Masih menurut Emirza, Setya Novanto terdengar dalam sebuah rekaman, meminta bagian di pembangkit listrik di Papua, sebagai imbalan atas perannya untuk membujuk Jokowi dan Luhut, penasihat kepercayaan Jokowi, untuk memperpanjang kontrak Freeport-McMoran.
"Terlepas dari semua konflik tingkat tinggi ini, Setya, dengan dukungan kuat dari Luhut, terpilih sebagai ketua salah satu partai politik paling terkemuka di Indonesia, Golkar , selama pemilihannya," ujar Emirza.
Meski proses pemilihan umum dalam konvensi Golkar ketika itu disinyalir terperosok dalam politik uang, tapi pemilihan Setya diapresiasi oleh presiden.
Sebagai imbalannya, lanjut ulasan Emirza, Setya menjungkirbalikkan posisi netral Golkar, menjadi salah satu pendukung koalisi Jokowi, dan menambah dorongan signifikan ke posisi Jokowi.
Menurut Emirza, peran kuat Luhut dalam pemerintahan Jokowi, menandakan manfaat mendasar yang diperoleh presiden untuk memperkuat basis kekuatan politiknya.
"Namun, hal itu juga menimbulkan pertanyaan tentang independensi politik Jokowi," katanya.
Adapun keputusan Jokowi untuk memindahkan Luhut ke posisi yang kurang bergengsi sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, telah dilihat oleh banyak orang sebagai tanda meningkatnya kewaspadaan Jokowi terhadap pengaruh nyata Luhut di kabinet.
Menurut analisis Emirza, hal ini dipandang sebagai pertunjukan kekuasaan Jokowi, yang dirancang untuk menunjukkan bahwa dia masih menjadi penanggung jawab pemerintahannya.
Meski pengangkatan Luhut, tampaknya telah melemahkan kendali luar biasa yang dimiliki PDI-P atas dirinya, Jokowi tidak meninggalkan hubungannya dengan partainya sendiri.
"Sebenarnya hubungan ini penting untuk menghalangi pengaruh Luhut yang semakin besar di kabinetnya," kata Emirza.
Awalnya, lanjut analisa Emirza, Jokowi berniat menjadikan Luhut sebagai 'menteri super' dengan memberinya rangkap jabatan sebagai Kepala Staf Kepresidenan, dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.