Ransomware Rusia Beraksi di AS, Stok Daging Babi Bermasalah

3 Juni 2021, 02:24 WIB
/ILUSTRASI SERANGAN RANSOMEWARE OLEH PETE LINFORTH DARI PIXABAY/ /PETE LINFORTH

KALBAR TERKINI - Geng penjahat siber  ransomware Rusia kembali beraksi di AS. Usai meretas  jaringan internet Colonial Pipeline, perusahaan pipa bahan bakar terbesar di AS pada Mei 2021, serangan kembali dilakukan ke JBS, perusahaan pengolah daging terbesar di dunia yang berbasis di AS, akhir pekan lalu.

Ransomeware,  nama serangan siber  yang mengunci  kendali operasional jaringan komputer milik perusahaan sebagai korban, bakal membuka kembali jaringan perusahaan setelah korban tersebut membayar uang tebusan.

Adapun serangan siber  ke JBS  diklaim berasal  dari geng ransomware REvil di Rusia, menurut seorang sumber yang tak bersedia disebutkan jatidirinya.  Sindikat itu dipastikan tak terkait dengan operasi intelijen Rusia  melainkan murni aksi sindikat kriminal.

Pihak JBS sudah melapor ke Pemerintah Federal AS tentang permintaan  uang tebusan dari geng kriminal siber ini. Sejak serangan siber akhir pekan lalu, dilansir Kalbar-Terkini.com dari The Associated Press, Kamis,  3 Juni 2021, para ahli menyatakan, kerentanan yang terpapar oleh virus dari serangan ini dan lainnya masih jauh dari terselesaikan.

Baca Juga: Joe Biden Bagikan Bir Gratis bagi Warga AS yang Divaksin

REvil belum memposting apa pun yang terkait dengan peretasan di situs web gelapnya.

Tapi, hak ni tidak biasa. Sebab, sindikat ransomware memberlakukan aturan untuk tidak memposting tentang serangan ketika pihaknya masih bernegosiasi awal dengan korban, atau jika korban telah membayar uang tebusan.

JBS belum membahas permintaan tebusan dalam pernyataan publiknya. Pesan telepon dan email yang meminta komentar ditinggalkan oleh perusahaan pada Rabu.

Sementara menurut JBS, Selasa, 1 Juni 2021  malam,  pihaknya telah membuat kemajuan signifikan dalam menangani serangan siber,  dan mengharapkan sebagian besar pabriknya akan beroperasi pada Rabu. Serangan tersebut mempengaruhi server yang mendukung operasi JBS di Amerika Utara dan Australia.

Server cadangan tidak terpengaruh, dan pihak perusahaan mengklaim  tidak mengetahui kemuingkinan adanya  data pelanggan,  pemasok, atau karyawan yang disusupi. “Sistem kami kembali online,  dan kami tidak menyia-nyiakan sumber daya apa pun,  untuk melawan ancaman ini,” tegas Andre Nogueira, CEO JBS AS dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga: Baye Fall, Anak Jin Senegal yang 10 Kali Kabur dari Penjara

Menurut pakar ransomware Allan Liska dari perusahaan keamanan siber Recorded Future, serangan ke JBS merupakan yang terbesar ke produsen makanan. Namun Liska merinci,  setidaknya 40 perusahaan makanan telah menjadi sasaran peretas selama setahun terakhir, termasuk pembuat bir Molson Coors, panic buydan E & J Gallo Winery.

Perusahaan makanan, lanjut Liska, berada di tingkat keamanan yang hampir sama dengan manufaktur dan pengiriman. Artinya, tidak terlalu (membahayakan keamanan perusahaan bersangkutan).

Serangan itu adalah yang kedua dalam sebulan terakhir ke infrastruktur penting di AS. Sebelumnya,  Mei 2021, peretas menutup operasi Colonial Pipeline di AS, selama hampir sepekan.   

Penutupan tersebut memicu antrean panjang dan panic buying di SPBU di seluruh wilayah tenggara AS.  Colonial Pipeline pun mengonfirmasi, pihaknya  membayar 4,4 juta  dolar AS ke peretas. 

Baca Juga: Islamfobia di Austria Membahayakan: Spanduk Ujaran Kebencian Disebar

JBS sendiri adalah produsen daging sapi, babi, dan ayam terbesar kedua di AS. Jika ditutup sekalipun untuk satu hari, AS akan kehilangan hampir seperempat dari kapasitas pemrosesan daging sapinya, atau setara dengan 20 ribu sapi potong, menurut Trey Malone, asisten profesor pertanian di Michigan State University. 

David White, presiden perusahaan manajemen risiko siber Axio, menyatakan bahwa AS tidak memiliki persyaratan keamanan siber untuk perusahaan di luar sistem listrik, nuklir, dan perbankan. Itu mungkin membuat perusahaan, seperti JBS dan Colonial Pipeline,  lebih berisiko. 

White menambahkan,  aturan atau regulasi  akan membantu, terutama untuk perusahaan dengan program keamanan siber yang tidak memadai,  atau belum matang.

"Aturan itu harus spesifik sektornya,  dan harus pula mempertimbangkan risiko ekonomi nasional dari pemadaman (jaringan komputer perusahaan)," katanya. 

Baca Juga: Berdoalah Sebelum Belajar, Ini Berbagai Manfaatnya Khususnya Lebih Sabar dan Ikhlas

Namun,  White menyatakan,  peraturan juga dapat memiliki efek negatif yang tidak disengaja.  

"Beberapa perusahaan mungkin menganggapnya sebagai batas tertinggi – bukan titik awal – untuk bagaimana mereka perlu mengelola risiko.  Intinya, regulasi dapat membantu, tetapi itu bukan obat mujarab,” tegasnya. 

Penutupan pabrik JBS mencerminkan kenyataan bahwa pemrosesan daging modern sangat otomatis, baik untuk alasan keamanan makanan maupun pekerja. Komputer mengumpulkan data untuk berbagai tahap proses produksi, pesanan, penagihan, pengiriman, dan fungsi lainnya yang semuanya serba elektronik.

"Pabrik JBS di Australia kembali beroperasi terbatas pada Rabu di negara bagian New South Wales dan Victoria," kata Menteri Pertanian David Littleproud.  

Baca Juga: Masha and the Bear 'Booming': Tega Dituding Misi Jahat Rusia!

Pihak perusahaan berharap untuk melanjutkan pekerjaan di negara bagian Queensland pada Kamis,  3 Juni 2021 waktu setempat. 

Littleproud menambahkan, departemennya dan pejabat penegak hukum di Australia akan bertemu dengan rekan-rekan di AS pada Rabu. 

JBS, yang merupakan pemegang saham mayoritas Pilgrim's Pride, tidak menebut mana dari 84 fasilitas di AS yang ditutup pada Senin dan Selasa akibat  serangan itu.  

Hanya dinyatakan, JBS AS dan Pilgrim's dapat mengirimkan daging dari hampir semua fasilitasnya pada Selasa. Beberapa pabrik daging babi, unggas, dan makanan siap saji perusahaan, beroperasi pada Selasa,  dan fasilitas daging sapi di Kanada sudah melanjutkan produksi. 

Wakil sekretaris pers utama Karine Jean-Pierre menegaskan pada Selasa bahwa Gedung Putih terlibat langsung dengan pemerintah Rusia terkait masalah ini,  dan menyampaikan pesan bahwa negara-negara yang bertanggung jawab,  tidak menampung penjahat ransomware.  

Baca Juga: Taylor Swift Mati-matian Perjuangkan UU Kesetaraan Lesbian

Menurutnya, FBI sedang menyelidiki insiden tersebut, dan Badan Keamanan Cybersecurity dan Infrastruktur menawarkan dukungan teknis ke JBS.

Selain itu, USDA telah berbicara dengan beberapa pengolah daging utama di AS untuk memperingatkan tentang situasi tersebut, dan Gedung Putih sedang menilai potensi dampak apa pun ke pasokan daging nasional. 

JBS memiliki lebih dari 150 ribu  karyawan di seluruh dunia. 

Menurut Mark Jordan, direktur eksekutif  Leap Market Analytics, gangguan di pasokan makanan kemungkinan akan minimal.

Pengolah daging terbiasa dengan penundaan  karena berbagai faktor termasuk kecelakaan industri dan pemadaman listrik. "Mereka dapat mengganti produksi yang hilang dengan shift ekstra," katanya. 

“Beberapa pabrik yang dimiliki oleh pengepakan daging besar yang offline selama beberapa hari adalah masalah besar, tetapi itu dapat dikelola,  dengan asumsi bahwa hal itu tidak meluas lebih dari itu,” katanya.***  

 

Sumber: The  Associated Press

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler