PEDULI LINDUNGI DIANGGAP LANGGAR HAM! HRW Soroti Pelanggaran HAM, Ini Deretan Dosa Indonesia di Mata AS

- 16 April 2022, 21:15 WIB
Peduli Lindungi kini hadir fitur offline Check in
Peduli Lindungi kini hadir fitur offline Check in /Renny T Hamzah/Portal Purwokerto


KALBAR TERKINI - Pemerintah AS menilai tingginya kasus pelanggaran HAM di Indonesia sepanjang tahun 2021.

Ini termasuk kewajiban penggunaan aplikasi Pedulilindungi dalam beraktivitas termasuk bepergian, yang dianggap melanggar privasi karena sudah menyangkut data rakyat.

Kaitannya itu, Presiden Joko 'Jokowi' Widodo, setidaknya harus lebih bijaksana dalam memimpin negara.

Baca Juga: SOROT KASUS AHMADIYAH DI SINTANG! HRW Nilai Pemerintah Indonesia Diskriminasi Agama-agama Minoritas!

Serta juga tegas menindak semua bentuk pelanggaran hukum termasuk di kalangan oknum-oknum dalam pemerintahannya.

Hal ini supaya Jokowi, yang memasuki periode terakhir masa jabatannya, kelak meninggalkan warisan yang baik dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia.

Apalagi, Pemerintah AS menilai bahwa kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia sangat kencang, dan hampir merata di semua lini sepanjang 2021.

Baca Juga: Cek Sertifikat Vaksin Melalui Platform Peduli Lindungi, Begini Cara Mudah Yang Perlu Anda Ketahui

Dilansir Kalbar-Terkini.com, laporan setebal 60 halaman ini bertajuk 'Indonesia 2021 Human Rights Report Executive Summary (Ringkasan Eksekutif Laporan Hak Asasi Manusia Indonesia 2021)'.

Dari laporan itu, yang juga bersumber dari laporan-laporan kalangan LSM, sudah termasuk kehadiran aplikasi milik Pemerintah Indonesia, Peduli Lindungi.

Pemerintah lewat penggunaan aplikasi ini yang menjadi kewajiban bagi warga dalam beraktivitas.

Baca Juga: PRT Indonesia Dominan di Taiwan: Gaji dan HAM tak Diakomodir dalam UU Perburuhan!

AS menilai hal tersebut melanggar privasi terkait pelacakan kasus Covid-19 karena berisi data warga Indonesia.

Laporan Pemerintah AS ini juga menyebut tentang tpelanggaran atas hak adat suku-suku pribumi termasuk Dayak.

Pemerintah disebut memandang semua warga negara sebagai 'pribumi', tetapi sebaiknya, mengakui keberadaan kaum pribumi yang sebenarnya.

Baca Juga: Amnesti Internasional Bicara HAM: KKB Papua pun Mendapatkan Pembenaran

Mengutip laporan dari LSM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, diperkirakan bahwa antara 50 dan 70 juta penduduk tinggal di Indonesia.

Ini sudah termasuk Suku Dayak di Kalimantan, serta 312 kelompok adat lainnya di Papua yang diakui secara resmi.

Dilaporkan, hak dan akses ke tanah leluhur masyarakat asli tetap menjadi sumber utama ketegangan di seluruh negara.

Ironisnya, laporan ini menyebutkan, pemerintah dinilai gagal untuk mencegah perusahaan, yang sering berkolusi dengan oknum terkait perambahan tanah masyarakat adat.

Oknum pejabat pemerintah pusat dan daerah juga diduga melakukan ekstraksi suap dari perusahaan pertambangan dan perkebunan, dengan imbalan akses atas tanah masyarakat adat.

Kegiatan pertambangan dan penebangan, banyak di antaranya ilegal, sehingga menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan masalah hukum bagi masyarakat adat.

Data LSM melaporkan bahwa pada Januari 2021, hanya sekitar 193 mil persegi dari 38.610 mil persegi yang telah diusulkan, diberikan kepada kelompok-kelompok adat setempat.

Hibah tanah hutan adat seharusnya secara khusus ditujukan untuk kelompok pribumi.

Namun, perusahaan-perusahaan besar dan oknum-oknum pemerintah terus menggusur individu dari tanah leluhur mereka.

Pada Januari 2020- Maret 2021, Amnesty International melaporkan tentang 61 kasus anggota masyarakat adat yang ditangkap, tanpa proses hukum.

Ini disebut sebagai sebuah tren yang diidentifikasi oleh LSM, atau upaya untuk mengkriminalisasi upaya masyarakat adat dalam mempertahankan hak adatnya.

Pada Juni 2021, misalnya, Human Rights Watch merilis laporan mendalam tentang operasi PT Perkebunan Kelapa Sawit Sintang Raya, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).

Juga terjadi pelanggaran HAM terkait perselisihan antara perusahaan itu dengan masyarakat masyarakat adat di Kabupaten Kubu Raya, Kalbar.

Laporan ini menyatakan, pemerintah sebagai otoritas terkait telah berbuat sangat sedikit untuk menengahi dan menyelesaikan sengketa' tentang kepemilikan tanah.

Pada Februari 2021, misalnya, tiga anggota masyarakat adat Dayak di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, dilaporan ditahan oleh aparat.

Penangkapan ini terkait dengan survei aset atas tanah sengketa antara masyarakat Dayak dan perusahaan kelapa sawit PT Subur Abadi Wana Agung.

Ketiganya dibebaskan keesokan harinya. LSM mengkritik penahanan sebagai upaya kriminalisasi atas upaya masyarakat mempertahankan tanahnya hak.

Disinggung pula tentang masalah korupsi dan kurangnya transparansi pemerintah.

Walaupun undang-undang memberikan hukuman pidana untuk korupsi pejabat, tetapi upaya pemerintah untuk menegakkan hukum tidak cukup.

Ada banyak laporan dari pemerintah tentang korupsi sepanjang tahun.

Meskipun penangkapan dan penghukuman banyak orang terkenal dan pejabat tinggi, termasuk mantan menteri kelautan dan sosial, ada persepsi luas bahwa korupsi tetap endemik.

Kalangan LSM mengklaim, korupsi endemik adalah salah satu penyebab pelanggaran hak asasi manusia, dengan kepentingan uang menggunakan pejabat pemerintah yang korup.

Oknum-oknum ini kemudian melecehkan dan mengintimidasi aktivis dan kelompok yang menghambat bisnis mereka.

Dilaporkan pula bahwa banyak LSM dan aktivis berpendapat bahwa kemampuan KPK untuk mengawas dan mengusut kasus korupsi menjadi terbatas karena badan ini dipilih dan diangkat oleh presiden.

Karena komisi itu bagian dari cabang eksekutif, maka penyidikan oleh KPK terkadang diganggu, diintimidasi, atau diserang karena pekerjaan mereka.

Pada 5 Mei 2021, KPK menyelenggarakan ujian kewarganegaraan untuk semua karyawan.

Ini sebagai bagian dari proses transisi, yang diamanatkan secara hukum untuk mengkonversi staf komisi untuk status pegawai negeri biasa.

Tujuh puluh lima karyawan gagal dalam tes itu, termasuk penyelidik terkemuka yang telah mengkritik komisi kepemimpinan dan amandemen 2019 untuk KPK, dan semua pihak yang terlibat dalam banyak investigasi profil tinggi, termasuk dua menteri.

Pada 15 Juli 2021, ombudsman nasional menyimpulkan bahwa ujian itu tidak semestinya
dikelola. dan bahwa KPK tidak memiliki kedudukan hukum untuk memaksa pegawainya untuk mengikuti ujian.

LSM dan media melaporkan, tes itu adalah taktik untuk memberhentikan penyidik tertentu, termasuk Novel Baswedan.

Penyidik terkemuka yang telah memimpin kasus yang mengakibatkan dipenjarakannya Ketua DPR RI ini, kemudian terluka dalam serangan asam oleh dua orang oknum polisi.

Pada 30 September 2021, KPK memecat 57 dari 75 orang yang gagal tes.

Pada 30 Agustus 2021, dewan pengawas KPK menetapkan bahwa Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar bersalah atas etika pelanggaran dalam penanganan kasus suap yang melibatkan Walikota Tanjung Balai, Muhammad Syahrial.

Dewan memutuskan Siregar memiliki kontak yang tidak pantas dengan subjek penyelidikan untuk keuntungan pribadinya dan dikenakan satu tahun pengurangan gajinya sebanyak 40 persen atas pelanggaran tersebut.

Beberapa kasus korupsi tingkat tinggi telah melibatkan pengadaan pemerintah skala besar atau program konstruksi dan legislator, gubernur, bupati, hakim,
polisi, dan pegawai negeri.

Pada 2020, KPK memulihkan aset negara senilai sekitar Rp 152 miliar (10,7 juta dolar AS); melakukan 114 investigasi, memulai 81 penuntutan, dan menyelesaikan 111 kasus yang menghasilkan hukuman.

Satgas Tipikor Kejaksaan Agung juga turut aktif dalam penyidikan dan penuntutan kasus korupsi tingkat tinggi.

Pada 10 Maret 2021, dua jenderal polisi dinyatakan bersalah, dan dihukum karena menerima suap dari Djoko Soegiarto Tjandra, buronan dari kasus utang Bank Bali.

Suap ini untuk membantunya dalam perjalanan keliling negeri saat menjadi buronan.

Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte divonis empat setengah tahun penjara penjara karena menerima suap Rp 7,2 miliar (500.000 dolar AS).

Sedangkan Brigjen Jenderal Prasetijo Utomo divonis tiga setengah tahun karena mengambil Rp 1,4 miliar (100.000 dolar AS).

Pada 5 April 2021, Tjandra divonis empat setengah tahun penjara penjara karena menyuap Bonaparte, Utomo, dan seorang jaksa.

Pada 16 Juli lalu 2021, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terbukti bersalah menerima suap dari pengusaha dan menyalahgunakan wewenangnya untuk mempercepat izin ekspor larva lobster.

Prabowo divonis lima tahun penjara penjara, denda besar, dan dilarang dari jabatan publik selama tiga tahun setelah berakhirnya masa hukuman.

Pada 23 Agustus 2021, mantan menteri sosial Juliari Peter Batubara ditemukanbersalah karena menerima suap senilai Rp 20,8 miliar (1,45 juta dolar AS) terkait dengan program bantuan pangan pemerintah yang dibuat untuk mengurangi kelaparan selama Pandemi covid19.

Juliari dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, diperintahkan untuk membayar Restitusi Rp 14,6 miliar (satu juta dolar AS), denda Rp 500 juta (34.700 dolar AS), dan dilarang mencalonkan diri untuk jabatan publik selama empat tahun setelah akhir hukuman penjaranya.***

Sumber: Indonesia 2021 Human Rights Report Executive Summary (Ringkasan Eksekutif Laporan Hak Asasi Manusia Indonesia 2021).

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: hrw.org


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x