Piagam HAMAS
Piagam HAMAS 1988 menyatakan, HAMAS 'berusaha untuk menaikkan bendera Allah di setiap inci dari Palestina (Pasal VI). Pasal 31 menyatakan, salah satu dari piagam negara, maka 'di bawah sayap Islam', adalah mungkin bagi para pengikut tiga agama: Islam, Kristen dan Yahudi untuk hidup berdampingan dalam damai dan tenang satu sama lain.
Setelah pemilu 2006, pendiri HAMAS Mahmoud Al-Zahar tidak menutup kemungkinan menerima 'solusi dua-negara sementara', dan menyatakan bahwa ia bermimpi 'menggantung peta besar dunia di dinding rumahnya di Gaza, yang tidak menunjukkan Israel di atasnya'.
Kantor berita China Xinhua melaporkan, Al-Zahar tidak menutup kemungkinan memiliki Yahudi, Muslim dan Kristen hidup di bawah kedaulatan sebuah negara Islam.
Pada akhir 2006, Ismail Haniyeh, pemimpin politik HAMAS menegaskan, jika negara Palestina terbentuk berdasarkan batas 1967, maka HAMAS bersedia untuk menyatakan gencatan senjata, yang bisa bertahan selama 20 tahun, dan HAMAS tidak akan pernah mengakui 'perampas pemerintah yakni Zionis, dan akan terus berjihad sampai pembebasan Yerusalem'.
Israel telah menolak beberapa tawaran gencatan senjata dengan Hamas, karena berpendapat bahwa kelompok itu menggunakan upaya genjatan untuk mempersiapkan pertempuran yang lebih besar ketimbang tujuan perdamaian.
Kolumnis Majalah Atlantic, Jeffrey Goldberg bersama analis lain percaya bahwa HAMAS mungkin tidak mampu melakukan rekonsiliasi permanen dengan Israel.
Mkhaimer Abusada, seorang ilmuwan politik di Universitas Al Azhar, menulis, perundingan HAMAS dari hudna [gencatan senjata sementara], bukan perdamaian atau rekonsiliasi dengan Israel. Mereka percaya dari waktu ke waktu, HAMAS akan cukup kuat untuk membebaskan semua Palestina.
Baca Juga: Palestina Diperebutkan Ribuan Tahun: Darah terus Mengalir di 'Tanah Perjanjian'