Jika pun MIT masih bertahan, merampok makanan penduduk karena kelaparan, kerap membunuh warga lokal dengan tuduhan sebagai informan, isolasi geografis merupakan keuntungan bagi MIT.
Di sisi lain, isolasi ini merupakan cacat, karena mengakibatkan MIT tetap terikat dengan Sulawesi Tengah, dan berisiko kebanyakan makan sagu, makanan yang 'aneh', dan disebut 'lem' oleh orang-orang MIT yang berasal dari Jawa.
Hanya saja, MIT memiliki banyak peluang untuk memanfaatkan jaringan komunitas. Dengan memanfaatkan anggota keluarga besar Santoso, dan jaringan ulama setempat, maka kelompok tersebut menerima dana dari luar Poso, sambil merekrut anggota di seluruh Sulawesi dan Jawa, terutama dari kalangan narapidana.
Faktor lain dari ketahanan MIT, adalah kemampuannya untuk memanfaatkan bencana alam sebagai platform perekrutan. Misalnya, kelompok dan individu yang berafiliasi dengan MIT, terlibat dalam respons sosial terhadap gempa Palu pada 2018, yang menghancurkan dan menewaskan lebih dari 4.500 orang.
MIT memanfaatkan pula bencana tersebut untuk membawa calon anggota ke Poso dengan kedok pekerjaan kemanusiaan.
Pandemi Covid-19 bermanfaat bagi MIT karena tetap fokus pada komunitas lokalnya. MIT adalah kelompok pertama di Indonesia, yang melakukan serangan selama pandemi, dan menjadikan pandemi sebagai peluang untuk menyerang negara lewat pembunuhan terhadap warga-warga lokal.
Singkatnya, MIT cukup tangguh sejak pemerintah mengumumkan kehancurannya pada medio 2016, dan pandemi berperan dalam ketahanannya. Seperti yang dikatakan Ketua MIT saat ini, Ali Kalora kepada pendukungnya: "Taghut (tiran) akan jatuh karena virus korona, dan perang dalam waktu dekat."
Si gondrong jagoan lokal berwajah tirus tak jelas dan tak menyenangkan ini pun, mengancam akan melakukan pembalasan lebih lanjut terhadap penduduk desa yang mendukung upaya berbagai upaya Pemerintah Indonesia.
Jemaah Islamiyah
Dari semua kelompok militan Islam di Indonesia, pihak yang paling mengambil keuntungan besar dari pandemi korona dan resesi ekonomi ini adalah JI.