Kolaborasi China-Rusia Siap Tumbangkan Hegemoni AS

- 26 Mei 2021, 18:04 WIB
KOLABORASI - Kolaborasi China- Rusia diyakini akan mampu menumbangkan keangkuhan hegemoni AS./ IMAGE: SPUTNIK NEWS/CAPTION: OKTAVIANUS CORNELIS/
KOLABORASI - Kolaborasi China- Rusia diyakini akan mampu menumbangkan keangkuhan hegemoni AS./ IMAGE: SPUTNIK NEWS/CAPTION: OKTAVIANUS CORNELIS/ /SPUTNIK NEWS

KALBAR TERKINI - Kian menguatnya hubungan China dan Rusia tak lain terkait upaya kedua negara raksasa ini untuk membentuk suatu tatanan regional baru dalam melawan hegemoni AS. Kristalisasi China-Rusia tercipta karena sikap AS yang terus memusuhi keduanya. 

China dan Rusia diklaim tak pernah ingin memancing permusuhan dengan AS apalagi hingga terjadi perang terbuka. Kekompakan mereka ini karena sikap AS sendiri yang dianggap khususnya oleh China: tidak bersahabat, tidak menghormati , mengabaikan protokol diplomatik dan praktik umum internasional. 

Sebagaimana dikutip Kalbar-Terkini.com dari Global Times, Senin, 24 Mei 2021, kalangan analisis di China mengklaim,  China sebenarnya sudah mengirim sinyal persahabatan untuk pembicaraan antara menteri pertahanan China dan AS pada 22 Januari 2021,  ketika Lloyd Austin dilantik sebagai Menteri Pertahanan AS,  tetapi tidak pernah ditanggapi.

Austin ketika itu justru meminta bertemu dengan pemimpin lain di Komisi Militer Pusat (KMP) Tiongkok. 

Baca Juga: Rakyat Suriah Ditekan Pilih Al-Assad, Kota-kota pun Dilanda Protes

KMP sendiri merupakan organisasi paralel pertahanan nasional Partai Komunis Tiongkok dan Republik Rakyat Tiongkok.  Kedua komisi ini sekarang diketuai oleh Xi Jinping yang menjabat Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok sekaligus pemimpin tertinggi Tiongkok. 

Menurut seorang sumber di China, sikap Austin ini tidak profesional, tidak bersahabat dengan mengabaikan protokol diplomatik dan praktik umum internasional. Pernyataan sumber ini juga untuk menanggapi  laporan media baru-baru ini, yang mengklaim bahwa China menolak permintaan Austin untuk pembicaraan militer tingkat tinggi.

Laporan tersebut, yang diterbitkan oleh Financial Times pada Jumat, 21 Mei 2021,  mengutip pernyataan seorang pejabat pertahanan AS yang tidak disebutkan namanya.  Austin disebut membuat tiga permintaan untuk berbicara dengan Xu Qiliang, anggota Komite Sentral Biro Politik Partai Komunis China (CPC),  dan wakil ketua dari KMP, tetapi Tiongkok menolak untuk terlibat.

Laporan itu juga menuduh China memperumit hubungan bilateral dengan menolak permintaan pembicaraan. Menurut sumber di China ini, sebagaimana dilansir Global Times, laporan ini tidaklah  benar, dan informasi dari sumber yang dikutip juga tidak akurat.

China sendiri selama ini diklaim selalu mementingkan hubungannya dengan AS, hubungan militer-ke-militer kedua negara, pertukaran,  dan komunikasi antara para pemimpin pertahanan dan militer kedua negara.

Ketika Austin menjabat  Menteri Pertahanan AS, China mengirim surat ucapan selamat melalui saluran diplomatik militer. China dalam ucapan itu menyatakan keinginan positifnya untuk berkomunikasi dengan AS, mengelola risiko dan tantangan, serta mengembangkan hubungan militer-ke-militer.

Sumber itu mengungkapkan,  China juga mengusulkan agar menteri  pertahanan kedua negara mengadakan pembicaraan pada waktu yang tepat. Dan,  ini menunjukkan tanda eksplisit bahwa China telah berusaha untuk mengembangkan hubungan militer dan meningkatkan komunikasi strategis.

Baca Juga: Whatsupp Bahayakan Negara: Dituntut Hapus Enskpripsi End-to-End

Namun, menurut sumber, AS menutup mata terhadap niat baik dan ketulusan China, mengabaikan protokol diplomatik dan praktik umum internasional,  dan tidak menanggapi surat ucapan selamat China.

"Tetapi kemudian,  (Austin) meminta untuk berbicara dengan pemimpin militer China lainnya di KMP, yang merupakan suatu langkah. yang tidak profesional,  tidak ramah," kecam sumber. 

Sekarang ini, lanjutnya, AS merilis informasi yang tidak akurat melalui pers,  dan berusaha untuk mengalihkan kesalahan ke China atas fakta bahwa tidak ada pembicaraan militer tingkat tinggi yang terjadi sejauh ini. "Ini tidak bertanggung jawab,"  kata sumber. 

AS Diklaim Cari Untung
Menurutnya,  AS selalu ingin bergaul dengan China dari posisi yang menguntungkan, menetapkan prasyarat untuk hubungan militer-ke-militer, sementara China selalu menekankan bahwa saling menghormati dan saling menguntungkan dalam kerja sama,  adalah cara untuk menuju hubungan bilateral. 

Sumber tersebut mencatat bahwa selama AS dapat mematuhi prinsip ini, maka komunikasi dan pembicaraan akan terbuka lebar di semua tingkatan antara militer China dan AS. 

Kaitannya untuk mempererat kerjasama kedua negara, China dan Rusia menggelar  putaran baru terkait konsultasi keamanan strategis pada Selasa, 25 Mei 2021 di Moskow, Ibu Kota Rusia.  

Seringnya interaksi yang sering terjadi antara dua kekuatan besar dalam beberapa bulan terakhir, menurut Global Times, dunia telah melihat bahwa terjadi tren kekacauan atau ketegangan yang berbahaya di beberapa kawasan, termasuk Timur Tengah, Eropa Timur, Asia Tengah dan Pasifik Barat, karena pergeseran strategis global yang dilakukan oleh AS.

Analis di China menegaskan,  perubahan baru-baru ini umumnya disebabkan oleh penurunan hegemoni AS. Bahkan,  tekanan dan permusuhan AS akan mendorong China dan Rusia untuk berdiri lebih dekat.

Terjadinya penurunan kekuatan dan pengaruh Washington di beberapa kawasan,  juga akan membuat Beijing dan Moskow mempertimbangkan bagaimana mencari tatanan regional baru,  untuk menstabilkan situasi,  dan melindungi kepentingan mereka termasuk setelah penarikan AS dari Afghanistan. 

Baca Juga: Giant Seluruh Indonesia Akhirnya Ditutup, PT Hero Ungkapkan Beratnya Bisnis Ritel Ditengah Pandemi Covis-19

Diplomat top China Yang Jiechi dan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev memimpin bersama putaran ke-16 konsultasi keamanan strategis pada Selasa, itu, yang merupakan pertemuan tingkat tinggi yang berfokus pada kerja sama strategis dalam menghadapi ancaman keamanan regional dan global serta geopolitik. 

Yang, anggota Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis China (CPC) dan direktur Kantor Komisi Urusan Luar Negeri dari Komite Sentral CPC, menyampaikan pesan dari Presiden China Xi Jinping dalam konferensi telepon dengan Presiden Rusia.

Vladimir Putin pada Selasa menegaskan kembali hubungan bilateral antara China dan Rusia. Presiden Rusia berharap supaya Yang menyampaikan salamnya untuk Xi,  dan dua pemimpin puncak akan menjaga komunikasi yang erat.

Kedua belah pihak juga membahas masalah-masalah yang terkait dengan kemitraan strategis komprehensif China-Rusia, menegaskan kembali pentingnya Treaty of Good-Neighbourhood and Friendly Cooperation antara China dan Rusia,  dan perayaan ulang tahun ke-20 penandatanganan perjanjian tersebut, selain sejumlah topik hangat tentang urusan global. 

Yang juga akan mengunjungi dua negara Eropa Timur dan anggota UE - Slovenia dan Kroasia  setelah kunjungannya ke Rusia. 

'Ogah' Tantang AS 

Meskipun China dan Rusia  berulang kali menyatakan tidak berniat menantang AS , dan kerja sama China-Rusia tidak akan menargetkan pihak ketiga mana pun, tapi meningkatnya tekanan dari AS dan sekutunya selalu menjadi topik utama di meja diskusi China-Rusia.   

Rusia diklaim menunjukkan solidaritas ke China setelah Yang menyatakan kepada Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan bahwa AS tidak memenuhi syarat untuk 'berbicara dengan China dari posisi yang kuat' di Dialog 2 + 2 Alaska pada Maret 2021.

Pada bulan yang sama, Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov juga menyatakan dalam sebuah wawancara dengan media di bulan yang sama bahwa Rusia tidak akan membiarkan AS atau negara lain berbicara dengannya 'dari posisi kekuatan'. 

Pernyataan serupa,  yang dibuat oleh China dan Rusia terhadap AS,  merupakan sinyal yang jelas bagi dunia,  bahwa hegemoni AS tidak akan lagi ditoleransi, dan tatanan dunia yang didominasi oleh AS dan sekutunya,  tidak mampu menjaga stabilitas di banyak kawasan. "Hal inilah  yang menyebabkan terpicunya lebih banyak ketegangan dan konflik, menurut  analisis para ahli di China.

Penarikan tergesa-gesa AS dari Afghanistan mengakibatkan lonjakan serangan kekerasan di negara itu, dan konflik Palestina-Israel telah menyebabkan banyak korban jiwa,  tetapi sikap AS sempat menghalangi mediasi internasional melalui Dewan Keamanan PBB.

"Semua ini merupakan tanda-tanda yang membuat China, Rusia dan negara-negara terkait lainnya khawatir karena Pax Americana yang goyah,"  kata para ahli. 

Baca Juga: Imbau Masyarakat Patuhi Protokol Kesehatan, TNI, Polri dan Pemkab Kapuas Gelar Operasi Rutin

Pax Americana, Usainya Hegemoni AS

Pax Americana sendiri (dari bahasa Latin, baca:  untuk Perdamaian Amerika), sebagaimana Pax Romana dan Pax Britannica, juga sering disebut sebagai Perdamaian Panjang.  Dilansir dari Wikipedia, istilah ini diterapkan untuk konsep perdamaian relatif di Belahan Bumi barat dan kemudian di hampir seluruh penjuru dunia yang dimulai setelah akhir Perang Dunia II pada 1945, ketika AS menjadi negara adidaya ekonomi dan militer yang paling dominan di dunia.  

Dalam pengertian modern ini, Pax Americana telah menunjukkan cara militer dan ekonomi AS di negara lain. Misalnya, Rencana Marshall, yang menghabiskan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk membangun kembali ekonomi Eropa Barat, telah dipandang sebagai 'asuransi Pax Americana'

Istilah Latin ini,  dimodelkan dari Pax Romana dari hegemoni Romawi.

Pax Americana adalah suatu periode di mana AS menjadi negara yang paling berpengaruh di dunia. AS telah memimpin sistem global sehingga dunia menjadi relatif lebih damai, sesuai waktu-waktu lain dalam sejarahnya, dan telah berlangsung sejak akhir Perang Dunia II pada 1945 hingga saat ini. 

Yang Jin, seorang ahli di Institut Studi Rusia, Eropa Timur dan Asia Tengah di Akademi Ilmu Sosial China, menyatakan,  ketika AS memberikan tekanan ke China dan Rusia,  AS juga menarik diri dari banyak wilayah dengan masalah yang belum terpecahkan,  semisal di Timur Tengah dan Asia Tengah, yang  semuanya terkait erat dengan kepentingan China dan Rusia. 

Baca Juga: Vatikan Dituntut Ganti Rugi, Ilegal Reproduksi Gambar Yesus Kristus

"Jadi,  Beijing dan Moskow harus terus berkoordinasi untuk menangani situasi yang akan datang, termasuk bagaimana membentuk tatanan baru untuk menggantikan peran yang sempat didominasi AS setelah yang terakhir benar-benar tidak berfungsi,"  kata Yang Jin. 

Organisasi Kerjasama Shanghai,  sebuah organisasi internasional di mana China dan Rusia termasuk di antara anggota pendiri, perlu memainkan peran yang lebih besar dalam proses perdamaian Afghanistan di masa depan. "Juga China dan Rusia dapat mempertimbangkan untuk memberikan keanggotaan ke Afghanistan,"  kata analis China. 

Diprediksi,  AS mungkin ingin memindahkan pasukannya dari Afghanistan ke negara-negara Asia Tengah lainnya, untuk mempertahankan kehadiran militernya, dan ini juga merupakan masalah baru yang perlu ditangani oleh China dan Rusia.

Dalam pertemuan di Moskow pada Selasa ini, pejabat China dan Rusia akan fokus pada berbagai masalah regional dan global. Termasuk stabilitas Asia Tengah, setelah penarikan pasukan AS dari Afghanistan, campur tangan asing ke dalam urusan dalam negeri Afghanistan, ancaman Barat terhadap keamanan politik kedua negara dan tetangga mereka atau sekutu,  kampanye anti-disinformasi dan keamanan dunia maya, serta pertanyaan tentang keamanan  biolab. 

Menurut Wang Xianju,  Wakil Direktur di Universitas Renmin Cina - Rusia dan Universitas Negeri St Petersburg dan peneliti di Pusat Penelitian Rusia,  pembicaraan China-Rusia ini juga terkait topik untuk menghadapi  tantangan yang ditimbulkan oleh Aliansi Quad pimpinan AS, yang dapat menimbulkan dampak keamanan ke China dan Rusia.

Baca Juga: Hamas Akui Dipersenjatai Iran, Al-Qaddoumi : Kami Bertahan Hidup

Quadrilateral Security Dialogue atau Quad sendiri merupakan aliansi keamanan informal antara AS, Jepang, India, dan Australia. Menggabungkan kekuatan demokrasi di sepanjang tepi Asia-Pasifik, aliansi ini diprakarsai oleh mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada 2007.

Meskipun sempat vakum selama satu dekade, Aliansi Quad bangkit pada 2017,  dan kembali berperan sebagai Busur Demokrasi Asia, dan otomatis mengikuti perbandingan dengan aliansi keamanan transatlantik NATO.  

Menurut Wang, masih dari Global Times, pergeseran posisi India telah menarik perhatian China dan Rusia. Ini mengingat India juga dilaporkan mengandalkan Quad untuk mengganggu kekuatan Rusia di wilayah tersebut, dan China dan Rusia belum mengoordinasikan posisi terhadap strategi regional,  yang dipimpin oleh pemerintahan Presiden AS Joe Biden. 

Para pemimpin Australia, India, Jepang dan AS bertemu pada Maret 2021, dan memuji pertemuan Quad sebagai 'sejarah' untuk mengatasi tantangan regional. Sementara Rusia mengecam Quad, menuduh Barat yang dipimpin oleh AS,  menggunakan India sebagai objek di dalamnya. dalam melakukan permainan anti-China.

"Tampaknya, pemerintahan Biden tidak menghentikan Strategi Indo-Pasifik yang dimulai oleh pemerintahan Trump sebelumnya," kata Wang. 

Karena insiden terbaru penahanan aktivis oposisi di bandara di Minsk oleh pemerintah Belarusia,  maka hubungan antara Belarusia dan negara-negara Barat lainnya semakin intens.

Para pejabat senior Tiongkok dan Rusia juga menyebutkan masalah tersebut,  karena Belarus adalah mitra dekat dari dua kekuatan besar di wilayah tersebut.

Baca Juga: Junta Myanmar Bom Gereja, Empat Warga Tewas

Kunjungan Putin ke China 

China dan Rusia telah sering melakukan interaksi selama setahun terakhir, terutama dalam menghadapi   pandemi Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya. "Persahabatan antara kedua negara tampaknya lebih berharga dan luar biasa,"  kata para analis. 

Pada 2020,  para pemimpin tertinggi kedua negara berbicara di telepon lima kali dengan agenda praktis,  dan pada 28 Desember 2020,  para pemimpin mengindikasikan bahwa dalam merayakan ulang tahun ke-20 Perjanjian Kerja Sama yang Baik-Ramah dan Bersahabat antara China dan Rusia. Kedua negara mengincar pula kerja sama yang lebih tinggi dan lebih luas pada 2021. 

Gedung Putih mengumumkan pada Selasa ini bahwa Biden akan bertemu dengan Presiden Rusia Putin di Jenewa, Swiss, 16 Juni 2021. Kedua pemimpin dinyatakan akan membahas berbagai masalah mendesak terkait upaya memulihkan prediktabilitas dan stabilitas kedua negara.

Menurut kalangan pakar di China,  masuk akal bagi Putin untuk mengunjungi China setelah KTT Rusia-AS. Tujuannya, untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan Beijing dalam urusan global. 

Putin mungkin mengunjungi China setelah pertemuan puncaknya dengan Biden pada Juni itu, dan sebelum peringatan 20 tahun penandatanganan Perjanjian Persahabatan China-Rusia 2001 pada 16 Juli 2021, dan peringatan 100 tahun berdirinya Partai Komunis China pada 1 Juli 2021, juga bisa menjadi tanda persahabatan.  

"Hubungan China-Rusia telah bergerak maju dengan mantap ... sangat mungkin Putin akan mengunjungi China pada Juli 2021, pada peringatan 20 tahun penandatanganan perjanjian, sambil mempertimbangkan situasi epidemi, yang berarti dari Juni hingga Juli, hubungan trilateral China-Rusia-AS kemungkinan akan menyaksikan serangkaian peristiwa besar," kata Wang.***  

 

Sumber: Global Times, Wikipedia, berbagai sumber

 

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x