Kejam! Gunakan Hak Veto, China Blokir Intervensi Pasukan PBB ke Myanmar!

17 Maret 2021, 19:20 WIB
KORBAN TEWAS - Anggota keluarga berduka atas kematian seorang pengunjuk rasa di kotapraja Hlaing Tharyar, Yangon, Myanmar, Senin 15 Maret 2021. Tharyar ditembak aparat saat berada di antara kerumunan pengunjuk rasa./MYANMAR NOW/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

KALBAR TERKINI - Intervensi tegas PBB ke Myanmar sangat diperlukan, yang bisa berupa  pengiriman pasukan koalisi internasional dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB). Ironisnya, rencana ini diblokir Rusia dan China lewat hak veto di DK-PBB.

Ketidakberdayaan PBB  ini telah lama memicu desakan dari kalangan tokoh-tokoh internasional.  Keberadaan lima Anggota Tetap DK dan hak veto dianggap perlu ditinjau ulang karena perkembangan dunia sudah semakin kompleks.

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari Just Security, Kamis, 25 Februari 2021, Pelapor Khusus PBB untuk HAM di Myanmar telah menyerukan 'tindakan tegas, termasuk penerapan sanksi bertarget yang kuat dan embargo senjata. Dewan HAM PBB menyesalkan pencopotan pemerintah yang dipilih, aksi brutal di Myamar, dan menyerukan pemulihannya.

Adapun berlarut larutnya masalah internasional yang mengakibatkan terjadinya kemanusiaan, tak lain karena adanya hak veto dari negara-negara besar, yang notabene hanya demi  kepentingan sendiri dan kelompok. Hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan, dan undang-undang atau resolusi DK.

Baca Juga: Sudah Tewas 'Didor', Kepala Remaja Myanmar ini Dibenturkan ke Dinding, Tentara: Susah Dibunuh!

Baca Juga: Militer Myanmar Boros Beli Persenjataan, Ini Tiga Negara Pemasok Utamanya

Baca Juga: Ayahnya Tewas Ditembak Junta, Tangis Balitanya Pecah di Pemakaman

Hak veto dimiliki oleh lima Anggota Tetap DK PBB, yakni AS, Rusia (dulu Uni Soviet), Tiongkok (menggantikan Taiwan), Inggris, dan Prancis. Lima negara ini menjadi Anggota Tetap DK PBB karena merupakan kekuatan utama Blok Sekutu yang berhasil memenangkan Perang Dunia II sehingga memiliki kursi tetap.

Masing-masing negara ini memiliki hak veto, yakni hak untuk membatalkan keputusan atau resolusi di DK, sekalipun sudah disetujui semua anggota lainnya. Kelima negara ini disebut juga P5 (P dari kata permanen yang artinya 'tetap').

Keberadaan lima Anggota Tetap dan hak veto dianggap tak sesuai dengan perkembangan zaman karena merupakan warisan PD II. Banyak suara dari tokoh tokoh internasional agar PBB dirombak atau direformasi, supaya dapat mengakomodasi perkembangan dunia internasional, khususnya negara-negara dunia ketiga.

Tokoh tokoh ini, dilansir dari Wikipedia, antara lain, Presiden Sukarno yang mengajukan wacana pada dekade 1960-an disusul Perdana Menteri Malaysia, Dr Mahathir Muhammad.

Usulan dari Organisasi HAM ke PB

Terkait masalah Myanmar, DK PBB  hanya sebatas  memberikan pernyataan  'prihatin yang mendalam'. Namun,  tidak bisa berbuat lebih banyak karena kekuatan veto Rusia dan China. Padahal, Presiden Majelis Umum PBB telah mengutuk kudeta tersebut, dan menekankan bahwa upaya merusak demokrasi dan supremasi hukum, tidak dapat diterima.

Namun, Majelis Umum - organ musyawarah utama PBB - sendiri belum secara resmi mempertimbangkan situasi tersebut, apalagi mengeluarkan tanggapan. Saat DK PBB 'kehilangan arah' untuk mengirim pasukan dari negara-negara anggotanya ke Myanmar, muncul wacana dari Matthew Smith, CEO Fortify Rights, organisasi HAM nirlaba yang bekerja untuk mencegah dan memperbaiki pelanggaran HAM.

Smith menyarankan PBB untuk menggunakan Resolusi Bersatu untuk Perdamaian, sebuah resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 1950. Resolusi ini menyatakan, jika DK gagal menjalankan tanggung jawabnya sehubungan dengan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional, akibat minusnya suara bulat dari anggota tetap, maka Majelis Umum dapat 'mempertimbangkan masalah ini sesegera mungkin'.  

Tujuannya, membuat rekomendasi yang sesuai kepada anggota untuk tindakan kolektif. Isi dari Resolusi Bersatu untuk Perdamaian menekankan,,jika Majelis Umum tidak bersidang pada saat itu, maka dapat digelar sesi khusus darurat.

Sesi itu dapat diminta oleh mayoritas DK atau Majelis Umum.  Resolusi DK yang menyerukan sesi khusus darurat Majelis Umum,  adalah resolusi prosedural. Dengan demikian, tidak tunduk pada hak veto.

Mayoritas anggota DK dapat secara efektif mentransfer masalah ke Majelis Umum, ketika hak veto salah satu dari lima Anggota Tetap DK, mencegah DK untuk mengambil tindakan yang substansif.  

Menurut Smith, resolusi tersebut dapat diangkat terkait penanganan konflik di Myanmar.  Sebab, Piagam PBB memberdayakan Majelis Umum untuk membuat rekomendasi tentang masalah apa saja dalam lingkup piagam. Jadi hal ini secara eksplisit memberdayakannya untuk membuat rekomendasi tentang masalah perdamaian dan keamanan internasional, serta HAM. 

Ada mispersepsi bahwa Majelis Umum tidak bisa menangani masalah yang juga menjadi agenda DK, seperti mengatasi konflik di Myanmar. Hal ini karena adanya pasal 12 ayat 1 Piagam PBB, yang menyatakan bahwa Majelis Umum tidak boleh membuat rekomendasi apa pun tentang masalah yang berkaitan dengan 'apa yang dilakukan DK'  dalam menjalankan fungsinya.  

Pembatasan ini telah ditafsirkan secara sempit. Mahkamah Internasional telah menyatakan, DK dan Majelis Umum, sering berurusan 'secara paralel dengan masalah yang sama mengenai perdamaian dan keamanan internasional.   

Pihak penasihat hukum PBB menegaskan, Majelis Umum tidak boleh dihalangi untuk membuat rekomendasi mengenai masalah yang juga menjadi agenda DK. Kecuali DK sendiri menjalankan fungsinya tentang masalah tersebut pada saat yang sama. 

Jika DK tidak menjalankan fungsinya sama sekali terkait Myanmar, maka Majelis Umum hanya perlu menunggu saat ketika DK tidak menjalankan fungsinya. Saat itu juga Majelis Umum dapat mempertimbangkan, dan membuat rekomendasinya sendiri. 

Berikut Smith menyarankan beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Majelis Umum terkait kudeta militer Myanmar baik dalam sesi reguler maupun khusus.  Di antaranya, mengeluarkan resolusi yang mengutuk kegagalan DK, dan merekomendasikan agar DK menjatuhkan sanksi yang ditargetkan kepada tokoh militer senior atau embargo wajib atas pasokan senjata ke militer Myanmar.   

Tindakan yang paling radikal, Majelis Umum dapat secara efektif menangguhkan Myanmar dari PBB. Caranya,  menolak untuk menyetujui mandat dari perwakilan junta militer, ketika negara-negara anggota mengajukan delegasi mereka untuk sesi tahunan Majelis Umum berikutnya.

Majelis Umum dapat menyetujui mandat dari perwakilan negara anggota tapi harus secara prosedural sebelum menyatakan bahwa persyaratan administratif telah dipenuhi. Misalnya, terkait penangguhan Majelis Umum terhadap Afrika Selatan, di mana mandat perwakilan negara itu  ditolak selama era apartheid.

Kemungkinan ini telah diangkat  di PBB terkait Myanmar. Pendapat hukum pada 2008 tentang kelayakan untuk menggugat kredensial perwakilan junta militer Myanmar (saat itu juga menjadi pemerintah yang berkuasa) menyatakan, Komite Kredensial dapat mempertimbangkan faktor-faktor, seperti legitimasi entitas yang mengeluarkan kredensial, cara yang digunakan untuk mencapainya, dan mempertahankan kekuasaan, serta catatan HAM-nya.

Dengan  demikian maka  mandat perwakilan junta militer dapat secara hukum ditolak atas dasar pelanggaran yang konsisten telah dilakukan oleh junta terhadap prinsip-prinsip dasar dan norma-norma yang ditaati hukum terkait HAM internasional, dan pengabaian terang-terangan atas Tujuan dan Prinsip Piagam PBB.  

Peringatan China

China telah memperingatkan sejak kudeta pada 1 Febriari 2021, bahwa sanksi atau tekanan internasional hanya akan memperburuk keadaan di Myanmar. Dilansir BBC, Rabu, 3 Februari 2021, Beijing sudah lama melindungi Myanmar dari pengawasan internasional. Hal ini karena Myanmar penting secara ekonomi dan merupakan salah satu sekutu terdekat Myanmar.

Bersama Rusia, Tiongkok telah berulang kali melindungi Myanmar dari kritik di PBB atas tindakan keras militer terhadap populasi minoritas Muslim Rohingya. "Sikap Beijing terhadap situasi ini konsisten dengan skeptisisme keseluruhannya terhadap intervensi internasional," kata Sebastian Strangio, penulis dan editor Asia Tenggara di The Diplomat. 

China sendiri dilaporkan sebagai pemasok persenjataan utama untuk Myanmar selain Rusia dan Israel.

Namun, meskipun China mendapatkan keuntungan secara strategis dari keterasingan Myanmar dari barat, ini tidak berarti Beijing mendukung kudeta tersebut. “China memiliki hubungan yang cukup baik dengan NLD (partai pimpinan Aung San Suu Kyii), dan berinvestasi banyak untuk membangun hubungan dengan Aung San Suu Kyii. Dengan kembalinya militer, ini berarti China harus berurusan dengan institusi di Myanmar yang secara historis paling mereka curigai," katanya.*** 

 

Sumber: Just Security, BBC & Wikipedia

 

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler