WASPADA! Malaysia Bernafsu Dominasi Politik di Asia Tenggara: Dikecam di 'Kandang' Sendiri!

- 6 April 2022, 07:40 WIB
Presiden Jokowi Dukung Bahasa Melayu sebagai Bahasa Kedua ASEAN, Mendikbud Ristek Menolak
Presiden Jokowi Dukung Bahasa Melayu sebagai Bahasa Kedua ASEAN, Mendikbud Ristek Menolak /Pixabay


KUALA LUMPUR, KALBAR TERKINI - Wacana Perdana Menteri (PM) Malaysia Datuk Seri Ismail Sabri Yaakob agar Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi ASEAN menunjukkan nafsu negara itu untuk mendominasi politik dan budaya kawasan.

Selain hanya akan memecahkan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) secara internal, Malaysia juga akan dianggap picik dan ambisius.

Apalagi, ASEAN bukan hanya 'milik' Malaysia, dan bahasa Melayu sendiri tidak digunakan secara luas seperti yang diklaim, melainkan hanya sebagai bahasa minoritas di wilayah-wilayah yang diklaim Malaysia.

Baca Juga: Malaysia Bubar jika Diskriminasi dan Persaingan Dua Etnis Berlarut-larut

Itu sebabnya, pernyataan PM Malaysia ini malah dikecam di 'kandang' sendiri'.

Termasuk nota bene dari News Strait Times (NST), koran paling tua di negara itu, yang terbit sejak 1845, milik NST Press.

Dibandingkan bahasa Melayu, dilansir Kalbar-Terkini.com dari NST, Senin, 4 April 2022, Bahasa Indonesia adalah bahasa ke-10 yang paling banyak digunakan di dunia.

"Bukan Bahasa Melayu; itu (bahasa Melayu jadi bahasa resmi ASEAN) bisa menjadi kasus perampasan budaya; negara mungkin menafsirkan langkah tersebut sebagai bentuk dominasi politik dan budaya," tulis NST.

Baca Juga: PM Malaysia hanya Dijabat Umat Islam: Wacana PAS yang Dikecam Warga Negara Bagian Sabah

Bahkan, tambah NST, Bahasa Mandarin juga lebih banyak digunakan dibandingkan Bahasa Melayu, dan diakui di panggung global.

Menurut NST, itu (usulan PM Malaysia) adalah agenda yang memecah belah. Sebab, negara-negara anggota ASEAN pasti akan mempertanyakan mengapa bahasa mereka masing-masing tidak bisa menjadi bahasa kedua.

"...dan kekhawatiran atas biaya operasional tambahan yang harus dikeluarkan, seperti untuk penerjemah dan juru bahasa," lanjut NST.

Baca Juga: Tinggi, Biaya Pengiriman PRT ke Malaysia: Terpaksa Dilakukan Agen Indonesia Ketimbang Bangkrut

Pemerintah Malaysia menginginkan Bahasa Melayu diakui sebagai 'bahasa kedua' oleh ASEAN. Dorongan di balik ini, menurut PM Malaysia, adalah untuk mengangkat bahasa nasionalnya di tingkat internasional.

Senat Malaysia pada Rabu, 23 Maret 2022, diberitahu bahwa ini adalah bagian dari inisiatif pemerintah untuk lebih memperkuat bahasa Melayu di tanah air, dan di panggung global.

Pengumuman PM Malaysia itu, menurut NST, menimbulkan beberapa pertanyaan: Apa arti 'bahasa kedua' bagi ASEAN? Apa signifikansinya, implikasinya, dan bagaimana reaksi negara-negara anggota asean Asean akan hal ini?

Baca Juga: Jamaah Islamiyah Gagal Adu Domba Singapura-Malaysia, Di Indonesia, Terus Dilibas Densus 88

Pemerintah Malaysia juga mengklaim akan menggunakan bahasa Melayu di setiap acara resmi, termasuk di luar negeri. Keputusan untuk itu juga berlaku di semua acara resmi.

ASEAN adalah kelompok regional yang mempromosikan kerjasama ekonomi, politik, keamanan dan sosial budaya di antara sepuluh anggotanya.

Ke-10 anggota ASEAN, Brunei, Kamboja, Indonesia, Myanmar, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Lebih dari 1.000 bahasa digunakan di sepuluh negara anggota ini.

Untuk kepentingan Malaysia, bahasa Melayu diklaim digunakan secara luas di kawasan itu, dengan sekitar 45,8 persen penduduk ASEAN berbicara dalam berbagai bentuk bahasa Melayu.

Ini diklaim sebagai bahasa resmi di empat negara Asean (Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Singapura) dan dituturkan di delapan (Malaysia, Indonesia, Brunei, Singapura, Thailand, Filipina, Myanmar, dan Kamboja).

Bahasa Melayu juga diklaim ditemukan di bagian lain dunia - Sri Lanka, Timor-Leste, Kepulauan Cocos, dan Pulau Christmas.

Lantas, apa kata para ahli tentang ini? NST pun mewawancarai sejumlah pakar terkait.

Mereka, peneliti utama Pusat Studi Asean Joanne Lin Weiling dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, seorang Profesor Linguistik Terapan; dan Dr Bromeley Philip dari Academic of Language Studies, Universiti Teknologi Mara, Sarawak.

Analis sosiopolitik Universiti Malaya Associate Professor Dr Awang Azman Awang Pawi; Analis politik Universiti Utara Malaysia Profesor Dr Mohd Azizuddin Sani.

Juga, Profesor William Case, kepala Sekolah Politik, Sejarah dan Hubungan Internasional di Universitas Nottingham Malaysia Campus.

Menurut para pakar ini, bukan kali pertama Malaysia mengusulkan penggunaan Bahasa Melayu di ASEAN.

Pada 2011, Tan Sri Rais Yatim yang saat itu menjabat Menteri Informasi, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, mengusulkan bahasa Melayu menjadi 'bahasa resmi' di Asia Tenggara.

Sementara Ismail Sabri, Menteri Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi dan Konsumerisme Malaysia menyatakan, bahasa Melayu bisa menjadi lingua franca dari ASEAN.

Mantan Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak mengajukan proposal serupa agar bahasa Melayu menjadi 'bahasa utama dan resmi' ASEAN pada 2017.

Namun, Ismail Sabri kali ini menggunakan istilah 'bahasa kedua', dan bukan 'bahasa resmi'.

"Perdana menteri mungkin mencoba membuat ini 'lebih enak' daripada saran sebelumnya oleh Najib," kata ketua peneliti Asean Studies Center, Joanne Lin Weiling dari ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Najib bercita-cita agar bahasa Melayu menjadi lingua franca global, dan bahasa resmi ASEAN pada 2050.

"Tetapi, ini tidak mendapat daya tarik, sebuah tanda bahwa negara-negara anggotanya tidak memiliki aspirasi yang sama," tegasnya.

ISEAS-Yusof Ishak Institute adalah pusat penelitian terkemuka, yang didedikasikan untuk studi tren dan perkembangan sosial-politik, keamanan, dan ekonomi di Asia Tenggara, lingkungan geostrategis, dan ekonomi yang lebih luas.

Lin Weiling menambahkan, Ismail Sabri mungkin melihat wacana itu sebagai pelengkap bahasa kerja ASEAN, yakni bahasa Inggris, dan tidak menggantikan bahasa Inggris sama sekali.

"Dia mungkin juga memikirkan model Uni Eropa di mana ada 24 bahasa resmi, dan tiga bahasa yang berfungsi, Inggris, Prancis, dan Jerman," tambahnya.

"Memiliki lebih banyak bahasa kerja, dapat mempromosikan identitas ASEAN di tengah keragaman," lanjutnya.

Namun, untuk meniru model seperti itu, menurutnya, ASEAN perlu mengambil pendekatan yang seimbang, untuk memasukkan semua bahasa nasional negara-negara anggota, bukan hanya Malaysia.

Dia menilai, Malaysia kemungkinan juga melihat dirinya memainkan peran yang lebih besar di ASEAN.

Sebab, Malaysia akan menjadi Ketua ASEAN pada 2025, tahun di mana Visi dan Peta Jalan Komunitas Asean Pasca-2025 akan diadopsi.

"Malaysia saat ini adalah gembala tetap dari Satn Tugas Tingkat Tinggi pada Visi Komunitas Asean Pasca-2025, yang berperan penting dalam memetakan arah masa depan ASEAN," tambahnya.

Profesor Linguistik Terapan Dr Bromeley Philip memandang, pengumuman PM Malaysia itu sebagai saran yang valid.

Ini mengingat sekitar 300 juta dari 655 juta penduduk ASEAN setiap hari menggunakan Bahasa Melayu, Indonesia, Brunei, meskipun dalam beberapa variasi.

"Usulan tersebut berupaya untuk menyamakan bahasa Melayu dengan bahasa dunia lain, seperti Arab, Prancis, dan Jerman, sehingga menjadi lingua franca," kata Philip.

"Melayu sebagai 'bahasa kedua' dapat berarti bahwa itu adalah bahasa yang disukai (kecuali jika diwajibkan nanti di masa depan) setelah bahasa Inggris yang paling umum disukai," tambahnya.

Menurut Philip, bahasa Inggris telah menjadi bahasa komunikasi yang lebih luas dalam program ASEAN, karena alasan penggunaan globalnya.

"Tetapi di antara tiga negara Asean (Malaysia, Indonesia dan Brunei), Bahasa Melayu/Indonesia/Brunei selalu menjadi bahasa pilihan," tambahnya.

Hal itu, lanjutnya, karena adanya kesepakatan yang telah ditandatangani sebelumnya antara ketiga negara tentang perlunya memajukan.

Ini juga untuk meninggikan bahasa Melayu di bawah pembentukan Majlis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (MABBIM).

Singapura adalah negara pengamat di MABBIM.

Badan Kebahasaan Serantau, yang didirikan pada 1985, bertujuan untuk memperluas dan menyebarkan bahasa Melayu di tiga negara anggota.

Pun agar bahasa Melayu menjadi bahasa peradaban tinggi dalam bentuk bahasa pengetahuan, ilmu pengetahuan, teknologi modern, industri, dan ekonomi.

Sebelumnya dikenal dengan nama Majlis Bahasa Indonesia - Malaysia, yang berdiri pada 1972.

Philip yakin bahwa sudah saatnya identitas linguistik tertentu berasal dari Asia Tenggara, seperti bahasa Inggris atau Prancis dari Eropa, dan Mandarin dari Asia Raya.

Bahasa Melayu Malaysia, Brunei dan Singapura serupa, dan ini berbeda dengan beberapa variasi untuk Bahasa Indonesia.

"Tetapi, semua bahasa ini adalah 'serumpun', tepatnya Bahasa Nusantara. Malaysia mengambil inisiatif untuk membangun identitas semacam itu untuk pengakuan global," kata Philip.

Selain Indonesia, Malaysia, Brunei dan Singapura, penutur bahasa Melayu meskipun kecil, ada di Kamboja, Laos, Thailand Selatan, Mindanao Selatan, Filipina dan Timor Leste.

"Dengan angka saja, maka (bisa) dibenarkan jika Bahasa Melayu/Indonesia/Brunei dijadikan bahasa pilihan kedua," tambahnya.

Salah satu kemungkinan pandangan konfliktual, lanjut Philip, adalah bahwa tidak mudah bagi salah satu dari tiga negara untuk mengklaim kepemilikan eksklusif bahasa Melayu karena perjanjian MABBIM.

Itu harus menjadi bahasa bersama dari tiga negara, oleh karena itu ada kebutuhan untuk menyepakati satu nama umum untuk bahasa tersebut.

Secara hipotesis, untuk kepentingan ASEAN, bahasa kedua dapat disebut Bahasa Nusantara, yang mencakup penutur Bahasa Melayu/Indonesia/Brunei.

Dengan kekuatan tiga suara digabungkan, tambah Philip, maka kemungkinan besar bahwa negara-negara yang lebih kecil, berhadapan dengan tiga negara ini, akan mengindahkan wacana tersebut.

"Jika itu (bahasa kedua) diusulkan sebagai Bahasa Nusantara, itu mungkin cocok dengan negara-negara Asean lainnya," lanjutnya.

Analis sosiopolitik Universiti Malaya Associate Professor Dr Awang Azman Awang Pawi menilai, bahasa Melayu tidak terbatas pada 32 juta penduduk di Malaysia, tetapi lebih dari 300 juta orang memahami bahasa Melayu/Indonesia.

Menurutnya, Indonesia sendiri memiliki lebih dari 278 juta penutur, tidak termasuk Brunei, Singapura, dan Thailand selatan.

"Karena itu, bahasa Melayu yang dimaksud adalah bahasa Melayu serumpun, bahasa yang dipahami secara luas di wilayah tersebut," ujarnya.

Menurut 'Ethnologue: Languages of the World', bahasa Indonesia menempati urutan ke 10 secara global.

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling banyak digunakan. Ini adalah variasi standar bahasa Melayu, bahasa Austronesia.

Ismail Sabri dalam mengelar konferensi pers bersama Presiden Indonesia Joko Widodo pada Jumat, 1 Apri 2022/

Menurutnya, Malaysia dan Indonesia akan melanjutkan upaya untuk mengangkat status bahasa Melayu, yang mungkin menjadi bahasa ASEAN, suatu hari nanti.

Pasal 152 Konstitusi Federal Malaysia menyatakan bahwa 'Bahasa kebangsaan adalah Bahasa Melayu" (bahasa Melayu adalah bahasa nasional)'.

Menurut Philip, bagaimanapun, itu harus disebut Bahasa Malaysia, seperti Bahasa Indonesia.

Disebut bahasa Malaysia hanya sampai 1986, tetapi beberapa waktu kemudian, Departemen Pendidikan mengubahnya menjadi Bahasa Melayu.

Hal ini, lanjutnya, bisa jadi karena niat nasionalis dari politisi Melayu yakni Partai Umno pada waktu itu, atau bisa juga kementerian yang mencoba membakukan dengan bahasa Tamil, bahasa China, dan bahasa Arab.

"Untuk menghindari kontroversi, sarannya, maka yang terbaik adalah tetap menggunakan bahasa Melayu. "Tetapi, sekali lagi, bahasa Malaysia tidaklah salah," katanya.

"Bahasa Melayu Malaysia, Brunei dan Singapura serupa dan ini berbeda dengan beberapa variasi untuk Bahasa Indonesia tetapi semua bahasa ini adalah 'serumpun', tepatnya Bahasa Nusantara," klaimnya.

Sebagai pemimpin politik dengan mandat domestik, menurut Lin Weiling, jelas Ismail Sabri ingin mempromosikan kepentingan, dan identitas nasional Malaysia, termasuk mengangkat posisi bahasa nasionalnya di panggung internasional.

Ismail dinilainya dapat saja membuat kebijakan atau menginstruksikan anggota kabinet untuk menggunakan bahasa Melayu, ketika menghadiri pertemuan di luar negeri.

"Itu adalah hal lain untuk 'memaksakan' keinginan ini ke anggota ASEAN lainnya, yang tidak memiliki sentimen nasionalis ini," ujarnya.

“Pasal 34 Piagam ASEAN telah menetapkan bahwa 'bahasa kerja ASEAN adalah bahasa Inggris'. Ini adalah kesepakatan yang dibuat oleh semua Kepala Negara anggota ASEAN ketika Piagam ASEAN diadopsi," lanjutnya.

"Penting juga untuk dicatat bahwa Deklarasi Asean (Deklarasi Bangkok) yang ditandatangani oleh para menteri anggota pendiri ASEAN pada 1967 dalam bahasa Inggris, telah menetapkan nada untuk itu menjadi bahasa kerja ASEAN secara de facto," tegas Lin Weiling.

Ditekankan, pengambilan keputusan di ASEAN didasarkan pada konsultasi dan konsensus.

Karena itu, selama satu anggota pun tidak dapat mendukung wacana ini, kemungkinan tidak akan didorong untuk dilaksanakan.

Analis politik Profesor Dr Mohd Azizuddin Sani menilai bahwa wacana ini bisa dilihat sebagai langkah untuk mempromosikan dirinya (Ismail Sabri) sebagai pemimpin yang memperjuangkan bahasa nasional.

Usulan ini memiliki bobot tertentu bagi Ismail Sabri secara politis. Warga Malaysia, secara umum, akan mendukungnya untuk mengangkat bahasa.

",Dan, dia salah satunya, bersedia untuk mengambil agenda lebih jauh dibandingkan dengan para pemimpin sebelumnya," kata Sani.

“Kita tidak bisa hanya berbicara tentang bahasa dalam masalah ini. Ada tingkat politik tertentu di balik aspirasi ini," lanjut Sani

"Ini untuk mempromosikan bahasa Melayu agar menjadi bahasa yang penting di dunia dan menarik orang lain untuk belajar, selain memperjuangkan bahasa itu sendiri," tegasnya.

Konsekuensi sosial-politik jika proposal ini ditanggapi secara serius di ASEAN.

"Ini dapat mengakibatkan proliferasi permintaan serupa dari negara-negara anggota lain untuk juga memperkenalkan bahasa nasional mereka sebagai bahasa 'kerja' ASEAN," kata Lin Weiling.

Sementara ASEAN telah mendorong anggotanya untuk mengeluarkan dokumen ASEAN, seperti Pernyataan Bersama dari badan-badan sektoral dalam bahasa nasional masing-masing, untuk mensosialisasikan kerja ASEAN di berbagai konstituen.

"Tapi, memasukkan bahasa nasional ke dalam bahasa kerja, adalah hal lain. Bahasa Inggris dipilih karena kegunaannya yang luas di kawasan, dan secara global termasuk sebagai bahasa resmi di PBB, dan beberapa organisasi regional lainnya," ujarnya.

"Itu adalah pilihan yang logis dan masuk akal mengingat itu akan menciptakan lapangan permainan yang setara untuk semua orang tanpa memihak pihak tertentu," tambah Lin Weiling.

Dinyatakan, bahasa Melayu digunakan di beberapa negara anggota ASEAN, seperti Indonesia, Brunei, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan sebagian Kamboja.

Tapi, kenyataannya, selain Brunei, penggunaannya di negara-negara tersebut, hanya terbatas pada bahasa Melayu minoritas.

Dalam kasus Singapura, meskipun bahasa nasionalnya adalah Melayu, menurut konstitusinya, sebagian besar mayoritas Tionghoanya, terutama generasi mudanya, tidak dapat berbicara bahasa Melayu.

Selain itu, meskipun bahasa Melayu tidak sulit untuk dipelajari, mungkin ada sedikit insentif bagi penduduk di kawasan itu untuk tertarik, karena kegunaannya tidak dapat melampaui pantai Malaysia, Brunei, atau Indonesia.

Ini tidak seperti bahasa seperti Prancis dan Spanyol.

"Selain itu, banyak orang di kawasan ini sudah berjuang untuk belajar bahasa Inggris, kemungkinan ada sedikit bandwidth untuk bahasa kerja tambahan di Asean," ujar Lin Weiling.

"Lebih lanjut, bahasa nasional dari satu negara anggota tertentu dapat dilihat oleh negara lain sebagai mempromosikan dominasi ras dan budaya tertentu di ASEAN," tegas Lin Weiling.

Ini, bertentangan dengan prinsip mempromosikan identitas ASEAN melalui kesadaran akan keragaman budaya, warisan, dan agama di kawasan itu, sambil menekankan perlunya persatuan dalam keragaman.

"ASEAN juga telah menggarisbawahi prinsip paritas dan kesetaraan di antara negara-negara anggota," ujarnya.

"Ini tidak hanya dalam hal partisipasi dalam kegiatan, tetapi juga dalam hal setiap anggota memiliki kepentingan yang sama di Asean" tegas Lin Weiling.

Hal sama ditegaskan oleh Profesor William Case, Kepala Sekolah Politik, Sejarah dan Hubungan Internasional di Kampus Universitas Nottingham Malaysia.

Menurutnya, bakal sulit bagi Malaysia untuk mendapatkan dukungan dari mitra ASEAN terkait inisiatif identitas bahasa Melayu ini.

Case menegaskan, waktunya tidak tepat. Ini karena Asia Tenggara, seperti halnya negara-negara lain di dunia, menghadapi banyak masalah luar biasa saat ini terkait sengketa wilayah.

Pun berbagai pandemi, pengelolaan hubungan kekuatan besar, tenggelamnya kota-kota pesisir, persaingan sengit untuk investasi asing.

Juga akibat perpecahan rantai pasokan, kabut asap, perdagangan manusia, dan memang, koherensi organisasi ASEAN sendiri.

Case sebelumnya adalah Profesor politik Asia Tenggara dan Direktur Pusat Penelitian Asia Tenggara di City University of Hong Kong.

Inisiatif ini, lanjut Case, juga sangat menantang prinsip-prinsip pengakuan dan kedudukan politik dan budaya yang setara, yang diabadikan, baik atau buruk, dalam hak veto bersama yang diberikan kepada semua anggota ASEAN.

"Mengapa Bahasa Melayu harus mengungguli bahasa Thailand, Vietnam, Tagalog, Bamar, Indonesia, dan Mandarin, dalam hal ini, sebagai bahasa 'kedua' Asean?" tegas Case.

Pemerintah Malaysia menyatakan, bahasa Melayu digunakan secara luas di seluruh pulau Asia Tenggara, dari Singapura hingga Mindanao.

“Tetapi bahkan di sini, di wilayah picik dan sub-regional ini, apakah Malaysia berkonsultasi dengan penutur bahasa Jawa, Melayu Pattani, Melayu Khmer Muslim, atau Suluk sebelum menempatkan dirinya di garda depan inisiatif identitas ini?" tanya Case.

“Yang pasti, penggantian bahasa Inggris dari waktu ke waktu, vernakular administratif penjajah, mungkin diinginkan dari waktu ke waktu untuk ASEAN," kata Case.

Tetapi, menurutnya, India misalnya, dalam keragamannya tidak pernah menemukan alternatif yang diterima secara luas untuk berkomunikasi lintas elit regional.

“Asia Tenggara, sama beragamnya, tidak mungkin, setidaknya dalam waktu dekat. Dan ketika itu terjadi, mungkin bukan bahasa Melayu, seperti yang dilakukan di Malaysia saat ini, yang berfungsi paling baik," katanya.

Menurut Case, hampir tidak terbayangkan bahwa pertemuan dan dokumen ASEAN, yang saat ini diproduksi dalam bahasa Inggris, akan direproduksi dalam Bahasa Melayu untuk audiens yang tidak mengerti.

"Malaysia harus berharap, kalau begitu, ASEAN bahkan mungkin kesal dengan permintaannya," tambahnya.

Meski begitu, Case menilai, Malaysia tidak akan ditegur secara terbuka oleh ASEAN karena 'Cara ASEAN' mensyaratkan bahwa inisiatif partisan semacam itu disambut dengan sopan, kemudian dilepaskan dari meja untuk studi tanpa henti.

Case menyarankan agar Malaysia sebaiknya menerima hasil ini, kemudian melanjutkan ke masalah substantif di mana Malaysia sendiri dapat memberikan kontribusi serius atas integrasi ekonomi kawasan, digitalisasi, dan kesepakatan yang koheren.

Akankah para pemimpin Asean harus belajar bahasa Melayu? Meski hal ini akan mendorong penduduk daerah untuk mempelajari bahasa tersebut, Awang Azman menilai bahwa itu tidak berarti para pemimpin harus belajar bahasa Melayu.

"Ini seperti bahasa Prancis, Rusia, Arab, China, dan Spanyol yang menjadi bahasa kerja/resmi di PBB, tetapi para pemimpin dunia tidak harus mempelajarinya," katanya.

"Ini sebagai pengakuan atas nilai bahasa itu sendiri secara internasional," tambahnya.

Lin Weiling menilai, tidak akan ada kebutuhan bagi para pemimpin negara anggota ASEAN untuk mengambil bahasa baru.

Sementara bahasa Inggris digunakan sebagai media komunikasi di ASEAN, menurutnya, bahasa tersebut hanya banyak digunakan dalam pertemuan-pertemuan setingkat menteri ke bawah, terutama pertemuan-pertemuan setingkat Pokja.

Dalam pertemuan tingkat KTT, mayoritas pemimpin ASEAN (kecuali Brunei, Singapura, dan Filipina) akan menggunakan bahasa nasional mereka.

,“Indonesia misalnya memiliki peraturan yang mendorong penggunaan Bahasa Indonesia dalam pidato resmi presiden atau pejabat tinggi lainnya di dalam dan luar negeri," katanya.

"Jadi, terlepas dari apakah bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa kerja ASEAN, sebagian besar pemimpin masih akan menggunakan bahasa nasional masing-masing selama KTT ASEAN," tegas Lin Weiling.

Tapi, menurut Philip, bagaimanapun bahasa Melayu harus menjadi bahasa kedua, itu adalah alasan yang cukup bagi para pemimpin negara untuk memiliki pemahaman dasar tentang bahasa tersebut.

Ditambahkan bahwa para pemimpin ASEAN mungkin melihatnya lebih sebagai bahasa untuk integrasi daripada dominasi politik/budaya.

"Akan ideal untuk memiliki satu bahasa umum yang dipahami oleh sebagian besar penduduk Asia Tenggara. Bahkan Bahasa Melayu telah ditawarkan sebagai bahasa asing di beberapa universitas ternama di China, Korea dan Jepang," klaimnya.

Juga diklaim, bahasa Melayu juga diajarkan di beberapa universitas di Eropa dan ada kursi Studi Melayu di negara-negara tertentu di luar negeri seperti AS, Inggris dan Australia. .

"Jadi, bagi para pemimpin dari negara-negara anggota Asean, mereka perlu tahu bahwa Bahasa Melayu dikenal di seluruh dunia," ujarnya.

Menurut Lim Weiling, ASEAN kemungkinan tidak memiliki 'nafsu makan' atau bandwidth untuk mengambil isu kontroversial lain, seperti politik bahasa.

Ini mengingat meningkatnya tantangan geopolitik dan geoekonomi yang dihadapi ASEAN, seperti krisis Myanmar, situasi di Laut China Selatan, dan invasi Rusia baru-baru ini ke Ukraina.

“Selain itu, persatuan ASEAN telah diuji secara berat dalam beberapa tahun terakhir. ," ujarnya.

Karena itu dinilainya bahwa kecil kemungkinan bahwa ASEAN akan turun tangan untuk terlibat dalam masalah-masalah non-menekan, yang selanjutnya akan menyebabkan perpecahan di dalam Asean.

“Jika Malaysia ingin memainkan peran yang lebih konstruktif di ASEAN, Malaysia mungkin dapat mengambil peran kepemimpinan yang lebih kuat untuk memperkuat kapasitas dan efektivitas kelembagaan ASEAN, serta untuk merampingkan proses birokrasinya," saran Lim Weiling.

"Menambahkan bahasa kerja lain ke ASEAN, menurutnya, hanya akan memperbanyak pekerjaan Sekretariat ASEAN, dan menambah sumber daya dan biaya operasi lebih lanjut ke negara-negara anggotanya.

Sementara itu, Philip menilai, Malaysia perlu mencari dukungan penuh dari Indonesia dan Brunei melalui Perjanjian MABBIM bahkan Singapura, agar langkah tersebut tidak hanya datang dari satu negara saja.

"Dewan Internasional Bahasa Melayu, yang didirikan pada 2 Juli 1997, dan secara resmi diluncurkan pada 21 Agustus 2000, dapat memprakarsai langkah tersebut," katanya.

Menurutnya, Malaysia saja tidak bisa memperjuangkan langkah tersebut. Perlu ada dukungan penuh dari Indonesia, Brunei, dan kemungkinan besar Singapura.

Dengan gabungan empat negara, maka itu akan membuat grup dominan lebih besar daripada negara tunggal lainnya di ASEAN.

Phiip menilai, setiap negara anggota ASEAN seharusnya tidak melihatnya sebagai semacam kaukus politik.

Ini karena menurutnya, di ASEAN, hanya empat negara ini yang memiliki kesamaan dalam satu bahasa yang sama meskipun ada beberapa varias.

"Negara lain tidak memiliki kesamaan dalam satu bahasa yang dipahami oleh banyak negara," dalihnya.***

Sumber: New Straits Time

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: New Strait Times


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x