Tentara Bayaran Grup Warner Hadapi Pengadilan Internasional

- 18 Mei 2021, 21:20 WIB
TENTARA BAYARAN  RUSIA - Selama konferensi pers bersama Kanselir Jerman Angela Merkel di Moskow, 11 Januari 2020, Presiden Rusia Vladimir Putin ditanyai tentang tentara bayaran Rusia dari perusahaan militer swasta (PMC) Wagner Group di Libya. Putin mengaku keberadaan warganya di negara Afrika Utara, tetapi mengklaim mereka tidak mewakili kepentingan Federasi Rusia  dan juga tidak menerima uang dari negara Rusia./SOURCE: THE SUN VIA THE JAMESTOWN FOUNDATION/
TENTARA BAYARAN RUSIA - Selama konferensi pers bersama Kanselir Jerman Angela Merkel di Moskow, 11 Januari 2020, Presiden Rusia Vladimir Putin ditanyai tentang tentara bayaran Rusia dari perusahaan militer swasta (PMC) Wagner Group di Libya. Putin mengaku keberadaan warganya di negara Afrika Utara, tetapi mengklaim mereka tidak mewakili kepentingan Federasi Rusia dan juga tidak menerima uang dari negara Rusia./SOURCE: THE SUN VIA THE JAMESTOWN FOUNDATION/ /THE SUN VIA THE JAMESTOWN FOUNDATION

KALBAR TERKINI - Pasukan tentara bayaran (mercenaries) Rusia dari perusahaan militer swasta (PMC) Wagner Group menghadapi tuntutan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) karena dituding terlibat  serangkaian aksi kejahatan selama beroperasi di Libya. 

Disebut pula sebagai kontraktor, Warner diklaim dibeking Pemerintah Rusia di sejumlah negara konflik, tapi di 'atas kertas' tak diakui oleh pemerintah negaranya. Dibentuk pada 2014 di Ukraina oleh oleh pengusaha Yevgeny Prigozhin,  keterlibatan Grup Wagner sangat mencolok dalam beberapa konflik  di Suriah dan Libya.

Di kedua negara ini, militer Rusia secara aktif berpartisipasi dalam perang saudara,  dan dilaporkan menggunakan Grup Wagner sebagai wakilnya di wilayah tersebut.  Dikutip Kalbar-Terkini.com dari Daily Sabah, Selasa, 18 Mei 2021, meskipun Rusia secara resmi tidak mengakui kerja sama apa pun dengan Grup Wagner, tapi laporan dari lapangan membuktikan sebaliknya.   

Baca Juga: Diplomat AS Terinfeksi Penyakit Misterius, Rusia pun Dituding!

Bahkan,   ketika digelar konferensi pers bersama Kanselir Jerman Angela Merkel di Moskow, 11 Januari 2020, Presiden Vladimir Putin ditanyai tentang Wagner Group di Libya. Putin mengaku keberadaan warganya di negara Afrika Utara itu, tetapi mengklaim mereka tidak mewakili kepentingan Federasi Rusia,  dan juga tidak menerima uang dari negara Rusia.

Kehadiran pasukan Wagner mengemuka kembali menyusul kehadiran pasukan  Turki di Libya berdasarkan laporan media.  Sumber-sumber  keamanan menunjukkan, pasukan Turki tidak dapat diklasifikasikan dalam lingkup pejuang asing, karena mereka berada di negara itu atas undangan resmi untuk mendukung Pemerintah Libya.

Unsur-unsur di Turki,  yang secara sah berada di Libya atas undangan resmi pemerintah , dan kelompok tentara bayaran Wagner Rusia,  yang mendukung seorang panglima perang pemberontak Libya, tidak dapat dianggap setara dengan pasukan Turki, menurut sumber-sumber keamanan.

Baru-baru ini, beberapa media dan laporan telah membandingkan pasukan Turki di Libya dengan tentara bayaran tidak sah dari Grup Wagner. Bahkan pekan lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan, pejuang asing dan pasukan tentara bayaran masih berada di Libya, dan telah  melanggar perjanjian gencatan senjata pada Oktober 2020.

Baca Juga: Beda dengan Manusia, Hewan Terengah-engah saat Tertawa

Guterres menyerukan penarikan pejuang asing dna tentara bayaran, dan diakhirinya pelanggaran embargo senjata PBB.

Pada April 2019, pemberontak yang berbasis di timur,  Jenderal Khalifa Haftar dan pasukannya, yang didukung oleh Mesir, Rusia, Prancis, dan Uni Emirat Arab (UEA), melancarkan serangan untuk mencoba dan merebut ibu kota Libya, Tripoli.

"Serangan selama 14 bulan  itu gagal, setelah Turki meningkatkan dukungan militernya kepada pemerintah yang didukung PBB,"  kata sumber tersebut.

Perjanjian gencatan senjata Oktober 2020, yang mencakup permintaan bagi semua pejuang asing dan tentara bayaran untuk meninggalkan Libya dalam waktu 90 hari, telah menghasilkan kesepakatan tentang pemerintahan transisi dan pemilihan pada Desember 2020. 

"Bertentangan dengan apa yang tertulis dalam sumber terbuka, Grup Wagner melakukan 137 penerbangan, menurut sistem kontrol lalu lintas udara, antara Oktober 2020 dan April 2021,  dari Suriah ke Libya Timur," kata sumber.

“Ini adalah angka yang ditentukan oleh sistem kendali lalu lintas udara dasar dan resmi. Selain itu, diketahui juga ada penerbangan di atas Mesir,   yang tidak bisa ditentukan karena sistem IFF ditutup," lanjut sumber.

IFF adalah singkatan dari Identification Friend or Foe,  suatu sistem identifikasi berbasis radar yang menggunakan sinyal transponder untuk mengidentifikasi pesawat secara khusus. 

Baca Juga: Iran Tuding AS Suplai Roket Mematikan ke Israel

Di sisi lain, penerbangan Turki dilakukan dalam koordinasi dengan otoritas lokal, dengan sepengetahuan pejabat,  menurut sumber,  menunjukkan bahwa penerbangan Ankara juga jarang. 

“Terlihat bahwa penerbangan Turki ke Libya dilakukan dalam lingkup pendidikan, kesehatan, dan dukungan bantuan kemanusiaan, termasuk peralatan kesehatan Covid-19, suku cadang perawatan,  dan reparasi dasar.

“Di sisi lain, keberadaan Grup Wagner di sekitar fasilitas minyak mengedepankan tujuan yang sebenarnya," tegas sumber. 

Sumber-sumber menggarisbawahi bahwa berdasarkan hal ini, pernyataan yang menyatakan bahwa tentara Turki harus dikeluarkan dari wilayah tersebut, sama sekali  tidak mencerminkan kenyataan. 

Guterres menambahkan  dalam sebuah laporan kepada Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang diperoleh The Associated Press (AP), Jumat,  14 Mei 2021, kelancaran pengalihan kekuasaan ke pemerintahan sementara baru, yang mengambil alih kekuasaan pada Maret 2021, membawa harapan baru untuk penyatuan kembali negara itu. lembaganya,  dan juga untuk perdamaian abadi.  

Baca Juga: Palestina makin Gawat, Yordania Lindungi Situs Suci Islam dan Nasrani

Namun,  ditegaskan,  kemajuan tersebut harus berlanjut di jalur politik, ekonomi dan keamanan,  untuk memungkinkan pemilihan berjalan pada 24 Desember 2021. PBB memperkirakan pada Desember 2021, setidaknya masih ada 20 ribu pejuang asing dan tentara bayaran di Libya, termasuk Suriah, Rusia, Sudan, dan Chad. 

Guterres menegaskan dalam laporan baru bahwa sementara gencatan senjata terus berlangsung, misi politik PBB di Libya telah menerima laporan tentang benteng dan posisi pertahanan yang didirikan di Libya tengah pada rute utama,  antara kota strategis Sirte, pintu gerbang menuju ladang minyak utama negara dan terminal ekspor, dan Jufra. 

"Terlepas dari komitmen yang dibuat oleh para pihak, aktivitas kargo udara dilaporkan dilanjutkan dengan penerbangan ke berbagai pangkalan udara di wilayah barat dan timur Libya," kata sekretaris jenderal. "Laporan menunjukkan bahwa tidak ada pengurangan pejuang asing atau aktivitas mereka di Libya tengah." 

Baca Juga: Roket Hamas Disuplai dari Sudan, Hizbullah: Fabriknya Dibangun Iran

Pada April 2020, DK PBB  menyetujui resolusi yang mendesak semua pasukan asing dan tentara bayaran untuk meninggalkan Libya,  dan mengizinkan tim kecil PBB untuk memantau perjanjian gencatan senjata.

Dalam surat tertanggal 7 April 2021 ke DKK PBB, Guterres mengusulkan maksimal 60 pengawas awal untuk penempatan bertahap,  sebagai bagian dari misi PBB, yang dikenal sebagai Misi Dukungan Perserikatan Bangsa-bangsa di Libya (UNSMIL). 

Dalam laporan terbarunya, Guterres menyatakan, penempatan para pemantau ke Libya bergantung pada Sidang Umum PBB (UNGA), yang menyetujui sumber daya untuk mencakup persyaratan keamanan, logistik, medis dan operasional, yang akan diserahkan 'dalam waktu dekat'.

Tentara bayaran diyakini akan menghadapi tuntutanPengadilan Kriminal Internasional (ICC) karena terlibat  pula dalam aksi pelanggaran HAM di pusat penahanan."Kantor tersebut telah menerima informasi mengenai aktivitas tentara bayaran dan pejuang asing di Libya," kata kepala jaksa Fatou Bensouda selama pertemuan virtual Dewan Keamanan PBB di Libya. 

"Kejahatan yang dilakukan oleh tentara bayaran dan pejuang asing di wilayah Libya, mungkin berada di bawah yurisdiksi pengadilan, tidak peduli kebangsaan orang yang terlibat," katanya. 

Baca Juga: Austria Kibarkan Bendera Israel, Iran 'Ngambek'

Bensouda menambahkan,  pengadilan menerima informasi tentang kejahatan terhadap tahanan,  mulai dari penghilangan dan penahanan sewenang-wenang hingga pembunuhan, penyiksaan, dan kekerasan seksual,  dan berbasis gender. 

"Kami telah mengumpulkan informasi dan bukti yang dapat dipercaya tentang kejahatan berat, yang diduga dilakukan di fasilitas penahanan resmi dan tidak resmi di Libya," kata jaksa penuntut Gambia. 

PBB memperkirakan, 8.850 orang telah ditahan tanpa proses hukum di 28 penjara resmi Libya, sementara 10 ribu  lainnya, termasuk wanita dan anak-anak, ditahan di fasilitas lain yang dikendalikan oleh faksi-faksi bersenjata. 

"Saya mendesak semua pihak yang berkonflik di Libya untuk segera menghentikan penggunaan fasilitas penahanan yang melakukan penganiayaan dan kejahatan terhadap warga sipil," kata jaksa penuntut, yang pada pertengahan Juni 2021 akan meninggalkan posisinya, dan digantikan oleh pengacara Inggris Karim Khan. 

Bensouda sebelumnya pada November 2020 menyatakan, serangan oleh pasukan timur di bawah komando Haftar,  merupakan bagian dari 'pola kekerasan yang melibatkan serangan udara dan penembakan tanpa pandang bulu di wilayah sipil, penculikan sewenang-wenang, penahanan dan penyiksaan warga sipil, pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan penjarahan properti sipil. *** 

 

Sumber: Daily Sabah

 

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah