Sentimen Anti-Muslim Merebak di Barat, Erdogan: Seperti Sel Kanker

- 25 Mei 2021, 21:10 WIB
Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan./PHOTO: GERD ALTMANN FROM PIXABAY/
Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan./PHOTO: GERD ALTMANN FROM PIXABAY/ /PIXABAY

 

ANKARA, KALBAR TERKINI - Sentimen anti-Yahudi di negara-negara Barat diklaim telah berubah menjadi sentimen anti-Muslim. Fenomena ini terlihat lewat banyaknya kasus serangan baik fisik maupun ujaan kebencian terhadap kaum imigran Muslim.

Serangan ini  dilakukan secara kelompok maupun individu,  bahkan cenderung dibenarkan oleh organisasi politik di negara-negara itu. Pemerintah di negara-negara Barat  tak mampu mengatasi,  dan terkesan melakukan pembiaran terhadap fenomena rasis tersebut,  yang ditandai kebangkitan gerakan-gerakan supremasi kaum kulit putih.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan menegaskan, kebangkitan Islamofobia dan sentimen anti-Muslim di negara-negara Barat,  harus diwapadai. Sebab, negara-negara itu sudah secara terbuka merangkul gerakan politik sayap kanan, Islamofobia,  dan kebijakan anti-Muslim. 

"Islamofobia dan sentimen anti-Muslim telah menyebar,  seperti sel kanker di banyak bagian dunia, terutama di Barat," kata Erdogan ketika berbicara dalam Simposium Islamofobia di Kota Ankara, Ibu Kota Turki, Selasa, 25 Mei 2021, sebagaimana dikutip Kalbar-Terkini.com dari Daily Sabah.

Baca Juga: Pemerintah Iran Dituding Jual Negaranya ke Tiongkok: Lewat Kontrak 25 Tahun

Menurut Erdogan, kelompok sayap kanan yang dulu dianggap radikal dan marginal kini telah menjadi gerakan politik arus utama di negara-negara Barat. .

“Alih-alih membahas dimensi ancaman Barat, mereka yang berada di bawah pengaruh tren rasis dan diskriminatif ini, mengambil jalan keluar yang mudah,” tegasnya dalam simposium internasioal tersebut.

Serangan rasis yang menargetkan Muslim atau imigran, tambahnya,  semakin menjadi berita utama ketika supremasi kulit putih menjadi lebih efisien di zaman,  di mana cita-cita mereka, atau setidaknya sebagian dari mereka, menjadi arus utama.

"Tidak ada satu kelompok besar pun yang mengatur serangan terhadap Muslim dan imigran ini. Sebaliknya, serangan individu menyebabkan lebih banyak serangan peniru. Iklim politik yang toleran dengan dalih kebebasan berbicara,  telah membantu simpatisan sayap kanan dengan kecenderungan kekerasan, telah  memperluas dukungan mereka," lanjutnya.

Baca Juga: Israel Siap Hajar Iran, Netanyahu: Ayatollah tak Berhak Musnahkan Yahudi!

Anti-Yahudi Berbalik ke anti-Muslim

Erdogan menyatakan, mereka yang pernah menargetkan komunitas Yahudi kini telah menjadikan Muslim sebagai target utama. "Kami jelas tahu bahwa rasisme baru terhadap Muslim ini sebenarnya adalah permusuhan terhadap Islam,  meskipun ada upaya dari masyarakat Barat untuk melunakkannya dengan menyebut 'Islamofobia'," katanya.

"Strategi pemerintah AS untuk menjelekkan Muslim pasca-9/11,  telah berfungsi sebagai sarana untuk memicu sentimen anti-Muslim,  yang sudah ada dalam struktur budaya banyak masyarakat Barat," tambah Erdogan.

Serangan 11 September atau serangan 9/11 merupakan nama populer untuk serangan bunuh diri yang diatur ke beberapa target oleh kelompok teroris al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden di New York world trade c dan Washington, AS, 11 September 2001.

Pada pagi itu, 19 pembajak dari kelompok al- Qaeda, membajak empat pesawat jet penumpang. Para pembajak sengaja menabrakkan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York.  Kedua menara runtuh dalam kurun waktu dua jam.

Pembajak juga menabrakkan pesawat ketiga ke Pentagon di Arlington, Virginia. Ketika penumpang berusaha mengambil alih pesawat, United Airlines Penerbangan 93, pesawat yang jatuh di lapangan dekat Shanksville, Pennsylvania,  dan gagal mencapai target di Washington. Menurut laporan Tim 911, sekitar tiga ribu orang tewas dalam serangan ini.

Dugaan langsung jatuh ke al-Qaeda, dan pada 2004, Osama bin Laden, dicap sebagai dalang. Al-Qaeda dan bin Laden juga mengklaim serangan itu sebagai perlawanan atas dukungan AS terhadap Israel, keberadaan tentara AS di Arab Saudi, dan sanksi terhadap Irak.

AS pun merespons serangan ini dengan meluncurkan Perang Melawan Teror dengan menyerang Afghanistan untuk menggulingkan Taliban yang melindungi anggota-anggota al-Qaeda. Banyak negara yang meninjau undang-undang-undang anti-terorismenya,  dan memperluas penegak hukumnya.

Pada Mei 2011, setelah diburu bertahun-tahun, Presiden Barack Obama mengumumkan bahwa bin Laden ditemukan dan ditembak mati oleh marinir AS, walaupun belum ada bukti yang diumumkan secara gamblang terkait  kematian tersebut.

Baca Juga: Junta Myanmar Bom Gereja, Empat Warga Tewas

Erdogan: Cegah Islamfobia

Erdogan mendesak semua negara dan masyarakat untuk bergabung untuk membangun jaringan komunikasi yang kuat melawan ancaman Islamfobia yang semakin meningkat.

 "Upaya untuk mencegah Islamofobia , yang memainkan peran penting dalam perdamaian dan keamanan seluruh umat manusia, harus dilakukan melalui pembentukan mekanisme akal sehat. Kami perlu memobilisasi semua politisi, intelektual, dan pekerja media dengan hati nurani dan pejabat agama kami sendiri,  untuk melawan ancaman Islamofobia," kata Erdogan.

Erdogan mencatat,  upaya melawan Islamofobia perlu dilakukan melalui mekanisme bersama untuk memastikan perdamaian dan keamanan bagi semua.

Pejabat Turki, termasuk Erdogan, telah sering mendesak para pembuat keputusan dan politisi di  Eropa untuk mengambil sikap melawan rasisme dan jenis diskriminasi lain yang telah mengancam nyawa jutaan orang yang tinggal di dalam perbatasan blok tersebut. 

"Turki akan menyiapkan laporan tahunan tentang tindakan Islamofobia dan rasisme di negara lain" , kata Menteri Luar Negeri Mevlüt Çavuşoğlu awal 2021 ini.  

Baca Juga: KTT Rusia-AS: Garangkah Biden jika Langsung Bertemu Putin?

Pada April 2021, Erdogan sekali lagi menegaskan bahwa Islamofobia telah menjadi salah satu instrumen yang digunakan oleh politisi Barat untuk menutupi kegagalan mereka.

Tren meningkatnya Islamophobia, rasisme dan xenophobia telah meresahkan masyarakat Turki yang tinggal di negara-negara Barat, khususnya di Eropa. Jerman, misalnya, telah mencatat kejahatan Islamofobia secara terpisah sejak 2017.

Pada 2018, terdapat 910 insiden, termasuk 48 serangan terhadap masjid, sedikit lebih rendah dibandingkan pada 2017,  dengan 1.095 kejahatan.  

Pada 2019, sekitar 871 serangan menargetkan komunitas Muslim di Jerman, sedangkan data 2020 belum diumumkan. 

Setiap hari sepanjang tahun 2019, sebuah masjid, lembaga Islam, atau perwakilan agama di Jerman menjadi sasaran serangan anti-Muslim. Lebih dari 90 persen di antaranya dikaitkan dengan kejahatan bermotif politik oleh sayap kanan.  

Jerman adalah rumah bagi 81 juta orang dan populasi Muslim terbesar kedua di Eropa Barat setelah Prancis. Dari hampir 4,7 juta Muslim di negara itu, setidaknya tiga juta adalah keturunan Turki. 

Baca Juga: Otoritas Palestina Dimaki 'Anjing': Saatnya Merangkul Hamas!

"Islamofobia disamarkan sebagai sekularisme di Prancis,"  kata seorang pemimpin oposisi Prancis dalam kritik terhadap pemerintah yang dipimpin Presiden Emmanuel Macron, yang baru-baru ini mendapat kecaman karena kebijakan terhadap Muslim Prancis,  dan baru saja mengesahkan RUU anti-Hijab.

Dengan dalih Islamisasi di negara tempat mereka tinggal, teroris rasis beralih dari serangan terhadap masjid menjadi pembunuhan massal. Anders Behring Breivik, yang membantai 77 orang pada Juli 2011 di Norwegia, dipandang sebagai inspirasi untuk lebih banyak serangan berikutnya.  

Empat tahun kemudian, Anton Lundin Pettersson, yang memiliki pandangan serupa dengan Breivik, membunuh empat siswa berlatar belakang imigran di Swedia.

Pada 2016, 10 orang tewas di Munich,  Jerman, dalam aksi terorisme rasis lainnya.  

Pada 19 Februari 2020, di Kota Hanau, Jerman, Tobias Rathjen, seorang teroris yang menyimpan pandangan rasis, menembak mati sembilan orang dari latar belakang imigran, termasuk lima warga negara Turki, sebelum dia bunuh diri. 

Baca Juga: Perang 11 Hari Israel-Hamas Diklaim Disetel Benjamin Netanyahu

Serangan di Hanau memicu perdebatan tentang keseriusan ancaman teroris sayap kanan yang sering diabaikan oleh pihak berwenang. Itu adalah salah satu tindakan terorisme terburuk dengan motif rasis dalam ingatan baru-baru ini. 

Simposium dua hari ini berlangsung di ATO Congresium, sebuah pusat konvensi dan pameran internasional di Ankara. Penyelenggaranya adalah  Dewan Tertinggi Radio dan Televisi (RTÜK), Kepresidenan Urusan Agama, Universitas Erciyes, Perusahaan Radio dan Televisi Turki (TRT),  dan lembaga pemikir kebijakan yang berbasis di Ankara, Political and Economic and Social Research Foundation ( SETA). 

Simposium tersebut berfokus pada tiga topik: ujaran kebencian dan Islamofobia, berita palsu dan Islamofobia, serta rasisme budaya dan Islamofobia.*** 

 

Sumber: Daily Sabah, Wikipedia

 

 

 

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah