Sungai Itik Miliki 100 Ribu Hektar Kebun Kelapa, Dinas: Sudah Ekspor Bersaing dengan Karet (Bag-3)

- 20 Februari 2021, 22:26 WIB
Warga mengolah kelapa menjadi kopra di Desa Air Payang, Pulau Laut, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
Warga mengolah kelapa menjadi kopra di Desa Air Payang, Pulau Laut, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. /Antara/Aditya Pradana Putra/ANTARA


Desa Sungai Itik, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat sesuai data Dinas Perkebunan Kalimantan Barat, memang menjadi lumbung besar kelapa Kalimantan Barat.

Kepala Dinas Perkebunan Kalbar, Heronimus Hero, menjelaskan di wilayah tersebut terdapat tidak kurang dari 100 ribu hektar kebun kelapa. Kebun-kebun tersebut pula yang menjadi pusat produksi bahan makanan maupun bahan mentah berbahan dasar kelapa.

Menurutnya kelapa sudah menjadi komoditas ekspor dan memberikan kontribusi yang cukup besar setelah CPO, karet dan lainnya.

Baca Juga: Manisnya Gula Merah Sungai Itik, Sehari Mampu Produksi 30 Ton (Bag-2)

“Orang yang terlibat di sektor perkebunan kelapa dalam terutama masyarakat cukup luas dan dampak dari budidaya tersebut kini mulai semakin membaik,” ujarnya seperti dilansir Kalbar-Terkini.com, Sabtu malam 20 Februari 2021. 

Dari sisi pemerintah menurutnya di tengah tumbuhnya perusahaan untuk industri pengolahan produk turunan kelapa dalam dan petani kelapa itu sendiri perlu kebijaksanaan agar semua seimbang dan berjalan.

“Solusi dari pemerintah bisa mendorong kedua pihak tetap tumbuh dan merasakan manfaat luar dari komoditas yang semua bernilai jual tersebut,” ujarnya.

Baca Juga: Pantang Menyerah Hadapi Covid-19, Penyadap Nira Sungai Itik Raup Rp 165 Ribu Setiap Hari (Bag-1)

Perusahaan pengelolaan untuk VCO dan lainnya contohnya, dari sisi bahan baku tentu butuh suplai bahan baku dan harga stabil.

Kemudian harga maksimal Rp1.800 per butir dan di atas tersebut margin yang didapat perusahaan dari produk yang dihasilkan kecil dan bahkan tidak masuk hitungan bisnis.

“Sebaliknya, saat ini di tengah banyaknya permintaan kelapa bulat atau tanpa proses hilirisasi untuk ekspor semakin tinggi,” tambahnya.

Harga yang beli ke petani juga semakin membaik dan bahkan untuk saat ini penampung mengambil di depan rumah petani seperti di Sungai Itik Rp2.300 per butir.

"Perusahaan butuh bahan baku murah dan petani tentu mau menjual mahal. Apalagi pasar jelas dan harga tinggi. Di sini dilema, harapan kita industri tumbuh dan petani tetap sejahtera," kata dia.

Dari potret tantangan di lapangan tersebut, pemerintah mendorong industri untuk membuat produknya lebih efisien dan memikirkan perluasan tanam kelapa dalam. Sehingga kebutuhan industri pengolahan bisa cukup dan permintaan untuk ekspor juga terpenuhi.

“Terkait produksi gula merah dan gula semut di Sungai Itik menurutnya sudah menjanjikan bagi masyarakat. Agrobisnis tersebut menjadi sumber pendapatan masyarakat,” ujarnya.

Pendampingan di daerah tersebut akan dilakukan dan bahkan dirinya turun langsung yang didampingi PPL pertanian setempat untuk melihat geliat ekonomi masyarakat dalam menggarap potensi lokal.

"Untuk gula semut kita maksimalkan lagi pendampingan. Bantuan fasilitas yang ada harus dimaksimalkan karena nilai tambah produk itu sangat tinggi.

Halaman:

Editor: Slamet Bowo Santoso

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x