Persekutuan Gereja Indonesia Jangan Mau Diperalat Novel Baswedan

- 30 Mei 2021, 18:33 WIB
 Gedung Sekretariat Pusat PGI./FOTO: PGI/
Gedung Sekretariat Pusat PGI./FOTO: PGI/ /PGI

KALBAR TERKINI - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyerukan supaya pihak PGI (Persatuan Gereja Indonesia) atau organisasi manapun jangan mau dimanuver dan diperalat oleh Novel Baswedan Cs. Sebab,  persoalan Novel dengan KPK bukanlah persoalan politik, apalagi persoalan agama.

"PGI perlu mengingat hal ini. Persoalan Novel Cs adalah konflik pekerja, yakni antara pemberi gaji (pemerintah) dengan penerima gaji (Novel Cs)," tegas Neta dalam rilis yang dikutip Kalbar-Terkini.com dari grup Whatsupp Forum Redaktur, Minggu, 30 Mei 2021.

Dengan dibentuknya Wadah Pegawai (WP) di KPK oleh Novel Cs, lanjut IPW,  semakin mengukuhkan bahwa keberadaan Novel Cs di KPK adalah pegawai alias pekerja atau buruh. "Jadi, segala masalahnya sebagai pekerja (buruh) harus berkordinasi dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Serikat Pekerja Indonesia (SPI)," lanjut pihak  IPW.

Baca Juga: Iran Lega Tankernya Raksasanya Dilepas RI: Ditangkap di Perairan Pontianak

Ditambahkan pihak IPW, begitu juga mengenai perselisihan sebagai pekerja yang memiliki serikat pekerja atau serikat buruh atau wadah pegawai dalam satu perusahaan,  harus mengacu ke UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Hal ini agar penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan lainnya, seperti pembayaran pesangon,  bisa segera tercapai. "Ini karena Indonesia hanya mengenal Pegawai Negeri Sipil (ASN) yang tergabung dalam Korpri dan pegawai swasta atau buruh, yang tergabung dalam SPI," lanjut Neta atas nama IPW.

Komnas HAM Jangan Diperalat

Jadi. menurutnya,  sangat salah kaprah jika ombudsman dan Komnas HAM mau diperalat dan diseret seret Novel Cs dalam masalahnya. "Lebih salah kaprah lagi jika PGI sebagai lembaga gereja.  mau diseret seret Novel Cs. Dengan adanya WP di KPK, lembaga yang mereka buat inilah yang harusnya membangun komunikasi ke SPI dan Depnaker. Ini sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," tambahnya.

Pihak IPW mengingatkan PGI dan organisasi yang mau diseret seret Novel Cs bahwa kewajiban tes TWK Kebangsaan bagi calon ASN adalah syarat mutlak. Sebab bagaimana pun, seluruh ASN harus patuh dan berorientasi pada Wawasan Kebangsaan Pancasila,  agar ASN tidak dilumuri kelompok kelompok radikal, apalagi kelompok Taliban.

"Sehingga keputusan pimpinan KPK,  yang mewajibkan pegawainya mengikuti TWK,  sudah sangat tepat,  dan sesuai statement Presiden RI. Bagi yang tidak lulus harus berjiwa besar segera keluar dari KPK. Sebab KPK bukanlah milik pribadi Novel,  yang bisa dijadikannya sebagai kerajaan milik pribadinya. Jangan sampai terjadi penilaian bahwa KPK adalah Novel dan Novel adalah KPK," tambah pihak IPW.

Pihak IPW berkeyakinan,  masih banyak orang yang lebih hebat dari Novel di dalam internal KPK. Namun,  gegara framing terhadap Novel begitu dihebohkan,  sehingga semua prestasi yang dicapai KPK selama ini, seolah olah adalah hasil kerja pribadi Novel Baswedan, mantan Komisaris Polri.

Baca Juga: Junta Myanmar 'Nangis Darah': Total Energies dan Puma Hentikan Operasional!

"Kesan ini yang harus dibersihkan. Seluruh anak bangsa harus menyadari bahwa KPK adalah milik bangsa Indonesia,  dan bukan milik pribadi Novel Baswedan," tegas Neta atas nama IPW.

Pernyataan PGI

Sementara itu,  PGI lewat Sekretaris Umum Pendeta Jacky Manuputty menegaskan, KPK telah berulang kali terjadi upaya pelemahan KPK sejak awal berdirinya, baik dari luar maupun dari dalam KPK sendiri.

Terhadap semua upaya pelemahan KPK, PGI selalu mengambil posisi untuk menentang pelemahan dimaksud. Dokumen-dokumen sikap PGI terdata dengan baik. Dalam pertemuan PGI dengan perwakilan karyawan KPK yang berkunjung ke Grha Oikoumene Jumat,  28 Mei 2021, sebagaimana dilansir dari PGI.co.id,  telah dibicarakan berbagai hal terkait persoalan yang saat ini dialami oleh 75 karyawan KPK yang dinonaktifkan.

Menurut PGI, banyak isu berhimpitan di situ, namun terasa ada aroma ketidakadilan yang menonjol terkait penonaktifkan 75 karyawan dimaksud. Narasi dominan yang berkembang di publik selama ini bahwa KPK telah mengalami talibanisasi dan radikalisme (bahkan sering diumbar di publik bahwa NB adalah motornya). "Bisa jadi dalam kadar tertentu isu ini benar karena kita tak pernah mengetahui bagaimana menakarnya," kata  Manuputty.

Kalaupun hal ini ada, menurut Manuputty atas nama PGI, tentu tak bisa dipukul rata untuk 75 orang dimaksud. Banyak di antara 75 karyawan yang dinonaktifkan itu beragama Kristen, Buddha dan lainnya, yang jelas-jelas tak bisa masuk dalam kategori itu.

Baca Juga: 181 Penumpang Selamatkan Diri Mencebur ke Laut, KM Karya Indah Terbakar di Laut Maluku Utara

"Pada posisi ini PGI harus bicara secara kritis sehingga aspek keadilan yang harus dijunjung tidak dikuburkan di bawah stigma talibanisme yang menerpa KPK. PGI selama ini menolak radikalisme dan sektarianisme, dan bila itu ada di KPK haruslah pula ditolak. Sekalipun demikian, patut pula diwaspadai, dikritisi, dan ditolak, bila radikalisme dan sektarianisme digunakan sebagai tongkat pemukul penguasa, pada level apapun mereka mengelola kekuasaannya," lanjut PGI.

"Kita tentu memiliki memori kolektif mengenai stigmatisasi PKI pada suatu masa tertentu yang dengan mudah dipakai untuk memberangus banyak orang dan kelompok yang dianggap berseberangan dengan pengelolaan kekuasaan.

Tentu ada isu lainnya yang perlu ditakar satu demi satu untuk melihat akumulasinya yang berujung pada tindakan menonaktifkan itu. Kita tak pernah punya daftar isu lainnya dan indikator yang dipakai dalam TWK di KPK," tambah PGI.

Karenanya,  kata pihak PGI: "Ketika kita menolak dan mengatakan bahwa isu Taliban itu hasil dari pembingkaian media, sementara kita sendiri tak jelas isu-isu kebangsaan lainnya yang dipakai untuk menakar kadar kebangsaan 75 orang itu, maka sesungguhnya kita bersikap ambigu dalam penentuan sikap kita."

Baca Juga: Abdee Slank Jabat Komisaris Telkom, Berikut Data Kiprahnya di Dunia Bisnis dan Pemerintahan

"Pada posisi ini, PGI meminta adanya transparansi dari pihak KPK hingga BKN untuk membuka hasil TWK sehingga polemik tidak berkembang di tengah masyarakat. Dengan begitu kita bisa punya parameter yang sama untuk menakar kadar kebangsaan yang dimiliki para petinggi hingga pegawai rendahan di negeri ini," ujar PGI.

Satu dampak lain yang harus disikapi, menurut PGI, bahwa penyematan status ‘tak lolos test wawasan kebangsaan’ mempertegas rendahnya kualitas kebangsaannya (bahkan dipakai istilah ‘menyentuh titik merah’) 75 orang ini.

Status ini dinilai pihak PGI, akan menyematkan stigma yang secara merata dipikul oleh keluarga masing-masing orang, hal mana sudah terjadi bagi keluarga salah satu staf yang dalam pertemuan tadi mengisahkan bagaimana keluarganya terdampak persoalan ini.

Bagaimanapun juga PGI tetap konsisten mendukung pemberantasan korupsi di negeri ini karena daya rusaknya bagi bangsa menempati skala tertinggi. Sekalipun demikian, upaya pemberantasan korupsi haruslah meminimalisir sedapat mungkin potensi terjadinya ketidakadilan.***

 

Sumber: Rilis IPW, Rilis PGI

 

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah