Palestina Diperebutkan Ribuan Tahun: Darah terus Mengalir di 'Tanah Perjanjian'

11 Mei 2021, 23:44 WIB
PERANG TAK BERKESUDAHAN - Palestina diklaim Israel sebagai Tanah Kanaan, Tanah Perjanjian, dan juga disebut dalam Perjanjian Lama sehingga harus direbut oleh Israel. Konflik pun berkecamuk ribuan tahun hingga sekarang./ILUSTRASI PERANG: FABIEN HUCK FROOM PIXABAY/CAPTION: OKTAVIANUS CORNELIS/ /FABIEN HUCK FROOM PIXABAY

KALBAR TERKINI -  Konflik  ribuan tahun terus berlangsung demi  memperebutkan Palestina: Negeri Kanaan,  Tanah Perjanjian dalam Kitab Taurat. Jadi, sampai kapan pun Israel harus merebut Palestina.

Toh Hamas sebagai penguasa Palestina sekarang ini, tak mau tinggal diam. Terbaru,  Hamas mengawali serangan roket ke Yerusalem dan kota-kota di selatan Israel, Senin, 10 Mei malam.

Israel berang. Usai Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menyatakan: 'siapa pun pelakunya akan menerima balasan yang lebih',  maka  hari itu juga,  Israel langsung membalas telak.

Bombardemen sekitar 130 unit rudalnya  ke Jalur Gaza hingga Selasa, 11 Mei 2021 dini hari, diklaim oleh pihak Palestina,  menewaskan sekitar 30 orang, dan 100 lainnya terluka.

Pihak Hamas selaku penguasa de facto Jalur Gaza merasa perlu untuk bersikap tegas. Hamas mengklaim memiliki wewenang untuk itu. Sejak Juli 2007,  pasca Pemilihan Umum Legislatif Palestina 2006,  dan setelah pertempuran Gaza, Hamas telah membentuk Pemerintahan Hamas di Gaza.

Baca Juga: Latihan Maritim Indonesia-China: AS Pantau dari Kapal Misterius Norwegia?

Jalur Gaza meruoakan kawasan di pantai timur Laut Tengah, bagian dari wilayah Negara Palestina, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya, 11 kolometer dari Palastina, dan Israel di sebelah timur dan utara, berjarak 51 kilometer. 

Memiliki panjang sekitar 41 kilometer  dan lebar antara enam hingga 12 kilometer,  berluas total 365 kilometer persegi, populasi di Jalur  Gaza sekitar 1,7 juta jiwa. Mayoritas penduduknya besar dan lahir di Jalur Gaza, selebihnya merupakan pengungsi Palestina  yang mengungsi ke Gaza setelah meletusnya Perang Arab-Israel 1948.  

Populasi di Jalur Gaza didominasi oleh Muslim Sunni.  Jalur Gaza memperoleh batas-batasnya  pada akhir perang 1948, yang ditetapkan melalui Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Mesir pada 24 Februari 1949. Pasal V perjanjian menyatakan adanya garis demarkasi di perbatasan perbatasan internasionalnya.  

Jalur Gaza kemudian diduduki oleh Mesir.  Pada awalnya, Jalur Gaza secara resmi dikelola oleh Pemerintahan Seluruh Palestina, yang didirikan oleh Liga Arab pada September 1948. Sejak pembubaran Pemerintahan Seluruh Palestina pada 1959- 1967, Jalur Gaza secara langsung dikelola oleh seorang gubernur militer Mesir. 

Israel merebut Jalur Gaza dalam Perang Enam Hari pada 1967.

Baca Juga: Rasulullah Berpuasa Lebih Sering 29 Hari Dibanding 30 Hari, Berikut Hadis Yang Mendasari Rukyatul Hilal

Berdasarkan Persetujuan Damai Oslo yang disahkan pada 1993, Otoritas Palestina ditetapkan sebagai badan administratif,  yang dikelola oleh pusat kependudukan Palestina. Israel mempertahankan kontrolnya terhadap Jalur Gaza di wilayah udara, wilayah perairan, dan lintas perbatasan darat dengan Mesir.  

Israel secara sepihak menarik diri dari Jalur Gaza pada 2005. 

Sebelumnya,  Mei 1994, setelah disahkan perjanjian Palestina-Israel, atau yang dikenal sebagai Persetujuan Damai Oslo,  transfer pemerintahan dari Israel ke Palestina mulai dilakukan secara bertahap.

Sebagian Jalur Gaza (kecuali untuk blok permukiman dan pangkalan militer) berada di bawah kendali Palestina.  

Tentara Israel meninggalkan Gaza dan daerah perkotaan lainnya. Otoritas Palestina,  yang dipimpin oleh Yasser Arafat lewat Front Pembebasan Palestina (PLO), memilih Kota Gaza sebagai pusat administrasi.

Baca Juga: Roket Hamas Bombardemen Israel, Netanyahu: Siapun akan Bayar Mahal!

Pada September 1995, Israel dan PLO  menandatangani perjanjian damai II,  yang memperluas kewenangan Otoritas Palestina terhadap kota-kota di Tepi Barat.  

Perjanjian tersebut juga membentuk 88 anggota Dewan Nasional Palestina terpilih, yang menggelar sidang perdananya di Gaza pada Maret 1996. 

Pada1994 dan 1996, Israel membangun pembatas Jalur Gaza Israel untuk meningkatkan keamanan di Israel.

Sebagian besar pembatas ini dirobohkan oleh Palestina pada awal Intifada Al-Aqsa September 2000.

Pada Desember 2000- Juni 2001, pembatas antara Gaza dan Israel dibangun kembali.

Selain itu, Israel masih memiliki hak untuk mengontrol perbatasan utara Jalur Gaza, serta wilayah perairan dan udara, sedangkan Mesir mengontrol perbatasan selatan Jalur Gaza. 

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Pengawasan Hak Azasi Manusia, organisasi terkait LSM internasional lainnya menganggap,  Israel masih menduduki Jalur Gaza karena Israel yang menguasai wilayah udara dan perairan Gaza,  dan tidak memungkinkan dilakukannya pergerakan barang masuk-keluar Gaza lewat udara atau laut, kecuali hanya melalui darat). 

Namun, lintas perbatasan dengan Mesir,  tidak dikontrol oleh Israel. Seperti halnya Israel, Mesir juga membatasi lalu lintas barang dan orang yang melintasi perbatasan.

Israel menyatakan, Gaza tidak lagi didudukinya, karena Israel tidak memiliki hak kontrol efektif atau kewenangan atas daratan di Jalur Gaza. Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni berkata pada 2008:  "Israel hengkang dari Gaza. Membongkar permukimannya di sana. Tak ada lagi tentara Israel yang tersisa di sana,  setelah penarikan diri dari wilayah itu." 

Setelah Israel mundur pada  2005, Pemimpin Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, menyatakan bahwa status hukum dari Jalur Gaza,  tidak mengalami perubahan, dan status Gaza masih tidak jelas setelah Operasi Cast Lead,  dan invasi Israel di Gaza pada Januari 2009. 

Pada 2012, pendiri Hamas, Mahmoud Zahar menyatakan, Gaza tidak lagi diduduki.

Baca Juga: Serangan Bom Mobil Kabul: Parlemen 'Ngamuk', Pemerintah Dianggap Gagal!

Israel Disarankan Keluar dari PBB

Saling serang rudal Hamas-Israel sejak Senin malam lalu, yang nota bene duluan dipicu Hamas, telah memancing reaksi internasional termasuk sobat dekat Israel: AS. Akibatnya, muncul analisis:AS menganggap bahwa Israel sudah sangat berlebihan menghadapi Palestina sehingga kantor konsulat  AS di Yerusalem bakal dikembalikan ke Otoritas Palestina.

Jika analisis  benar,  maka Israel harus mengusir semua diplomat AS yang bekerja di Yerusalem. Dikutip Kalbar-Terkini.com dari The Jerusalem Post, Selasa ini, mata-mata Israel, Jonathan Pollard menegaskan hal itu di sela-sela perayaan Hari Yerusalem Merkaz Harav Yeshiva, Senin malam.

"Tidak ada diplomat AS yang diizinkan untuk menjadi stafnya," kata Pollard. "Mereka harus dinyatakan sebagai persona non grata, dan diminta untuk meninggalkan negara itu."

Persona non grata adalah sebuah istilah bahasa Latin,  yang digunakan di kancah politik dan diplomasi internasional. Makna harafiahnya: 'orang yang tidak diinginkan'. Jadi, orang-orang yang di-persona non grata-kan tidak boleh hadir di suatu tempat atau negara.

Pollard sendiri sempat menjalani hukuman 30 tahun penjara karena memata-matai Israel di AS.  Di acara  Hari Yerusalem Merkaz Harav Yeshiva, Pollard menjadi tamu kehormatan,  dan disambut sebagai pahlawan di acara tahunan, di mana perdana menteri atau presiden biasanya berbicara.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahkan membatalkan acara tersebut pada menit-menit terakhir.  

Menekankan bahwa tidak ada yang akan dia katakan dalam pidatonya yang bermotif politik, Pollard menawarkan nasihatnya ke Israel dalam pidato setengah jam itu.

Pollard memperingatkan,  tidak hanya musuh yang jelas dengan senjata,  tetapi juga musuh di Departemen Luar Negeri AS dan di PBB.  

Menurut Pollard,  Israel harus meninggalkan PBB, yang dia sebut knesset (parlemen) kebencian'. “..merupakan penghinaan terhadap nenek moyang kami,  yang berjuang dan mati untuk negara ini,” ucapnya. 

Pollard menegaskan, Israel harus mengambil alih peran Yordania atas Masjid Aqsa,  dan Kementerian Layanan Agama Israel harus mengambil alih tanggung jawab untuk salat di sana 

Baca Juga: Bom Mobil Kabul, Hazara Persenjatai Diri : Sudah Cukup Kami Diserang!

IDF dan Shin Bet Klaim Bunuh Dalang Serangan  

Pihak Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defence Forces/IDF)  menyatakan sudah membunuh dua personel Jihad Islam pada Selasa,  karena mereka duluan melakukan peluncuran roket ke wilayah Israel.

Salah seorang yang disebut teroris,  diidentifikasi sebagai Samah Abed al-Mamlouk.  Pihak IDF dan juga Shin Bet (Badan Keamanan Israel) menyatakan, al-Mamlouk diserang di persembunyiannya  bersama sejumlah personel Jihad Islam tambahan.  "Al-Mamlouk bertanggung jawab atas persenjataan roket Jihad Islam." demikian pernyataan bersama pihak IDF dan Shin Bet.

Dalam serangan lain, Hassan Abu al-Ata, Wakil Komandan Brigade Gaza Jihad Islam, juga tewas ketika IDF menyerang sebuah apartemen berlantai delapan di lingkungan Rimal Gaza. Al-Ata adalah saudara laki-laki Baha abu Al-Ata,  yang dibunuh Israel pada 2019.  

Keduanya dikenal sebagai anggota senior Jihad Islam, dan dituding berada di balik banyak serangan roket dari kelompok tersebut ke wilayah Israel dalam beberapa tahun terakhir. 

Pihak Jihad Islam sendiri menegaskan,  tanggapan terhadap serangan mematikan itu dilawan secara keras. 

Sebelumnya,  Selasa,  pihak Hamas dan IDF sepakat menyatakan penentangan terhadap upaya Mesir untuk menengahi gencatan senjata pada Senin malam dan Selasa, setelah penembakkan lebih dari 400 roket ke Israel,  menewaskan dua orang Israel,  disusul serangan IDF ke Jalur Gaza sebagai tanggapan.

IDF memperingatkan penduduk Gaza untuk menjauh dari lokasi mana pun di mana senjata Hamas disimpan pada Selasa untuk keamanan mereka sendiri. "Akan ada "gelombang serangan yang luas di Jalur Gaza," tegas pihak IDF.

Hamas memperingatkan para pejabat Mesir pada Senin malam bahwa pihak Hamas di Gaza menolak terlibat dalam negosiasi apa pun. Kecuali,  Israel menarik pasukan keamanan dari Temple Mount,  dan lingkungan Sheikh Jarrah, kemudian  membebaskan semua yang ditahan dalam bentrokan baru-baru ini di Yerusalem dan Tepi Barat, menurut Al -Araby Al-Jadeed.  

Pihak Hamas juga menuntut pembatalan rencana penggusuran di Syekh Jarrah.  Pejabat Mesir memperkirakan,  Israel dan Gaza sedang menuju eskalasi lebih lanjut.

Para pejabat Mesir dilaporkan meminta waktu untuk mencoba, menahan, krisis, dan membujuk Israel mengambil langkah mundur sebelum bentrokan mencapai 'titik tidak bisa kembali'. 

Hamas memperingatkan, pihaknya  masih memiliki sejumlah target yang dapat dicapai, dan juga rudal barunya  akan digunakan untuk pertama kalinya. Ini jika permintaan mereka tidak tercapai dalam beberapa jam mendatang. 

Abu Ubaidah, juru bicara Brigade Izzadin al-Qassam, mengumumkan,  Hamas berada di balik serangan roket ke arah Ashkelon pada Selasa pagi,  yang mencederai tujuh warga sipil Israel.

Diperingatkan pula, jika rumah-rumah warga sipil diserang di Gaza, maka Hamas akan 'membuat Ashkelon menjadi neraka'.

Sasaran rudal  Israel,  antara lain,  rumah seorang komandan batalyon Hamas di gedung bertingkat, markas besar intelijen militer organisasi, lokasi pembuatan amunisi, kompleks militer milik Hamas dan Jihad Islam Palestina, serta dua terowongan yang dekat ke pagar perbatasan.  

Serangan diklaim menewaskan sedikitnya 15 personel Hamas. 

 

Baca Juga: Liburan Lebaran Idul Fitri, Objek Wisata di Kalbar Buka dengan Pengawasan Satgas Covid-19

Iran:  Kami Berdiri dengan Palestina

Masih pada Selasa, IRNA  melaporkan, seorang pejabat senior Iran menyatakan,  Republik Islam Iran akan berdiri teguh dengan Palestina dan Perlawanan Palestina. 

Sekretaris Jenderal Sekretariat Permanen untuk Mendukung Intifada Palestina Hossein Amir Abdollahian mengadakan percakapan telepon terpisah dengan perwakilan Gerakan Islam Palestina (Hamas),  Khalid al-Qaddumi,  dan perwakilan Gerakan Jihad Islam,  Nasser Abu-Sharif pada Selasa. 

Mencela kekerasan Israel  terhadap Palestina, termasuk di Quds, Masjid al-Aqsa, dan Gaza, Amir Abdollahian menyatakan, penodaan Masjid al-Aqsa dan penyerangan terhadap jamaah, selain mati syahidnya  wanita dan anak-anak Palestina, telah membuktikan sifat teroristik. dari Zionis ke dunia untuk ke-1000 kalinya.*** 

 

Sumber: Wikipedia, The Jerusalem Post, IRNA 

 

 

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler