Penggalangan dana JAD secara daring melalui saluran Telegram, lebih banyak digunakan untuk mendukung biaya operasional, dan membiayai hidup keluarga mujahidin ini, daripada upaya untuk memperluas daya tarik mereka: misalnya berkamuflase lewat pemberian bantuan medis atau gerakan kemanusiaan.
Hal ini sesuai dengan pola yang ada: sebagian besar organisasi amal pro-ISIS, termasuk organisasi seperti Baitul Mal Ummah dan RIS Al Amin, telah bekerja untuk mendukung keluarga militan yang dipenjara.
Mujahidin Indonesia Timur
MIT hampir dimusnahkan setelah kematian pemimpinnya, Santoso, pada 2016. Berbasis di pegunungan berhutan lebat di sekitar Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, MIT adalah kelompok teroris pertama di Indonesia yang menyatakan kesetiaan ke ISIS.
Mencermati sepak terjang MIT, sangat penting bagi otoritas terkait. Ini karena dua alasan. Pertama, MIT terbentuk dari hasil pertumpahan darah sektarian di Provinsi Maluku, dan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang dilakukan oleh Jemaah Islamiyah setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998.
Di Poso, qoidah aminah, sebuah basis yang diatur oleh hukum Islam, akan didirikan. Sejak itu, Poso menjadi perhatian dari setiap kelompok jihadis di Indonesia.
Kedua, tidak seperti kelompok atau sel lain di Indonesia, hanya MIT yang berhasil menguasai wilayah secara fisik, walaupun terpaksa keseringan makan sagu ketimbang nasi. Apalagi, Poso adalah satu-satunya lokasi yang memungkinkan di Indonesia: dekat dengan Filipina selatan, pusat dari gerakan-gerakan Islam bersenjata.
Karena itulah, aparat sempat terfokus ke MIT untuk lebih meningkatkan upaya kontraterorisme. Ini dimulai lewat Operasi Tinombala pada 2016, ketika TNI melancarkan perang hutan untuk membubarkan kelompok tersebut.
Meskipun MIT hanya memiliki kurang dari selusin militan pada 2016, kematian para pemimpin puncaknya, yang sudah 'djemput bidadari surga', toh MIT tetap berkomitmen untuk berkumpul kembali. Pada akhir 2017 msalnya, MIT memulai kampanye rekrutmen baru.
Polisi pun menangkap 17 rekrutan pada awal 2020.