Harusnya Didata: Warga yang Wafat Overdosis Obat akibat Covid-19

21 April 2021, 01:19 WIB
PANIK - Terjadi kepanikan membeli '(panic buying)' di pusat-pusat perbelajaan menjelang penguncian akibat pandemi Covid-19 di AS. Selain sembako dan kebutuhan rumah tangga, berbagai jenis obat dan vitamin 'menghilang' dari rak-rak' karena diborong pembeli./PHOTO: SAN ANTONIO REPORT/CAPTION: OKTAVIANUS/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

KALBAR TERKINI -  Pemerintah di masa pandemi Covid-19 ini sebaiknya tak hanya mendata penduduk yang dikategorikan Orang Tanpa Gejala (OTG), positif,  dan wafat. Melainkan juga penduduk yang meninggal  akibat overdosis obat menyusul eforia atas merebaknya virus tersebut sejak Februari 2020.

Eforia memborong obat-obatan dan vitamin sangat mencolok di Jakarta  menjelang terjadinya penguncian (lockdown) terbatas di wilayah DKI Jakarta menyusul pengumuman Gubernur Anis Baswedan bahwa korona sudah merambah wilayahnya. 

Pantauan Kalbar-Terkini.com , selama lebih tiga bulan ke depan sejak Februari 2020,  hampir tak tersisa di pasaran, obat-obatan yang mengandung   pseudoephedrine dan phenylephrine (PE), alias zat pereda batuk, pereda tekanan pada sinus akibat demam, alergi, dan pilek.

Jika pun  tersedia, harganya menjadi  berlipat-lipat kali. Begitu pula dengan beragam vitamin terutama jenis multivitamin. Rak-rak berisi beragam vitamin dan obatan-obatan itu, kosong selama hampir tiga bulan di seluruh pusat perbelanjaan, yang belakangan merambah ke kota-kota satelit Jakarta: Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Baca Juga: Bahaya Tendangan 'Kungfu' Selama Tes PCR ke Unta Penyebar CoV

Baca Juga: Apes, Pemburu Gading Ini 'Ditakdirkan' Tewas Diinjak Kawanan Gajah

Baca Juga: Sejarah 20 April, Pesawat Apollo 16 Berhasil Mendarat di Bulan

Bahkan, apotek-apotek yang berjejer di Blok M Square, kawasan Blok M, Jakarta Selatan, menyembunyikan obat-obatan dan beragam vitamin ini, yang sebelum tibanya pandemi, gampang ditemui di pasaran. Penjaga dan pengelola apotek, jika ditanya malah menyodorkan vitamin atau obat merek lain, yang harganya jauh lebih mahal.

Banyak kalangan di Indonesia yang ditengarai masih rutin mengkonsumsi obat-obatan dan vitamin-vitamin ini, dengan dosis yang melewati ketentuan. Padahal, jika eforia ini terus berlangsung maka akan berdampak pada kematian, sebagaimana yang terjadi di AS.

Dikutip dari Live Science, Minggu, 18 April 2021, kematian akibat overdosis obat di AS melonjak selama lokcdown Covid-19. Lebih dari 87.200 orang di AS meninggal karena overdosis obat, terutama terkait opioid, yakni obat-obatan yang mengandung pseudoephedrine dan phenylephrine, antara September 2019 dan September 2020.

Kematian akibat overdosis AS melonjak selama paruh pertama pandemi Covid-19,  menurut data awal dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Lonjakan kematian ini terjadi dalam periode 12 bulan sejak September 2019- September 2020, menurut data yang diterbitkan pada Rabu  16 April 2021.

Tetapi, para pejabat memperkirakan ada kemungkinan lebih dari tiga ribu kematian tambahan karena overdosis yang tidak dilaporkan secara resmi.

Inilah jumlah kematian akibat overdosis tertinggi sejak epidemi opioid pertama kali dimulai pada dekade 1990-an, menurut The New York Times.

Angka ini juga merupakan kemunduran dari sedikit penurunan kematian akibat overdosis yang terjadi di AS untuk kali pertama dalam beberapa dekade pada 2018.

Peningkatan kematian akibat overdosis dimulai pada bulan-bulan menjelang pandemi,  tetapi kemudian melonjak selama pandemi musim semi lalu.

Jumlah kematian akibat overdosis dari September 2019- September 2020, lebih tinggi 28,8 persen dibandingkan kematian akibat overdosis pada September 2018- September 2019. 

Peningkatan kematian terbesar terjadi pada April dan Mei 2020, ketika banyak negara bagian berada di bawah penguncian yang paling ketat, di mana orang-orang kehilangan pekerjaan, dan dilanda ketakutan sehingga tekanan akibat pandemi meluas, menurut Times. 

"Apa yang kami lihat,  terutama pada hari-hari awal Covid-19, tetapi hingga hari ini, pandemi benar-benar telah memisahkan orang dari layanan pengobatan kecanduan, dari layanan pengurangan dampak buruk, dari komunitas, dan jaringan yang mereka gunakan untuk tetap aman dan menghindari overdosis,"  kata Dr Jessica Taylor, seorang spesialis pengobatan kecanduan di Pusat Kecanduan Grayken Boston Medical Center.

Menurut asisten profesor Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Boston kepada Boston 25 News, akses ke layanan telemedicine dan obat-obatan untuk mengobati gangguan kecanduan, adalah kunci untuk membalikkan tren tersebut. 

Sebagian besar overdosis obat disebabkan oleh fentanil, yang dibuat secara ilegal,  dan opioid sintetis lainnya. Tetapi beberapa juga karena obat perangsang, seperti metamfetamin, menurut Times.

Semakin banyak kematian yang melibatkan kombinasi obat-obatan, seperti fentanil atau heroin,  yang dicampur dengan stimulan. 

"Peningkatan kematian tertinggi akibat opioid, yang sebagian besar didorong oleh fentanil, sekarang terjadi di antara orang kulit hitam Amerika," kata Dr Nora Volkow, direktur Institut Penyalahgunaan Narkoba Nasional, pada konferensi kecanduan,  pekan lalu, tulis Times. 

"Dan ketika kita melihat kematian akibat metamfetamin, maka sangat mengerikan untuk menyadari bahwa risiko kematian akibat overdosis metamfetamin, adalah 12 kali lipat lebih tinggi di antara orang Indian Amerika, dan penduduk asli Alaska dibandingkan kelompok lain," tulis sebuah laporan  yang didasarkan pada data dari database Sistem Statistik Vital Nasional.***

 

Sumber: Live Science

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler