KALBAR TERKINI - Pemerintah di masa pandemi Covid-19 ini sebaiknya tak hanya mendata penduduk yang dikategorikan Orang Tanpa Gejala (OTG), positif, dan wafat. Melainkan juga penduduk yang meninggal akibat overdosis obat menyusul eforia atas merebaknya virus tersebut sejak Februari 2020.
Eforia memborong obat-obatan dan vitamin sangat mencolok di Jakarta menjelang terjadinya penguncian (lockdown) terbatas di wilayah DKI Jakarta menyusul pengumuman Gubernur Anis Baswedan bahwa korona sudah merambah wilayahnya.
Pantauan Kalbar-Terkini.com , selama lebih tiga bulan ke depan sejak Februari 2020, hampir tak tersisa di pasaran, obat-obatan yang mengandung pseudoephedrine dan phenylephrine (PE), alias zat pereda batuk, pereda tekanan pada sinus akibat demam, alergi, dan pilek.
Jika pun tersedia, harganya menjadi berlipat-lipat kali. Begitu pula dengan beragam vitamin terutama jenis multivitamin. Rak-rak berisi beragam vitamin dan obatan-obatan itu, kosong selama hampir tiga bulan di seluruh pusat perbelanjaan, yang belakangan merambah ke kota-kota satelit Jakarta: Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Baca Juga: Bahaya Tendangan 'Kungfu' Selama Tes PCR ke Unta Penyebar CoV
Baca Juga: Apes, Pemburu Gading Ini 'Ditakdirkan' Tewas Diinjak Kawanan Gajah
Baca Juga: Sejarah 20 April, Pesawat Apollo 16 Berhasil Mendarat di Bulan
Bahkan, apotek-apotek yang berjejer di Blok M Square, kawasan Blok M, Jakarta Selatan, menyembunyikan obat-obatan dan beragam vitamin ini, yang sebelum tibanya pandemi, gampang ditemui di pasaran. Penjaga dan pengelola apotek, jika ditanya malah menyodorkan vitamin atau obat merek lain, yang harganya jauh lebih mahal.
Banyak kalangan di Indonesia yang ditengarai masih rutin mengkonsumsi obat-obatan dan vitamin-vitamin ini, dengan dosis yang melewati ketentuan. Padahal, jika eforia ini terus berlangsung maka akan berdampak pada kematian, sebagaimana yang terjadi di AS.