Ingat, Orang Dayak Harus Patuhi Hukum Negara: Hasil Rapat Kepala Suku dan Adat se-Borneo

- 3 Maret 2021, 15:36 WIB
HUKUM  DAYAK - Rapat virtual para kepala suku dan adat Dayak Internasional se-Pulau Borneo sepakat, keberadaan hukum adat, termasuk hukum adat Dayak dan hukum negara, adalah hukum positif sebagai yang berlaku saat ini. Hukum adat sebagai hukum positif  berlaku di mana-untuk menciptakan kedamaian dan ketertiban masyarakat./THE LEADERS/
HUKUM DAYAK - Rapat virtual para kepala suku dan adat Dayak Internasional se-Pulau Borneo sepakat, keberadaan hukum adat, termasuk hukum adat Dayak dan hukum negara, adalah hukum positif sebagai yang berlaku saat ini. Hukum adat sebagai hukum positif berlaku di mana-untuk menciptakan kedamaian dan ketertiban masyarakat./THE LEADERS/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

PONTIANAK, KALBAR TERKINI - Hasil rapat virtual para kepala suku dan tokoh adat Dayak se-Pulau Borneo sudah diserahkan kepada  Presiden Dayak Internasional (Dayak International Organization/DIO) Datuk Dr Jeffrey G Kitingan yang juga Deputi Ketua Menteri Negara Bagian Sabah, Malaysia.

Keterangan yang diterima Kalbar-Terkini.com dari Dismas Aju,  Humas DIO, Rabu, 3 Maret 2021, rapat virtual berikutnya dihadiri oleh Kitingan  serta  Ketua Umum Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) Drs Askiman MM.

"Setelah kami laporkan kepada Datuk Jeffrey Kitingan dan Askiman, rapat kami lanjutkan dengan rapat virtual yang diikuti beberapa tokoh Suku Dayak dari Indonesia dan Malaysia, sebagai bentuk dari sosialisasi program kerja Dayak International Organization dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional," kata mantan wartawan Harian Sore Sinar Harapan ini.

Baca Juga: Polda Kalbar Musnahkan Sabu 20,141 Kilogram, Hasil Operasi Sepanjang Februari 2021

Adapun rapat virtual yang sudah dilaporkan kepada Presiden DIO ini, yakni pembahasan tentang Tata Cara Peradilan Adat Dayak, serta Kesetaraan Hukum Adat Dayak dan Hukum Negara di Indonesia dan Malaysia (Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak).

Digelar  dari Kota Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat,  rapat virtual  antara lain dihadiri oleh  Dr Yulius Yohanes MSi, Salfius Seko SH, MH (Panglima Antayot), Tobias Ranggie SH (Panglima Jambul), Dr Jiuhardi SE MM (Samarinda), Dr Drs Dagut H Djunas, SH MT (Palangka Raya),  Bujino A Salan SH MH (Banjarmasin).

Baca Juga: Turut Cerdaskan Anak Perbatasan, Personel Satgas Yonif 407/Padma Kusuma Menjadi Tenaga Pendidik

Sesuai jadwal yang disusun berdasarkan rapat pada Rabu, 24 Februari 2021, rapat virtual gabungan Indonesia dan Malaysia ini, dipandu Aju (Pontianak), dengan pemateri dari Kalimantan Barat, yakni Yulius Yohanes, berjudul Sikap dan Langkah Masyarakat Suku Dayak sehubungan Pemindahan Ibu Kota Negara ke Provinsi Kalimantan Timur, dan Urgensi Suku Dayak Mesti Kembali pada Karakter dan Jatidirinya.

Salfius Seko membahas kesetaraan hukum adat Dayak dan hukum negara di Indonesia dan Malaysia. Tobias Ranggie membahas urgensi dibentuknya panduan umum tata cara peradilan adat Dayak dengan tidak menghilangkan ciri khas dan aturan baku hukum adat yang ada pada masing-masing rumpun Suku Dayak.

Yulius Yohanes, Salfius Seko dan Tobias Ranggie, menggarisbawahi bahwa tidak mungkin dilakukan penyeragaman terhadap hukum adat Dayak. Langkah modernisasi bisa dilakukan, tapi tidak menghilangkan makna religi di dalam hukum adat di masing-masing rumpun Suku Dayak. Di antaranya, perlunya keberadaan Hukum Adat Dayak secara tertulis dari masing-masing rumpun Suku Dayak, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembenahan jaringan infrastruktur kebudayaan Dayak.

Di samping itu, perlunya pemahaman kolektif bahwa hukum adat Dayak pada dasarnya bertujuan menciptakan rasa keadilan dan ketentraman masyarakat, sehingga terhindar dari penyalahgunaan dan praktik komersialisasi, dan siapa saja yang berwenang menggelar peradilan adat Dayak.

Materi dari Yulius Yohanes, Salfius Seko dan Tobias Ranggie, kemudian ditanggapi Jiuhardi (Samarinda), Dagut H Djunas (Palangka Raya), Bujino A Salan (Banjarmasin), Marli Kamis (Tanjung Selor), Dr Benedictus Topin (Presiden International Dayak Justice Council, dan Presiden Hakim Adat Dayak Internasional).

Hadir pula  Jalumin bin Bayogoh (Perwakilan Dayak International Organization di Negara Bagian Sabah), Andrew Ambrose Atama Katama (Perwakilan Tetap Suku Dayak di Perserikatan Bangsa-Bangsa), Mike M Jok (Sabah), Peter John Jaban (Panglima Ribut dari Sarawak), dan Buni Japah (Sarawak).

Para penanggap menggarisbawahi penyusunan materi Hukum Adat Dayak dari masing-masing rumpun Suku Dayak. Filosofinya harus mengacu kepada 96 pasal Hukum Adat Dayak, penjabaran dari sembilan poin kesepakatan para tokoh Dayak se-Pulau Borneo di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, 22 Mei - 24 Juli 1894.

Baca Juga: Lantik dan Kukuhkan Pengurus KONI Singkawang, Fachrudin Harap Kekompakan Pembinaan Atlet

Hukum adat, termasuk hukum adat Dayak adalah salah satu sumber dari segala sumber hukum negara, di samping Pancasila sebagai sumber utama. Karena itu penerapan hukum negara, filosofinya harus sejalan dengan hukum adat. Jadi, hukum adat Dayak adalah salah satu filosofi dalam pembentukan hukum negara di Indonesia.

Keberadaan hukum adat, termasuk hukum adat Dayak dan hukum negara adalah hukum positif sebagai hukum yang berlaku saat ini. Hukum adat itu sebagai hukum positif, berlaku di mana-mana untuk menciptakan kedamaian dan ketertiban masyarakat.

Itu sebab dalam filosofi hukum, dipahami bahwa jika terjadi sengketa perdata dan pidana, bisa diselesaikan sesuai kearifan lokal, maka hukum adat dijadikan pilihan selagi sejalan dengan filosofi hukum negara. Karena tujuan penerapan hukum positif (hukum negara dan hukum adat), untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian masyarakat.

Kemudian para penanggap akan menggarisbawahi tuntutan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak sebagaimana tertuang di dalam Protokol Tumbang Anoi 2019, hasil Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Tumbang Anoi 1894 di Desa Tumbang Anoi, 22 - 24 Juli 2019.

Tuntutan Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak di Pulau Borneo, sebagai bentuk dukungan terhadap Hasil Seminar Nasional Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa, 4 April 2017, di mana ditegaskan, pembangunan nasional di Indonesia di masa mendatang harus berdasarkan akselerasi kapitalisasi dan modernisasi kebudayaan asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia di dalam pembangunan Nasional.

Kemudian sebagai langkah dukungan masyarakat Suku Dayak terhadap keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017tentang Pemajuan Kebudayaan. Intinya, sebagai suku bangsa di Indonesia, harus kembali kepada karakter dan jatidirinya, dengan menjadikan kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia sebagai filosofi etika berperilaku.

Dari Sabah akan membahas keberadaan hakim adat Dayak yang disebut Anak Negeri, di Sarawak yang disebut Pemanca, Tenggung di Provinsi Kalimantan Barat, Damang di Provinsi Kalimantan Tengah, dan sebutan lainnya.

Hasil rapat virtual, Sabtu, 27 Februari 2021, ditindaklanjuti dengan rapat berikutnya yang akan dihadiri Presiden Dayak International Organization Datuk Dr Jeffrey G Kitingan (Deputi Ketua Menteri Sabah), Ketua Umum Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) Drs Askiman MM.***

 

 

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x