Misteri Buaya Bertanduk: Samar-samar di Pohon Kehidupan

4 Mei 2021, 00:59 WIB
BUAYA BERTANDUK - Tengkorak buaya bertanduk (Voay robustus), punah dari Madagaskar yang merupakan bagian dari koleksi paleontologi Museum Sejarah Alam Amerika.(KREDIT GAMBAR: M ELLISON/©AMNH/VIA LIVE SCIENCE) /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

KALBAR TERKINI - Buaya bertanduk yang punah (Voay robustus) diyakini bukan merupakan spesies buaya. Spesies ini diyakini spesies sendiri yang musnah dari pohon kehidupan setelah menjadi  endemik di Madagaskar. Ini terjadi  sejak buaya bertanduk hidup selama 9.000 tahun kemudian musnah antara 1.300- 1.400 tahun silam berdasarkan bukti fosil.

Belakangan, setelah hampir 150 tahun kontroversi,  para ilmuwan akhirnya memecahkan misteri klasifikasi seputar buaya bertanduk yang telah punah. Ditentukan pula secara tepat di mana spesies ini berada secara samar-samar di pohon kehidupan.

Voay robustus merupakan endemik Madagaskar, yang untuk kali pertama ditemukan pada 1872. Hewan ini dinamai sesuai dengan tanduk khas di tengkoraknya.  

Baca Juga: Pembaruan iOS 14 Apple, Tingkatkan Iklan Pengguna Facebook

Sejak penemuannya, spesies ini diklasifikasikan dalam beberapa famili yang berbeda, disalahartikan sebagai spesies lain,  dan diberi beberapa nama berbeda, tanpa asal usul evolusioner yang jelas.

Dalam studi terbaru, para peneliti dari American Museum of Natural History (AMNH) di New York City, AS,  menggunakan analisis DNA untuk menjelaskan reptil ambigu ini,  dan menentukan apakah spesies ini termasuk dalam kelompok unik mereka sendiri.

"DNA menceritakan kisah yang berbeda," kata penulis utama Evon Hekkala, seorang peneliti di AMNH dari Universitas Fordham, New York,  AS. "DNA itu memberitahu kami berulang kali bahwa penampilan bisa menipu." 

Baca Juga: Facebook Tinjau Lagi Akun Trump: Hasilnya Segera Diumumkan

Sejarah yang Rumit

Dikutip Kalbar-Terkini.com dari Live Science, Jumat, 30 April 2021, Madagaskar saat ini adalah rumah bagi buaya Nil (Crocodylus niloticus), yang telah menyerang negara pulau itu.  

"Bukti paling awal dari buaya Nil di Madagaskar adalah 300 tahun, tetapi cerita Malagasi menunjukkan bahwa mereka mungkin telah bermigrasi ke sana lebih awal,  dan hidup berdampingan dengan buaya bertanduk, " kata Hekkala. 

Buaya bertanduk bukanlah buaya yang sangat besamr, tetapi tengkorak mereka yang besar menunjukkan bahwa mereka kemungkinan besar adalah 'kuat', yang menyebabkan nama spesies mereka menjadi robustus.

"Kami tidak memiliki kerangka lengkap, tetapi spesies ini tidak terlalu panjang," kata Hekkala. "Berdasarkan ukuran tengkorak mereka, ukuran keseluruhannya mungkin mirip dengan buaya Nil." 

Baca Juga: Sapi 'Nyemplung' ke Air: Peternakan Terapung Rotterdam Dikritik

Sejumlah hewan besar lainnya - termasuk kura-kura raksasa, burung gajah, kuda nil kerdil dan beberapa lemur - juga punah di pulau itu sekitar waktu yang sama dengan buaya bertanduk, tetapi tidak jelas apa yang menyebabkan kematian mereka, menurut pernyataan AMNH.

Hal ini diduga karena kedatangan buaya Nilsecara invasif,  atau lebih mungkin kedatangan manusia pertama di Madagaskar hingga 2.500 tahun yang lalu, menurut para peneliti.

Namun, perubahan iklim alami juga mungkin berperan. "Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa beberapa bagian pulau menjadi lebih kering," kata Hekkala. "Bisa jadi,  ini menguntungkan buaya Nil yang baru tiba,  dan membuat pulau itu lebih tidak ramah bagi buaya bertanduk endemik." 

Catatan fosil yang terbatas dan sejarah ekologi Madagaskar yang tidak lengkap sebagian,  menjelaskan tentang mengapa butuh hampir 150 tahun untuk berhasil menempatkan buaya bertanduk dalam kelompok evolusinya sendiri.

Selain itu, spesies buaya itu sangat mirip secara fisik, terutama tengkoraknya yang secara historis digunakan para ilmuwan untuk mengklasifikasikannya.  

Tapi, variasi tengkorak antarindividu dalam spesies yang sama,  bisa jadi lebih tinggi, yang seringkali membuat mereka tampak berbeda dengan spesies lain.

"Bentuk kepala buaya ini bervariasi secara dramatis dengan usia, jenis kelamin, dan bahkan makanan," kata Hekkala. "Jadi,  tengkorak buaya tua ini yang besar, mungkin membuatnya terlihat sangat berbeda."   

Ketika buaya bertanduk awalnya ditemukan, para ilmuwan mengklasifikasikannya sebagai buaya sejati - subfamili termasuk buaya Nil dan buaya modern lainnya seperti buaya Amerika (Crocodylus acutus) dan buaya air asin (Crocodylus porosus) - dan diberi nama Crocodylus robustus.

"Kebingungan ini bertambah pada 1910,  ketika ilustrasi populer tentang bagaimana rupa buaya bertanduk dirilis dalam sebuah artikel ilmiah, " lanjut Hekkala.

"Sayangnya,  gambar itu sebenarnya menggambarkan buaya Nil zaman modern, tetapi itu membantu memperkuat teori, bahwa buaya bertanduk adalah buaya sejati. Beberapa bahkan berpendapat bahwa buaya bertanduk mungkin saja nenek moyang buaya Nil," sambungnya.

Terori ini tetap menjadi konsensus umum hingga pada 2007, ketika para peneliti menganalisis tengkorak fosil buaya bertanduk, untuk mengungkapkan perbedaan fisiologis yang signifikan dibandingkan dengan buaya Nil.

Hasilnya, buaya bertanduk dimasukkan ke dalam subfamili baru, yang disebut buaya kerdil , alias buaya yang lebih kecil dengan tengkorak pendek,  namun kokoh, menyimpang dari buaya sejati,  jutaan tahun yang lalu.  

Buaya bertanduk juga diberi nama genus baru yakni Voay, yang berarti 'buaya' dalam bahasa Malagasi. 

Dalam studi baru, para peneliti AMNH malah menganalisis bukti DNA untuk menentukan kelompok mana yang sebenarnya dari buaya bertanduk itu. 

Analisis DNA mengungkapkan,  buaya bertanduk bukanlah buaya kerdil seperti yang disarankan oleh penelitian pada 2007. Juga bukan buaya sejati, sebagaimana diasumsikan selama ini oleh para naturalis sebelumnya.  

Sebaliknya,  buaya bertanduk termasuk dalam genus unik tersendiri. "Yang mengejutkan kami pada saat itu adalah bahwa buaya bertanduk tidak dikelompokkan dalam buaya asli, tetapi berdekatan dengannya," kata Hekkala. "Ini membuatnya seperti garis keturunan yang telah lama hilang, yang diisolasi di sebuah pulau." 

Fakta bahwa kelompok baru ini, yang berkerabat dekat dengan buaya sejati, adalah endemik di Afrika, juga menunjukkan bahwa di sinilah buaya pertama kali berevolusi, yang merupakan teori terkemuka di lapangan.

"Data kami mendukung hipotesis bahwa buaya modern yang kami lihat hari ini berasal dari Afrika," ujar Hekkala. 

Mengungkap misteri evolusi seputar buaya bertanduk sangatlah penting, karena membantu para ilmuwan membangun gambaran yang lebih baik tentang bagaimana hewan modern berevolusi, dan bagaimana mereka dapat beradaptasi terhadap perubahan. 

"Spesies yang punah dapat menjadi jembatan untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan," lanjut Hekkala. "Mereka membantu kita melakukan perjalanan waktu,  dan menghubungkan kembali sejarah evolusi,  untuk menceritakan kisah kehidupan dan kepunahan di bumi." 

Studi ini dipublikasikan secara online pada Selasa,  27 April 2021 di jurnal Communications Biology.*** 

 

Sumber:  Live Science

 

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler