Bom Mobil Kabul, Hazara Persenjatai Diri : Sudah Cukup Kami Diserang!

- 10 Mei 2021, 00:11 WIB
ETNIS HAZARA: Etnis Hazara di Afghanistan mendominasi lingkungan Dasht-e-Barchi,  lokasi pemboman. Kebanyakan Hazara adalah Muslim Syiah. DI Indonesia, banyak warga Hazara tinggal di kawasan Puncak, Bogor, terkait upaya mencai suaka./FOTO: WIKIPEDIA/CAPTION: OKTAVIANUS C/
ETNIS HAZARA: Etnis Hazara di Afghanistan mendominasi lingkungan Dasht-e-Barchi, lokasi pemboman. Kebanyakan Hazara adalah Muslim Syiah. DI Indonesia, banyak warga Hazara tinggal di kawasan Puncak, Bogor, terkait upaya mencai suaka./FOTO: WIKIPEDIA/CAPTION: OKTAVIANUS C/ /WIKIPEDIA

KABUL, KALBAR TERKINI - Etnis Hazara memutuskan untuk mempersenjatai diri sendiri lewat pengamanan swakarsa menyusul peristiwa serangan bom mobil yang menewaskan puluhan anak-anak mereka di sekolah  Syed Al-Shahda, Sabtu, 8 Mei 2021. 

"Pemerintah bereaksi setelah insiden itu, tidak melakukan apa-apa sebelum insiden itu," kata Mohammad Baqir, Alizada, 41, yang berkumpul untuk memakamkan keponakannya, Latifa,  siswa kelas 11 Syed Al-Shahda, Minggu, 9 Mei 2021. 

"Tiga ledakan di luar pintu masuk sekolah,  terjadi ketika para siswa berangkat hari itu,"  kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri Tariq Arian, sebagaimana dikutip Kalbar-Terkini.com dari The Associated  Press,  Minggu. 

Baca Juga: Bom Mobil Renggut Nyawa Dara Kecil Penenun Karpet

Ledakan itu diklaim menargetkan etnis Hazara di Afghanistan,  yang mendominasi lingkungan Dasht-e-Barchi, lokasi pemboman. Kebanyakan Hazara adalah Muslim Syiah.

Taliban membantah bertanggung jawab, dan mengutuk serangan itu. 

"Ledakan pertama datang dari kendaraan yang berisi bahan peledak, disusul dua lainnya," kata Arian, seraya menambahkan,  angka korban masih bisa bertambah. 

Wilayah Afiliasi ISIS 

Di ibu kota negara yang dilanda pemboman tanpa henti, serangan pada Sabtu termasuk yang terburuk. Kritik telah meningkat karena kurangnya keamanan,  meningkatnya ketakutan, dan kemungkinan  lebih banyak kekerasan,  ketika AS dan NATO menyelesaikan penarikan militer terakhir mereka dari Afghanistan pada September 2021.

Di Kota Vatikan, dalam sambutan tradisionalnya pada Minggu kepada umat beriman di Lapangan Santo Petrus, Paus Fransiskus menyebut tentang aksi brutal itu.

"Mari kita berdoa untuk para korban serangan teroris di Kabul, tindakan tidak manusiawi yang menimpa begitu banyak gadis saat mereka keluar dari sekolah. "Semoga Tuhan memberi Afghanistan kedamaian," katanya. 

Daerah Dasht-e-Barchi telah dilanda beberapa insiden kekerasan,  yang menargetkan minoritas Syiah,  dan paling sering diklaim oleh afiliasi ISIS, yang beroperasi di negara tersebut.

Belum ada yang mengklaim pemboman itu. 

Baca Juga: Konflik Palestina Kembali Memanas, Inilah Deklarasi Balfour Yang Menjadi Awal Konflik Berkepanjangan Itu

Adapun para keluarga yang berduka telah memakamkan jenazah jenazah-jenazah itu pada Minggu setelah pemboman mengerikan yang menewaskan 50 orang. Banyak dari korban teawas adalah siswa berusia 11 dan 15 tahun. 

Jumlah orang yang terluka dalam serangan pada Sabtu telah naik menjadi lebih dari 100, menurut juru bicara Kementerian Dalam Negeri.

Di lingkungan barat Dasht-e-Barchi, keluarga menguburkan jenazah mereka di tengah tuduhan marah kepada pemerintah yang diklaim gagal melindungi mereka dari serangan berulang di lingkungan yang sebagian besar Muslim Syiah. 

Di lingkungan yang sama pada 2018,  pemboman sekolah menewaskan 34 orang, sebagian besar siswa.

Pada September 2018,  sebuah klub gulat diserang menewaskan 24 orang,  dan pada Mei 2020 sebuah rumah sakit bersalin diserang secara brutal,  menewaskan 24 orang, termasuk wanita hamil dan bayi.  

Baca Juga: Kabul Diserang Jahanam: Puluhan Siswi Tewas, Jenazah Berserakan bersama Buku dan Tas

Pada Oktober 2020,  pusat bimbingan belajar Kawsar-e-Denmark,  diserang, menewaskan 30 orang. 

Sebagian besar serangan diklaim oleh afiliasi ISIS yang beroperasi di Afghanistan. 

Kelompok Muslim Sunni radikal telah menyatakan perang terhadap Syiah Afghanistan.

Washington menyalahkan ISIS atas serangan ganas pada 2020 di rumah sakit bersalin di daerah yang sama, menewaskan para wanita hamil,  dan bayi-bayi yang baru lahir. 

"Segera setelah pemboman, massa yang marah menyerang ambulans, bahkan memukuli petugas kesehatan ketika petugas  mencoba mengevakuasi korban luka,"  kata juru bicara Kementerian Kesehatan Ghulam Dastigar Nazari.  

Nazari kala itu memohon warga untuk bekerja sama dan mengizinkan akses gratis ambulans ke TKP.  

Arian, juru bicara Kementerian Dalam Negeri, menyalahkan serangan pada Sabtu itu ke pihak Taliban,  meskipun Taliban menyangkal. 

Tas ransel berlumuran darah dan buku sekolah berserakan di luar sekolah Syed Al-Shahda. Di pagi hari, anak laki-laki menghadiri kelas di kompleks sekolah yang luas,  dan di sore hari, giliran anak perempuan. 

Amankan Diri Sendiri 

Pada Minggu, para pemimpin Hazara dari Dasht-e-Barchi bertemu untuk mengungkapkan rasa frustrasi mereka terhadap kegagalan pemerintah dalam melindungi etnis Hazara. Mereka memutuskan untuk mengumpulkan kekuatan berdasarkan perlindungan mereka sendiri bagi komunitas Hazara. 

Pasukan tersebut akan dikerahkan di luar sekolah, masjid, dan fasilitas umum dan akan bekerja sama dengan pasukan keamanan pemerintah. "Tujuan kami  dalah melengkapi pasukan lokal,"  kata anggota parlemen, Ghulam Hussein Naseri.

"Para peserta pertemuan memutuskan bahwa  tidak ada cara lain, kecuali orang-orang itu sendiri untuk memberikan keamanan mereka sendiri bersama dengan pasukan keamanan," lanjut Naseri, menambahkan bahwa pemerintah harus menyediakan senjata bagi warga Hazara. 

Naseri mengatakan,  Hazara telah diserang di sekolah mereka, di masjid mereka,  dan 'itu adalah hak mereka untuk marah'.  "Berapa banyak lagi keluarga yang kehilangan orang yang mereka cintai? Berapa banyak lagi serangan terhadap minoritas ini," kecamnya.

Salah seorang siswa yang berhasil melarikan diri dari sekolah,  mengingat serangan itu, dan jeritan gadis-gadis, dan darah.

“Saya bersama teman sekelas saya, kami meninggalkan sekolah, ketika tiba-tiba terjadi ledakan,” kata Zahra (15), yang lengannya patah karena pecahan peluru. 

"Sepuluh menit kemudian ada ledakan lagi,  dan hanya beberapa menit kemudian ledakan lain," katanya. "Semua orang berteriak,  dan ada darah di mana-mana, lalu saya tidak bisa melihat apa pun dengan jelas. Teman saya meninggal." 

Sebagian besar dari lusinan pelajar yang terluka dilarikan ke rumah sakit darurat untuk korban luka perang di ibu kota Afghanistan. "Hampir semua gadis dan wanita muda berusia antara 12 dan 20 tahun," kata Marco Puntin, koordinator program rumah sakit di Afghanistan. 

Dalam pernyataan menyusul serangan itu, pihak rumah sakit, yang beroperasi di Kabul sejak 2000 itu, menegaskan,  tiga bulan pertama tahun ini pihaknya telah mengalami peningkatan 21 persen korban luka perang. 

Bahkan ketika ISIS telah terdegradasi di Afghanistan, menurut pejabat pemerintah dan AS, ISIS telah meningkatkan serangannya terutama terhadap Muslim Syiah,  dan pekerja wanita. Serangan itu terjadi beberapa hari setelah 2.500 hingga 3.500 tentara AS yang tersisa, secara resmi mulai meninggalkan Afghanistan.

AS  akan keluar paling lambat pada 11 September 2021. Penarikan itu dilakukan di tengah kebangkitan kembali Taliban, yang menguasai lebih dari separuh Afghanistan. 

Perwira tinggi militer AS menyatakan pada Minggu, pasukan pemerintah Afghanistan menghadapi masa depan yang tidak pasti,  dan kemungkinan beberapa 'kemungkinan hasil yang buruk' terhadap gerilyawan Taliban,  karena penarikan dipercepat dalam beberapa pekan mendatang. 

Taliban: Kita Harus Bersatu  

Pemimpin Taliban Mullah Hibatullah Akhundzada dalam pesan Idul Fitri pada Minggu mengatakan:  "Kita akan memiliki sistem Islam yang inklusif Afghanistan di mana semua orang akan merasakan rasa keterwakilan,  berdasarkan kemampuan dan keterampilan mereka, dan tidak ada yang akan dilanggar haknya." 

Dikutip dari Tolo News, Minggu, Pemimpin Taliban menyerukan kepada  warga Afghanistan di barisan oposisi untuk mengakhiri semua upaya melanjutkan perang.

"Kita harus bersatu berdasarkan perintah Islam,  dan melindungi diri kita sendiri dari semua perselisihan dan prasangka," tambahnya. 

"Senjata Imarah Islam (istilah yang digunakan untuk gerakan Taliban) , terbuka lebar untuk semua warga Afghanistan,  yang sebelumnya menentang kami. Kami mengulurkan tangan amnesti dan kasih sayang kami, dan mengundang mereka untuk bergabung di jalan kebenaran," lanjut Mullah Hibatullah. 

Mullah Hibatullah menyerukan implementasi perjanjian Doha,  dan mengatakan bahwa jika AS  gagal sekali lagi untuk memenuhi komitmennya, dunia harus bersaksi dan meminta pertanggungjawaban AS atas semua konsekuensinya. 

Ditambahkan, Taliban siap melindungi kemerdekaan dan kedaulatan Afghanistan dengan biaya berapa pun. 

Sebelumnya, Sher Mohammad Abbas Stanekzai, juru runding utama Taliban di Doha menyatakan, Taliban tidak berniat merebut kekuasaan melalui perjuangan militer.

Saat jadwal konferensi perdamaian yang diusulkan AS tentang Afghanistan di Turki semakin dekat, Stanekzai membuat pernyataan tersebut selama pertemuan virtual dengan utusan dari PBB, Norwegia, Swedia, Jerman, AS dan Inggris. 

Stanekzai mengklarifikasi bahwa membentuk pemerintahan koalisi bukanlah solusi atas konflik tersebut, dengan mengatakan bahwa adanya kebutuhan akan pemerintahan Islam terpusat yang kuat (di mana hak-hak setiap warga Afghanistan dilindungi),  tidaklah sedikit. 

“Imarah Islam tidak menerima pemerintahan koalisi. Ada kebutuhan akan sistem Islam terpusat yang kuat, sistem di mana setiap warga Afghanistan melihat hak-hak mereka, tidak sedikit orang, sebuah sistem di mana hak-hak setiap warga Afghanistan tercermin, ”kata Stanekzai.

Menurutnya,  pembebasan bersyarat 7.000 tahanan Taliban,  dan pencabutan nama-nama pemimpin Taliban dari daftar hitam PBB,  adalah kunci untuk memajukan proses perdamaian. 

"Setiap kali anggota delegasi kami ingin pergi dan bertemu dengan para pemimpin atau komandan militer kami, itu membutuhkan waktu berhari-hari,  dan ini menyebabkan gangguan dalam proses perdamaian," kata Stanekzai, yang secara tidak langsung meminta penghapusan nama Taliban dari daftar hitam PBB. 

Negosiator Taliban ini juga membuat jaminan bahwa wanita Afghanistan akan diizinkan untuk memainkan peran dalam proses politik negara,  dan kebebasan berbicara akan dimasukkan dalam kerangka Syariah Islam. 

“Ada perbedaan dalam kata-kata dan tindakan Taliban. Jika Taliban benar-benar ingin membuktikan kata-kata mereka benar, maka mereka harus melakukan pembicaraan yang disengaja dan mengumumkan gencatan senjata, ”kata Ilyas Wahdat, mantan gubernur Paktika. 

“Republik harus didukung, baik warga Afghanistan maupun asing harus mendukung republik. Ini sangat penting, ”kata anggota parlemen Abrarullah Murad. 

Sementara itu, utusan khusus AS Zalmay Khalilzad mengatakan bahwa AS akan mendukung rakyat Afghanistan yang mendukung republik, jika Taliban tidak memilih jalan perdamaian. 

Khalilzad  membuat pernyataan itu setelah menyelesaikan perjalanan ke wilayah di mana dia mengunjungi Tashkent, Doha,  Kabul dan Dushanbe.

Khalilzad mengakui  menghadiri pertemuan dengan sekutu AS di Berlin.*** 

 

Sumber: The Associated Press, Tolo News

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x