TRIPOLI, KALBAR TERKINI - Libya terjebak dalam jurang kemiskinan yang dalam sejak tewasnya sang pemimpin, Muammar Khadafi menyusul serangan Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya pada 2011. Negara tersebut pun menjadi menjadi neraka bagi kaum pengungsi.
Di era Khadafi, ketika perekonomian di Libya belum separah seperti sekarang ini, kehidupan kaum pengungsi kala itu masih lumayan aman. Mereka sempat memilih Libya sebagai negara yang strategis untuk transit sebelum pindah ke salah satu negara di Benua Eropa yang bersedia menampung.
Paska kematian Khadafi, Libya menjadi carut-marut. Mereka pun terjebak karena dilarang keluar dari Libya. Tak tahan lagi dengan kondisi negara itu, banyak di antara mereka yang melarikan diri ke Eropa lewat laut, walaupun lebih banyak yang ditangkap dan dipulangkan lagi ke Libya.
Baca Juga: Bahaya! Jika AS Keterlaluan, China Tembakkan Rudal Pembunuh Kapal Induk
Lilitan ekonomi di negara tersebut diduga menjadi penyebab utama jatuhnya moral aparat. Para pengungsi ini dipandang sebagai bukan manusia. Perang berkepanjangan telah membuat menciptakan perasaan memusuhi serta kehidupan menjadi lebih susah untuk mencari nafkah.
Ketika kaum pengungsi berusaha pula untuk ikut mengais rezeki, terjadilah persaingan dengan warga lokal. Mereka pun dianggap musuh oleh umumnya warga Libya. Para pengungsi menjadi sasaran bulan-bulanan terutama dari oknum-oknum aparat.
Mereka akhirnya kerap menjadi objek pemerasan, pemerkosaan, pembunuhan, penculikan, atau diperjakan secara paksa di berbagai usaha karena dianggap sebagai tenaga kerja gratis atau bisa dipekerjakan semena-mena.
Baca Juga: Bidik Wartawan dan Pekerja Publik Lain, Jokowi: Vaksinasi Adalah Pekerjaan Besar Stop Covid-19
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE), berusaha mencegah kedatangan pengungsi ini. Eksodus yang sering berlangsung lewat laut berusaha dicegah. Pada 2016, UE membentuk Pakta UE untuk bekerjasama dengan Pemerintah Libya. Kerjasama ini difokuskan di bidang kelautan untuk mencegah eksodus dari Libya.