Rusia dan Ukraina Diundang ke KTT G-20: Bukti Indonesia tak Menyerah Ditekan Barat

- 28 Juni 2022, 16:00 WIB
Presiden Jokowi diskusi dengan Konselir Jerman/ Foto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi diskusi dengan Konselir Jerman/ Foto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden /

KALBAR TERKINI - Indonesia berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa komitmen nonbloknya tidak akan menyerah pada tekanan negara-negara besar terutama Barat termasuk AS.

Keputusan Indonesia untuk memasukkan Rusia ke dalam daftar undangan KTT G-20 di Denpasar, Bali, November 2022, telah menunjukkan kepada dunia tentang keteguhan komitmennya.

Dengan demikian, menurut ulasan The Conversation, Jumat, 8 April 2022, Indonesia dapat mengambil peran yang baik sebagai tuan rumah atau Presidensi KTT G-20 Tahun 2022.

Baca Juga: Putin dan Zelensky akan Dihadirkan di G-20, Jokowi Dipuji, Joe Biden Dilanda 'Sakit Kepala Diplomat'!

Sikap tegas Indonesia lewat Presiden Joko 'Jokowi' Widodo menjadi sorotan. Sebab, AS dan sekutunya, seperti Australia dan anggota Uni Eropa (UE) menyarankan Rusia dikeluarkan dari KTT G-20 karena menginvasi Ukraina sejak 24 Februari 2022.

Perang Rusia-Ukraina telah berlangsung tanpa tanda-tanda akan segera berhenti. Negara-negara Barat telah mendukung Ukraina dengan senjata, sanksi ekonomi sepihak ke Rusia, dan pengusiran massal diplomat Rusia.

Namun, tulis The Conversation, Jokowi 'telah memutuskan' untuk mengundang Rusia ke KTT G-20. Ini karena Indonesia ingin tetap tidak memihak, dan menjaga hubungan baik dengan kedua pihak yang bertikai.

Baca Juga: Indonesia Jangan Lembek Ditekan Barat: Harus Damaikan Ukraina- Rusia di KTT G-20

Sikap keras Jokowi juga mendorong negara-negara Barat untuk menuntut Ukraina diundang ke KTT G-20, jika Rusia tetap dalam daftar hadir.

Namun, maish dari The Conversation, menyerah pada tekanan dari Barat, sepertinya bukan pilihan yang masuk akal bagi Indonesia.

Masalahnya, jika Indonesia menyerah, maka ini dapat menciptakan keretakan yang tidak perlu, antara Indonesia dan anggota G20 non-Barat lainnya, seperti Brasil dan China.

Setiap keretakan yang tidak perlu dapat mengganggu agenda keseluruhan KTT G-20.

Baca Juga: Menteri Suharso di Forum G-20: Indonesia Belajar dari Banyak Bencana

Langkah tersebut juga tidak sesuai dengan upaya Indonesia saat ini untuk menjaga hubungan baik dengan Rusia dan Ukraina.

Namun secara bersamaan, preferensi Indonesia untuk mengambil memasukkan Krisis Ukraina ke dalam agenda G-20, dan hanya fokus pada isu-isu ekonomi, yang telah mendapat dukungan dari China, juga tidak bijaksana.

Beberapa pakar ekonomi Indonesia berpendapat bahwa perang Rusia-Ukraina, kemungkinan akan menjadi topik yang tidak dapat dihindari dalam agenda KTT G-20.

Pasalnya, perang tersebut telah memperdalam krisis ekonomi global, terutama memicu fluktuasi harga minyak dan komoditas.

Lebih dari separuh negara anggota G-20 juga dengan tegas bersekutu dengan salah satu pihak yang bertikai.

KTT G-20 justru dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan kontribusi nyata bagi proses perdamaian, dengan menjadi mediator antara Rusia dan Ukraina.

Masyarakat internasional, menurut The Conversation, harus optimis bahwa Indonesia dapat menjadi perantara yang jujur ,untuk menengahi beberapa pembicaraan damai antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Indonesia sendiri menganut prinsip politik luar negeri 'bebas aktif', berdasarkan komitmen Indonesia untuk menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.

Berdasarkan prinsip dan komitmen tersebut, Indonesia lebih memilih untuk menghindari keterlibatan dalam konflik terbuka dengan negara-negara besar.

Indonesia juga menolak untuk bersekutu dengan salah satu pihak sambil memusuhi pihak lain.

Sikap ini merupakan aspek penting yang harus diadopsi Indonesia sebagai 'event organiser' G-20.

Hal ini akan memberikan Indonesia keuntungan diplomatik ke Indonesia sekaligus kesempatan untuk menjadi mediator, dan membuktikan peran multilateralnya yang lebih kuat.

Keputusan Indonesia untuk memasukkan Rusia ke dalam daftar undangan GKTT -20 akan menunjukkan kepada dunia, bahwa komitmen non-bloknya tidak akan menyerah pada tekanan negara-negara besar.

Sebaliknya, Indonesia dapat menjadi kekuatan tengah yang strategis, dan mendapatkan kepercayaan dari pihak-pihak yang bertikai.

Jika kedua belah pihak setuju untuk bertemu di KTT, maka Indonesia dapat menggalang anggota G-20 lainnya, dengan sikap dan aspirasi yang sama, sebagai perantara yang jujur untuk memungkinkan pembicaraan damai.

Indonesia memiliki rekam jejak yang baik dalam memediasi konflik regional, sebagaimana diakui oleh Lina Alexandra, peneliti senior lembaga think tank Center for Strategic and International Studies yang berbasis di Jakarta.

Lina menulis dalam makalahnya bahwa pada 1988-1991, Indonesia memainkan peran penting dalam menghentikan konflik bersenjata di Kamboja, dan mengakhiri pendudukan Vietnam di Kamboja.

Alexandra juga menegaskan, Indonesia bertindak sebagai perantara yang jujur untuk memfasilitasi upaya perdamaian konflik antara Filipina dan kelompok separatis Front Pembebasan Nasional Moro pada dekade 1970-an-1990-an.

Pada 1993, Indonesia memimpin Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan menjadi tuan rumah putaran kedua pembicaraan eksplorasi informal di Cipanas, Jawa Barat.

Perundingan tersebut menghasilkan Pernyataan Kesepahaman, yang membuat Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Nasional Moro menandatangani perjanjian damai pada 1996.

Indonesia dapat mengulangi kesuksesan itu, menjadi fasilitator perdamaian yang layak dan strategis antara Rusia dan Ukraina selama kepresidenannya di G-20 Tahun 2022.

Dengan menjadi pernatara yang jujur, Indonesia juga dapat membuktikan kemampuannya dalam menjaga ketertiban internasional, dan meningkatkan citra internasionalnya.

Turki, China, dan Israel, juga berlomba-lomba menjadi mediator konflik Rusia-Ukraina. Namun, sebagai tuan rumah KTT G-20, Indonesia memegang 'tiket emas' untuk itu.

Lewat KTT G-20, Indonesia perlu melihat perang Rusia-Ukraina sebagai kesempatan untuk memfasilitasi perdamaian dari ancaman yang dapat mengganggu rencana Kepresidenan G-20.

Jika Indonesia dapat membawa hasil strategis yang mengarah pada kesepakatan damai, seperti yang telah berhasil dilakukan sebelumnya, itu akan menjadi poin yang baik untuk meningkatkan citra dan daya tawarnya di kancah internasional.***

Sumber: The Conversation

 

Editor: Arthurio Oktavianus Arthadiputra

Sumber: The Conservation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x