Joshua James, seorang mantan bartender pun memiliki kesadaran yang serupa selama masa pandemi. Setelah bertugas di Friendship House, pusat perawatan penyalahgunaan zat narkoba, James baru-baru ini membuka Ocean Beach Cafe, bar bebas alkohol di San Francisco.
“Saya ingin menghilangkan kata-kata kecanduan, pemulihan, dan mabuk,” katanya. "Ada seribu alasan untuk jangan lagi minum sebanyak-banyaknya."
Virus korona, menurut James, telah mempercepat perubahan dalam kebiasaan minum banyak orang. Tapi itu juga merusak kelangsungan usaha dari bar non-alkohol yang baru lahir. Beberapa bar, seperti The Virgin Mary Bar di Dublin, dan Zeroliq di Berlin, telah ditutup sementara karena peraturan protokol kesehatan.
Getaway, bar non-alkohol di New York, diubah menjadi kedai kopi untuk mengatasi pandemi virus korona. Pemilik Sam Thonis telah menambahkan tempat duduk di luar ruangan, dan berharap membuka kembali barnya pada musim semi ini.
Billy Wynne, pemilik Bar Awake di Denver, juga menjual kopi dan botol minuman beralkohol dan non-alkohol dari jendela. Tapi, dia berencana membuka bar non-alkohol, bulan depan.
"Alkohol itu murah. Hanya proses mengekstraknya dari beberapa minuman yang membuatnya jadi lebih mahal," ujarnya.
Situs pengiriman alkohol, Drizly, mengenakan biaya 33 dolar AS untuk sebotol berukuran 700 ml merek Seedlip Spice 94, minuman beralkohol dan non-alkohol. Angka ini sedikit lebih mahal dibandingkan sebotol Gin Aviation berukuran 750 ml yang dijual seharga 30 dolar AS.
Namun, Wynne yakin bahwa pelanggan bersedia membayar lebih untuk pengolahan koktail atau anggur beraroma baik yang mengandung alkohol atau tidak. Pelanggannya yang rata-rata berusia 30-an atau 40-an dan mayoritas wanita, berterus terang bahwa mereka telah menunggu seumur hidup untuk bisa membuka bar seperti miliknya.
“Hal semacam ini (membuka bar non-akohol) bukanlah iseng,” katanya. "Orang tidak sadar akan dampak negatif alkohol dalam hidup mereka, kemudian berubah pikiran."***