Whatsapp Bahayakan Negara: Dituntut Hapus Enskpripsi End-to-End

26 Mei 2021, 13:39 WIB
TUNTUTAN INDIA - Pemerintah India mendesak Whatsupp untuk menghapus sejumlah kebijakabn privasi bagi penggunanya termasuk Enskpripsi End-to-End di pirantinya karena maraknya pembuat berita hoax tentang Covid-19./IMAGE: WHO/CAPTION: OKTAVIANUS CORNELIS/ /WHO

KALBAR TERKINI - Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa di bidang media sosial (medsos) terus dipermasalahkan oleh otoritas di sejumlah setempat.

Ini  terkait pemuatan konten atau informasi yang dianggap membahayakan stabilitas keamanan di negara-negara tersebut sekalipun pengelola medsos melindungi privasi  si pembuat konten.

Medsos cenderung tidak menyeleksi konten-konten yang riskan memicu kesalahan informasi, informasi palsu atau hoax sehingga memancing kegaduhan di masyarakat.

Bahkan, perang status dalam konflik politik antarnegara, antarpartai, antarras, atau antargolongan  pun selalu ramai di media sosial, terutama di Twitter dan Facebook.

Di India, pemerintahan Perdana Menteri Narendra Damodardas Modi,  yang sedang puyeng oleh menggilanya pandemi Covid-19 , semakin puyeng lagi dengan bermunculannya berbagai informasi yang menyesatkan terkait virus korona di Whatsapp.

Baca Juga: Ular Piton Mangsa Anjing, Hanya Tiga Menit !

Itu sebabnya Pemerintah India  berusaha memblokir peraturan WhatsUpp yang mulai berlaku pada Rabu, 26 Mei 2021, yang menurut para ahli akan memaksa unit Facebook (FB.O) selaku induk Whatsapp yang berbasis di California, AS,  untuk melanggar perlindungan privasi, menurut sumber Reuters sebagaimana dikutip Kalbar-Terkini.com, Rabu ini.

WhatsApp telah mengajukan keluhan hukum di Pengadilan Tinggi Delhi terhadap Pemerintah India.

Gugatan tersebut, sebagaimana  dijelaskan oleh sejumlah sumber, meminta pengadilan menyatakan bahwa salah satu aturan baru pemerintah ini merupakan pelanggaran hak privasi dalam konstitusi India.

Sebab, aturan ini mengharuskan perusahaan media sosial untuk mengidentifikasi 'pencetus informasi pertama. ketika pihak berwenang menuntutnya.

Meskipun undang-undang mewajibkan WhatsApp untuk hanya membuka identitas orang-orang yang secara kredibel dituduh melakukan kesalahan, tapi perusahaan tersebut menyatakan bahwa dalam praktiknya,  mereka tidak dapat melakukannya sendirian.  

Baca Juga: Sultan Buton Tuntut DOB Provinsi Kepulauan Buton

Hal ini karena pesan di WhatsApp dienskpripsi secara end-to-end  untuk mematuhi hukum. Jika melanggarnya maka WhatsApp menyatakan bahwa itu sama saja pihaknya merusak enkripsi untuk penerima dan 'pencetus' pesan.

Reuters tidak dapat secara independen mengonfirmasi bahwa pengaduan tersebut telah diajukan ke pengadilan oleh WhatsApp, yang memiliki hampir 400 juta pengguna di India.

Sementara orang-orang yang mengetahui masalah tersebut menolak untuk diidentifikasi, karena sensitivitasnya  masalah tersebut.

Seorang juru bicara WhatsApp menolak berkomentar.

Gugatan Whatsapp tersebut meningkatkan pergulatan yang berkembang antara Pemerintah India dan raksasa-raksasa teknologi termasuk Facebook, induk Google Alphabet (GOOGL.O), dan Twitter (TWTR.N) di India, salah satu pasar pertumbuhan global utama mereka.

Ketegangan meningkat setelah kunjungan polisi ke kantor Twitter,  awal pekan ini. Layanan micro-blogging telah memberi label pada postingan oleh juru bicara partai dominan dan lainnya,  sebagai 'media yang dimanipulasi', dengan menyatakan bahwa konten palsu sudah termasuk.

Baca Juga: Pomdam XII Tanjungpura Kunjungi Panti Pepabri, Danpom Ajak Peduli Sesama dan Mohon Doa Kesehatan

Pemerintah India juga telah menekan perusahaan teknologi untuk menghapus, tidak hanya apa yang digambarkannya sebagai informasi yang salah tentang pandemi Covid-19 yang melanda India.

Melainkan juga beberapa kritik terhadap tanggapan pemerintah terhadap krisis, yang merenggut ribuan nyawa setiap hari.

Tanggapan perusahaan terhadap aturan baru tersebut telah menjadi subjek spekulasi yang intens sejak diluncurkan pada Februari 2021, 90 hari sebelum aturan tersebut diberlakukan.

Pedoman Perantara dan Kode Etik Media Digital, yang diumumkan oleh Kementerian Teknologi Informasi India, menunjuk 'perantara media sosial yang signifikan' ,  untuk kehilangan perlindungan dari tuntutan hukum dan tuntutan pidana,  jika mereka gagal mematuhi kode. 

WhatsApp, induknya Facebook, dan perusahaan teknologi lainnya telah berinvestasi besar-besaran di India. Tetapi,  pejabat perusahaan khawatir secara pribadi bahwa peraturan yang semakin berat oleh pemerintahan Modi,  dapat membahayakan prospek tersebut. 

Di antara aturan baru tersebut adalah persyaratan bahwa perusahaan media sosial besar menunjuk warga negara India untuk peran kepatuhan utama, menghapus konten dalam waktu 36 jam setelah perintah hukum, dan menyiapkan mekanisme untuk menanggapi keluhan.

Baca Juga: Giant Seluruh Indonesia Akhirnya Ditutup, PT Hero Ungkapkan Beratnya Bisnis Ritel Ditengah Pandemi Covis-19

Mereka juga harus menggunakan proses otomatis untuk menghapus pornografi. Facebook telah menyatakan setuju dengan sebagian besar ketentuan,  tetapi masih mencari cara untuk merundingkan beberapa aspek.

Twitter, yang mendapat kecaman paling banyak karena gagal menghapus postingan para kritikus pemerintah, menolak berkomentar. 

Beberapa orang di industri medsos ini mengharapkan penundaan dalam penerapan aturan baru dan meminta keberatan pihaknya didengarkan. 

"Keluhan WhatsApp ini, mengutip putusan Mahkamah Agung India 2017 yang mendukung privasi dalam kasus,  yang dikenal sebagai Puttaswamy," kata seorang sumber. 

Pengadilan kemudian memutuskan bahwa privasi harus dipertahankan. Kecuali dalam kasus-kasus di mana legalitas, kebutuhan, dan proporsionalitas, semuanya dipertimbangkan. WhatsApp berpendapat, undang-undang tersebut gagal ketika tes tersebut dimulai lewat kurangnya dukungan parlemen yang eksplisit.

Baca Juga: Rachel Vennya Miliki Kerajaan Bisnis di Seluruh Indonesia, Berikut Profil Lengkap Agama, Pendidikan dan Karir

Para ahli telah mendukung argumen WhatsApp. “Persyaratan ketertelusuran dan pemfilteran baru dapat mengakhiri enkripsi ujung-ke-ujung di India,” tulis sarjana Stanford Internet Observatory,  Riana Pfefferkorn pada Maret 2021. 

Gugatan pengadilan lainnya terhadap aturan baru sudah ditunda di Delhi dan di tempat lain. 

Kalangan jurnalis berpendapat,  perluasan regulasi teknologi kepada penerbit digital, termasuk penerapan standar kesusilaan dan selera, tidak didukung oleh undang-undang yang mendasarinya.*** 

 

Sumber: Reuters

 

 

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler