Era yang relatif tenang terjadi di Timur Tengah selama akhir 1950-an dan awal 1960-an, tetapi situasi politik terus berada di ujung pisau.
Para pemimpin Arab dirugikan oleh kekalahan militer mereka, dan ratusan ribu pengungsi Palestina yang diciptakan oleh kemenangan Israel dalam perang 1948.
Sementara itu, banyak orang Israel tetap percaya bahwa mereka menghadapi ancaman eksistensial dari Mesir dan negara Arab lainnya.
Kemudian, terjadi serangkaian sengketa perbatasan sehingga mempercepat terpicunya Perang Enam Hari. Pada medio 1960-an, gerilyawan Palestina, yang didukung Suriah, mulai melancarkan serangan melintasi perbatasan Israel, dan memprovokasi serangan balasan dari Pasukan Pertahanan Israel.
Baca Juga: Palestina Diperebutkan Ribuan Tahun: Darah terus Mengalir di 'Tanah Perjanjian'
Pada April 1967, pertempuran semakin memburuk setelah Israel dan Suriah bertempur di udara dan artileri yang ganas, di mana enam jet tempur Suriah dihancurkan.
Setelah pertempuran udara April 1967, Uni Soviet memberi informasi intelijen ke Mesir bahwa Israel sedang memindahkan pasukan ke perbatasan utara dengan Suriah, sebagai persiapan untuk invasi skala penuh.
Informasinya tidak akurat, namun tetap mendorong Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser untuk bertindak.
Untuk menunjukkan dukungan kepada sekutu Suriah-nya, Nasser memerintahkan pasukan Mesir maju ke Semenanjung Sinai, kemudian mengusir pasukan penjaga perdamaian PBB yang telah menjaga perbatasan dengan Israel selama lebih dari satu dekade.
Baca Juga: Roket Hamas Bombardemen Israel, Netanyahu: Siapun akan Bayar Mahal!