Dia berbagi ide tentang praktik pendidikan keragaman kepada para murid.
Misalnya mengajak anak menulis tentang “Aku Bisa dan Aku Tahu Temanku Sedih, Senang, Marah Jika...”. Tulisan “Aku Bisa” bertujuan membangun rasa percaya diri anak. Sedangkan tulisan “Aku Tahu Temanku Sedih, Senang, Marah Jika...” bertujuan agar anak memahami teman dan bisa mengutarakan perasaannya.
“Tidak gampang loh mengkomunikasikan perasaan. Saya mengajak bapak-bapak menulis surat untuk anaknya dan bacakan surat.
Ada bapak yang bilang baru membaca kalimat kedua lalu menangis, karena sebelumnya tidak pernah menyatakan cinta kepada anaknya,” kata Henny kepada para peserta pelatihan yang diselenggarakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sekolah Alam Terpadu Cerlang Pontianak dan Yayasan Suar Asa Khatulistiwa, didukung oleh Yayasan Cahaya Guru.
Menurut Henny, apabila anak tidak terlatih mengutarakan perasaannya melalui komunikasi, bisa jadi anak mengungkapkan perasaannya dengan cara memukul atau menyakiti teman-temannya.
Contoh lain praktik pendidikan keragaman adalah memahami bermacam-macam imajinasi anak, dengan cara guru mengajak anak bermain kertas sobek.
Guru bisa meminta murid-muridnya berusaha menyatukan kertas sobek itu dan membayangkan gambar apa yang terbentuk dari sobekan kertas itu.
“Kemungkinan bermacam-macam imajinasi anak tentang kertas sobek itu. Ketika mereka menyebutkan bermacam-macam imajinasinya, itu adalah hal luar biasa,” papar Henny.
Dia memaparkan bahwa permainan adalah bagian sangat penting untuk menumbuhkan gotong royong anak.
Dalam permainan, anak belajar untuk berinteraksi dan berkolaborasi, saling menerima kekalahan, menghargai yang menang, juga berusaha menang.