutnya, karena mengklaim sebagai penguasa maka  seharusnya Hamas memiliki tanggung jawab khusus.   

Haniyeh, yang menjadi Perdana Penteri Palestina setelah Pemilu 2006,  dan sekarang menjadi pemimpin keseluruhan Hamas, meninggalkan Gaza pada 2019,  karena menurut Hamas sebagai tur luar negeri sementara.  

Sebuah video baru-baru ini yang muncul di media sosial menunjukkan: Haniyeh bermain sepak bola di lapangan yang terawat rapi di bawah gedung pencakar langit kaca di Qatar yang kaya gas, jauh dari Kamp Pengungsi Pantai di Kota Gaza, tempatnya  dilahirkan,  dan masih memiliki rumah keluarga.  

Baca Juga: Austria Kibarkan Bendera Israel, Iran 'Ngambek'

Video lain menunjukkan: Haniyeh dalam setelan khusus,  yang dikelilingi oleh pengawal, dan disambut oleh pejabat di Qatar di acara karpet merah. 

Sementara di Gaza dan umumnya Palestina, terjadi 50 persen pengangguran, seringnya pemadaman listrik,  dan air leding yang tercemar.

Hal ini sebagian besar karena blokade, yang menurut pihak Israel,  diperlukan untuk mencegah Hamas mengimpor senjata.  

Israel dan sebagian besar negara Barat menganggap Hamas sebagai kelompok teroris, karena Hamas telah melakukan sejumlah serangan selama bertahun-tahun, termasuk pemboman bunuh diri, yang menewaskan ratusan warga sipil Israel.  

Perselisihan berkepanjangan antara Hamas dan Otoritas Palestina alias dari pihak Abbas atas penyediaan bantuan dan layanan ke Gaza, juga  telah memperburuk keadaan. Hamas menyalahkan penderitaan Gaza ke pihak Abbas, Israel, dan komunitas internasional. 

“Ada kesadaran populer bahwa itu bukan kesalahan Hamas, dan pihak eksternal ingin merusak pengalaman demokrasi,” kata juru bicara Hamas, Hazem Qassem.  

Baca Juga: Palestina kian Mengerikan: Iran Korek Luka Lama Arab ketika Dikalahkan Israel

Menurutnya,  Hamas masih memiliki dukungan populer 'besar', dan akan memenangkan mayoritas dalam pemilihan mendatang.  

Ditambahkan, anggota Hamas di Gaza juga menderita akibat perang, isolasi, dan keruntuhan ekonomi. 

Meski demikian, penderitaan tidak terbagi secara merata. Qatar telah mengirimkan bantuan ratusan juta dolar AS ke Gaza dalam beberapa tahun terakhir untuk menopang gencatan senjata tidak resmi.

Uang itu telah memungkinkan pemerintah yang dikelola Hamas untuk membayar pegawai sipilnya.

Saat uang terus mengucur dari Qatar, ironisnya, Hamas terus mengenakan pajak atas impor, ekspor, bisnis, dan tembakau yang dibenci oleh umumnya orang Palestina karena hanya menambah penderitaan mereka.  

Baca Juga: Masjid di Kabul Dibom: Imam dan 11 Jamaah Tewas

Pasukan keamanan Hamas dengan keras menindak protes terhadap tindakan tersebut. 

Dalam contoh lain dari ketidaksetaraan di Gaza adalah di 'jalur cepat'. Jalur ini  melalui penyeberangan Rafah dengan Mesir, satu-satunya cara bagi sebagian besar warga Gaza untuk masuk dan keluar dari wilayah tersebut.

Jalur ini hanya aman bagi siapa saja yang dapat membayar biaya tinggi,  atau memiliki koneksi dengan pejabat di Mesir .  

Dalam beberapa bulan terakhir, tiga putra Haniyeh telah muncul dalam daftar, yang dipublikasikan oleh kementerian dalam negeri yang dikelola Hamas.  

Wisatawan pun harus melalui proses perizinan yang panjang. 

Ahmed Yousef, mantan penasihat Haniyeh,  yang telah pindah ke Istanbul, mengakui bahwa Hamas telah gagal mencapai cita-cita yang dianutnya. 

“Kami menampilkan diri kami sebagai gerakan kerakyatan, bukan gerakan elit atau faksi. Jadi,  ini seharusnya mewajibkan kami untuk menangani kebutuhan dan masalah rakyat dengan lebih baik,” katanya. 

Akram Atallah, kolumnis lama untuk surat kabar Al-Ayyam yang berbasis di Tepi Barat,  yang pindah dari Gaza ke London pada 2019, menyatakan bahwa Hamas telah mencoba menggunakan 'dualitas': sebagai pemerintah,  dan kelompok militan untuk keuntungannya.

"Ketika disalahkan karena tidak memberikan layanan dasar,  Hamas mengklaim sebagai kelompok perlawanan. Ketika dikritik karena memberlakukan pajak,  Hamas berdalih bahwa pihaknya adalah pemerintahan yang sah," katanya.

Baca Juga: Pendeta Palestina Ajak Lindungi Masjid Al Aqsa, Musallam: Kami Tak Akan Biarkan Rumah Orang Muslim Direbut

Pemilihan Ganda 

Hamas mungkin masih berhasil dalam pemilu apa pun, jika hanya karena pesaing utamanya, Fatah, memiliki catatan kegagalan yang lebih lama.

Reputasi Fatah sendiri juga dipenuhi oleh individu-individu korup,  yang lebih tertarik menikmati keuntungan dari status VIP dengan Israel,  daripada memajukan perjuangan untuk menjadi negara bagian. 

Jajak pendapat pada Desember 2020,  yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina,  menemukan adanya dukungan untuk partai-partai itu hampir mendekati - 38 persen untuk Hamas, dibandingkan dengan 34 persen untuk Fatah.   

Tetapi,  Haniyeh diperkirakan akan dengan mudah mengalahkan Abbas dalam pemilihan presiden.  

Kelompok itu mensurvei 1.270 warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza, dengan margin kesalahan tiga poin persentase. 

"Dengan asumsi jika pemilihan diadakan,  diprediksi bahwa Fatah dan Hamas akan mendominasi parlemen berikutnya, tetapi tidak ada yang akan memiliki mayoritas," kata Khalil Shikaki, kepala pusat penelitian tersebut.  

Dia menambahkan,  kandidat independen dan faksi yang lebih kecil,  akan memenangkan kursi yang tersisa. 

Atallah, seorang jurnalis, menyatakan  bahwa Hamas masih dapat menarik 'emosi rakyat', tetapi penahanan yang dulu dialami oleh banyak orang telah memudarkan impian itu.

"Orang-orang mengetahui bahwa para pemimpinnya hidup jauh lebih baik daripada yang sudah mereka lakukan bagi warga," ujarnya.*** 

 

Sumber: The Arab Weekly

 

 

 

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah