Bahasa Melayu belum Siap jadi Bahasa Resmi ASEAN, Antropolog: Banyak Warga Malaysia Suka Pakai Bahasa Inggris

7 April 2022, 15:03 WIB
Malaysia ingin menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua ASEAN/ /thilipen rave kumar/pexels.com/

PONTIANAK, KALBAR TERKINI - Jaringan infrastruktur bahasa Melayu belum siap untuk menjadi bahasa resmi (lingua franca) di antara negara-negara anggota ASEAN.

Demikian pernyataan Antropolog Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak Dr Kristianus Atok serta pengamat kebijakan publik sekaligus Sekretaris Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Tanjungpura Pontianak Dr Yulius Yohanes MSi.

Demikian Kristianus dan Yulius sebagaimana dilansir Kalbar-Terkini.com dari portal berita DIO-Tv.com, Kamis, 7 April 2022, yang dikelola oleh Dayak International Organization (DIO).

Baca Juga: KERAS! Nadiem Tanggapi PM Malaysia: Bahasa Indonesia lebih Layak Dibandingkan Bahasa Melayu!

Keduanya menanggapi wacana Perdana Menteri Malaysia Datuk Sri Ismail Sabri Yaakob supaya bahasa Melayu, sebagaimana terungkap dari Consumer News and Business Channel Indonesia di Jakarta, Jumat, 1 April 2022.

Alasan Ismail Sabri Yakoop, sekitar 300 juta warga masyarakat di negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sudah terbiasa menggunakan bahasa Melayu, sehingga layak ditetapkan menjadi bahasa resmi.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nadiem Makarim pada Senin, 4 April 2022, menolak bahasa Melayu jadi bahasa resmi ASEAN.

Baca Juga: Telah Ditetapkan sebagai WBtB, Disdikbud Kota Pontianak Susun Kamus Bahasa Melayu Pontianak

Menurut Kristianus dan Yulius, hanya orang Melayu di Malaysia yang menggunakan bahasa Melayu dalam komunikasi resmi.

Etnis India dan Tionghoa sebagai etnis terbesar setelah etnis Melayu di Malaysia, sangat jarang menggunakan bahasa Melayu, karena lebih senang menggunakan bahasa Inggris, India, Mandarin, Tiociu atau bahasa Khek.

Kristianus danYuliis sepakat, wacana PM Malaysia itu lebih dilihat sebagai langkah diplomasi politik, dan bukti untuk tetap harus menjaga hubungan baik Malaysia dengan Indonesia, karena Indonesia dan Malaysia adalah bangsa serumpun.

Baca Juga: WASPADA! Malaysia Bernafsu Dominasi Politik di Asia Tenggara: Dikecam di 'Kandang' Sendiri!

Apalagi, wacana itu, bersamaan dengan sikap resmi Malaysia yang mendukung pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, saat bertemu Presiden Indonesia Joko Widodo di Jakarta, Jumat, 1 April 2022.

“Waktu saya kuliah program doktoal di Malaysia, dosen bahasa Melayu saya alumni Univeritas Sumatera Utara.

Jadi, parameter bahasa Melayu harus diformat ulang, kalau memang ingin menjadi bahasa resmi di ASEAN,” ujar Kristianus.

Kristianus menambahkan, jika ingin bahasa Melayu menjadi bahasa resmi ASEAN, maka jaringan insfratrukturnya di Malaysia, harus dibenahi terlebih dahulu.

Di antaranya, ada regulasi mengikat, mewajibkan Bahasa Melayu bahasa resmi di lingkungan Pemerintah Malaysia dan masyarakat luas di Malaysia.

Sementara Yulius menilai, wacana PM Malaysia itu harus dilihat sebagai upaya mempersatukan segenap komponen masyarakat di Malaysia dalam membangun berdasarkan historis pembentukan Federasi Malaysia pada 1963.

“Bahasa adalah simbol peradaban. Saya melihat Datuk Ismail Sabri Yakoop, sangat simbolik, simpatik, karena wacana disampaikan hanya beberapa saat, usai bertemu Presiden Indonesia, di Jakarta, 1 April 2022," katanya.

"Tinggal sekarang, Malaysia harus bisa meyakinkan seluruh masyarakat di ASEAN untuk bisa menggunakan Bahasa Melayu,” lanjut Yulius.

Diungkapkan Yulius, wacana itu tidak terlepas dari hasil amamen Konstitusi Malaysia.

Sebab pada Jumat, 11 Februari 2022, Pemerintah Federasi Malaysia mengumumkan, memberikan hak kepada Pemerintah Negara Bagian Sabah dan Sarawak.

Hal ini untuk menentukan definisi penduduk pribumi sendiri, tanpa mengikuti definisi dari Pemerintah Federasi Malaysia menyusul amandemen undang-undang negara.

Perubahan Pasal 161A ayat (6) dan (7) Konstitusi Federasi Malaysia, menetapkan, ras yang dihitung sebagai ras asli, yang kemudian dinyatakan sebagai penduduk pribumi, adalah penduduk asal dan untuk Sarawak dan Sabah adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak.

“Ini membuat Suku Dayak di Malaysia yang tinggal di Sabah dan Sarawak berhak dinyatakan sebagai penduduk asli, penduduk pribumi, penduduk asal," lanjutnya.

Dengan demikian, tambah Yulis, ini tanpa terlebih dahulu harus memeluk agama Islam sebagai agama resmi Federasi Malaysia, sebagaimana regulasi yang berlaku sejak pembentukan Federasi Malaysia pada 17 September 1963,” tambah Yulius.***

Sumber: Dio-Tv.com

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: DIO TV

Tags

Terkini

Terpopuler