Aung Hlaing Gagal Dijadikan Penjahat Internasional: Kontribusi Suu Kyi Genosida Muslim Rohingnya

- 17 April 2021, 01:05 WIB
DUET -  Duet 'setali tiga uang'  peristiwa genosida terhadap etnis Muslm Rohingnya di Myanmar: Aung San Suu Kyi (kiri)  dan Min Aung Hlaing (kanan)./PHOTO: WIKIMEDIA COMMONS/
DUET - Duet 'setali tiga uang' peristiwa genosida terhadap etnis Muslm Rohingnya di Myanmar: Aung San Suu Kyi (kiri) dan Min Aung Hlaing (kanan)./PHOTO: WIKIMEDIA COMMONS/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

KALBAR TERKINI - Pada 2017,  pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi bungkam, bahkan menghalangi upaya penyidik PBB  terkait perintah Jenderal Min Aung Hlaing melakukan genosida etnis Muslim Rohingnya: diwarnai perkosaan ramai-ramai oleh tentara terhadap wanita dan anak-anak.

Itu sebabnya Suu Kyi dianggap iblis oleh  etnis Rohingnya. Tak ada tindakan dari Suu Kyi ketika Tatmadauw -nama militer Myanmar- kian brutal melakukan genosida terhadap orang Rohingnya, etnis yang disebut oleh Aung Hlaing sebagai orang Bangladesh, bukan Myanmar, dan tak berhak hidup di Myanmar.

Kini, ketika Myanmar kembali berubah menjadi 'killing fields', Suu Kyi teruntungkan. Hampir 800 warga Myanmar  telah dibantai militer sejak mengkudeta kepemimpinannya pada  1 Februari 2021.

Lepas dari semua itu, Aung Hlaing harus menanggung semua dosanya yang tak terampunkan, dan selalu ditolong oleh Cina, 'bangsa pedagang' yang dikenal di seantero jagat. Cina tutup mata melihat darah dan maut terus terjadi di Myanmar. 

Demi kelancaran kontrak penjualan senjata, Cina, dan juga Rusia,  menghalangi Dewan Keamanan (DK) PBB untuk melakukan intervensi di Myanmar untuk mengatasi  konflik.

Cina dan Rusia selaku dua di antara lima Anggota Tetap PBB,  telah menggunakan Hak Veto mereka untuk menghalangi berbagai upaya PBB  turun tangan di Myanmar.

Baca Juga: Bantai Tentara, 19 Warga Dieksekusi: Tentara Tembak Pemuda Cacat di Masjid

Baca Juga: Di Balik Derita, Suu Kyi Bentuk Pemerintahan: Rakyat Myanmar Bersorak!

Baca Juga: Mulai Menunjukkan Taji, Polisi Virtual Tegur Ratusan Akun Media Sosial Terkait Aturan UU ITE

Akibatnya, PBB sejauh ini hanya sampai pada retorika: 'kami menyayangkan...' atau 'kami mengimbau!, sekalipun pembantaian terus terjadi oleh Tatmadauw, sekelompok rezim paling pengecut di dunia: 'suka-suka' membunuh.

Penjahat Internasional

Dikutip Kalbar-Terkini.com dari Frontline (dikelola oleh PBS.org), 27 Agustus 2018, Tim Pencari Fakta PBB sudah merekomendasi bahwa Aung Hlaing, atas kejahatannya terhadap etnis Rohingnya, adalah penjahat.

Aung Hlaing telah melakukan  kejahatan terhadap hukum internasional sehingga DK PBB diminta untuk merujuk situasi tersebut ke Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC).

ICC adalah badan peradilan independen, dengan yurisdiksi atas orang-orang yang dituduh melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Hanya sajaa, pengamat mencatat bahwa Cina  tidak akan setuju.

Setahun setelah militer Myanmar mengusir ratusan ribu Muslim Rohingya dari negara itu, panel ahli PBB menerbitkan sebuah laporan. Isinya, menyerukan agar para pejabat senior di militer Myanmar untuk diselidiki, dan dituntut atas genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Militer Myanmar berdalih bahwa serangan yang dimulai pada 25 Agustus 2017,  dilakukan setelah kelompok militan -yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA)-  menyerang pos polisi dan pangkalan militer di negara bagian Rakhine sehingga dilakukan 'operasi pembersihan kontra-pemberontakan terhadap teroris'.

Namun, laporan tersebut, hasil dari misi pencarian fakta PBB selama setahun dan dari ratusan wawancara, menyimpulkan bahwa genosida sejak Agustus 2017, adalah 'bencana yang dapat diperkirakan dan direncanakan' , yang 'sangat tidak proporsional' dengan ancaman keamanan.

Rekaman diam-diam yang diambil oleh para aktivis kemanusiaan,  dan  lacakan dari orang-orang yang selamat dan saksi, menunjukkan bahwa Tatmadauw telah menargetkan Rohingya untuk pembantaian yang meluas, membakar desa mereka, membunuh,  dan memperkosa.

Seperti misi pencarian fakta PBB, Frontline menemukan bahwa serangan militer dimulai setelah Muslim Rohingya mengalami diskriminasi dan marginalisasi selama bertahun-tahun. 

Laporan tersebut merinci dampak dari serangan militer: orang-orang yang terbunuh oleh tembakan dan senjata tajam, pembakaran, wanita diperkosa  secara beramai-ramai, dan anak-anak menjadi cacat, mengalami kekerasan seksual atau dibunuh.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari misi tersebut, laporan ini menyebut bahwa 10 ribu kematian terjadi, dan setidaknya 392 desa hancur sebagian, atau seluruhnya. "Sifat, skala, dan organisasi operasi menunjukkan tingkat perencanaan,  dan desain awal di pihak kepemimpinan [militer Myanmar] yang konsisten dengan visi Panglima Tertinggi, Jenderal Senior Min Aung Hlaing," tulis laporan itu.

Laporan itu mengutip pernyataan Ang Hlaing bahwa masalah Rohingya sebagai urusan yang 'belum selesai'.  Laporan menegaskan bahwa kata-katanya menunjukkan bahwa serangan militer bukanlah tanggapan terhadap serangan ARSA pada 25 Agustus 2017.

Melainkan  lebih ditujukan untuk 'memecahkan' masalah Rohingya yang telah berlangsung lama, seperti yang dikatakan oleh sang jenderal pembunuh.  

Genosida dan Kontribusi Suu Kyi  

Laporan juga menyalahkan otoritas sipil Myanmar termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi. Sebab, Suu Kyi memblokir penyelidikan independen, dan menyangkal melakukan kesalahan atas nama militer sehingga Suu Kyi berkontribusi pada tindakan kekejaman.

“Kami sangat kecewa karena Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi,  tidak menggunakan posisi atau otoritas moralnya untuk membendung, mencegah atau mengutuk peristiwa yang terjadi di negara bagian Rakhine,” kecam Radhika Coomaraswamy,  penyelidik PBB dalam konferensi pers. 

Militer Myanmar membantah melakukan kesalahan terhadap warga sipil dalam kampanyenya di negara bagian Rakhine. 

"Kami tidak menerima gagasan misi pencarian fakta, dan  kami sejak awal menolak laporan mereka," kata perwakilan tetap Myanmar untuk PBB, U Hau Do Suan kepada BBC Burma.

“Pelanggaran HAM adalah tuduhan sepihak terhadap kami. Ini dirancang untuk memberi tekanan pada kami oleh organisasi internasional. Laporan mereka didasarkan pada informasi sepihak dari orang-orang yang melarikan diri ke Bangladesh dan kelompok oposisi," tulis laporan tersebut.

Seperti laporan PBB,  warga etnis Rohinnya menggambarkan berbagai peristiwa  yang mengerikan. Pada Juni 2017 misalnya, sebelum serangan ARSA, pihak berwenang di Myanmar mendorong orang-orang Rohingya untuk mendaftarkan dokumen identitas baru, yang disebut NVC.

Rohingya khawatir, dokumen itu akan membantu mengklasifikasikan mereka sebagai imigran Bengali ilegal. 

Ahmed Hussein, seorang pemimpin desa di Chut Pyin. Dia menyatakan  pada awal Agustus 2017, seorang komandan militer Myammar memanggil pemimpin Rohingya,  dan menyampaikan ultimatum: mendaftar untuk  kartu NVC, atau dibunuh! 

“Dia memberi tahu kami, 'Kamu bukan dari negara ini. Kamu datang dari Bangladesh. 'Dia berkata,' Jika kamu tidak mengambil kartu NVC, kami akan membunuhmu. Kami akan memusnahkanmu, dimulai dengan anak-anak, lalu pria dan wanita," lanjut Hussein.

Orang-orang yang selamat dari Chut Pyin kemudian melaporkan tentang pemerkosaan massal, dan tentang bayi-bayi yang dilempar ke dalam api. Seorang pemimpin desa,  yang mencatat semua orang yang hilang, menyatakan bahwa dia telah mengidentifikasi 358 orang yang diyakini tewas dalam serangan itu. 

Di Akademi, Aung Hlaing Dijauhi karena Pendiam

Lahir di Dawei, 3 Juli 1956, Ang Hlaing  menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Myammar pada 30 Maret 2011, dan juga anggota Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC),  yang diketuai oleh Presiden Myanmar. 

Sebelumnya, Ang Hlaing  adalah Kepala Staf Gabungan Kementerian Pertahanan Myanmar, dan dipromosikan menjadi jenderal bintang empat pada awal 2011, kemudian menjadi jenderal bintang lima pada Maret 2013.  

Pada 5 November 2020, Tatmadaw menyatakan,  pangkat Jenderal Senior Min Aung Hlaing adalah setara dengan Wakil Presiden Myanmar. 

Ang Hlaing mengenyam pendidikan militer pada 1956 di Tavoy, Divisi Tenasserim, dan lulus untuk kelas Matrikulasi pada 1972 di BEHS 1 Latha.

Dia kemudian kuliah di Universitas Ilmu dan Seni Rangoon.  

Sejak tahun 1973, Ang Hlaing bergabung dengan Akademi Layanan Pertahanan hingga tahun 1974.  

Selama di akademi, Ang Hlaing dijauhi oleh teman-teman sekelasnya karena kepribadiannya yang  pendiam. 

Ayah Aung Hlaing adalah U Thaung Hlaing, seorang insinyur sipil yang bekerja di Departemen Konstruksi.

Setelah lulus, Aung Hlaing melanjutkan untuk posisi komando di Mon State,  dan pada  2002 dipromosikan menjadi Panglima yang Segitiga Komando Daerah,  dan merupakan tokoh sentral dalam negosiasi dengan dua kelompok pemberontak, Tentara Negara Wa (UWSA) dan Tentara Nasional Aliansi Demokratik (NDAA). 

Aung Hlaing menjadi terkenal pada 2009,  setelah memimpin serangan terhadap pemberontak Tentara Nasional Aliansi Demokratik di Kokang.

Pada Juni 2010, Aung Hlaing menggantikan Jenderal Shwe Mann sebagai Kepala Gabungan Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.  

Pada November 2011, dilansir dari majalah berita The Irrawaddy, promosi itu terjadi  setelah keberhasilann Aung Hlaing bertemu dengan pejabat militer Tiongkok, terkait menciptakan perjanjian bilateral untuk kerja sama pertahanan Myanmar-Tiongkok.

Ang Hlaing juga mengadakan pembicaraan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping mengenai kerjasama kedua negara terkait penanganan konflik dengan etnis Kachin. 

Pada  27 Maret 2012, dalam pidatonya di Naypyidaw, Aung Hlaing membela peran lanjutan militer dalam politik nasional.

Pada  3 April 2012, Pemerintah Myanmar mengumumkan bahwa Aung Hlaing telah dipromosikan ke pangkat wakil jenderal senior tertinggi kedua di Angkatan Bersenjata Myanmar.

Aung Hlaing kemudian dipromosikan menjadi Jenderal senior pada Maret 2013.***

 

Sumber: Frontline, Wikipedia

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah