Masih belum puas, Sabtu, tentara dilaporkan menteror warga. Mereka mendobrak rumah-rumah warga dan merampok. Banyak rumah tangga kehilangan harta benda terutama uang dan makanan karena dijarah oleh serdadu-serdadu yang sebagian besar di antaranya masih 'melayang-layang' puyeng karena mabuk malam hari.
Sementara pada Jumat kemarin, Perserikatan Bangsa-bangsa yang telah kehilangan 'gigi' dan 'nyali', lewat utusan khususnya untuk Myanmar Christine Schraner Burgener, tiba di Bangkok, Ibu Kota Thailand, negara tetangga terdekat Myanmar.
Dilansir dari The Irrawaddy, Sabtu, Burgener akan bertemu Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai dan perwakilan badan-badan PBB. Ini sebagai bagian dari upayanya untuk mencari penyelesaian damai atas krisis yang sedang berlangsung di Myanmar.
Serangan Fajar Pasukan Mabuk
Pada 1989 sebelum era pemerintahan militer, sebagaimana dikutip dari Wikipedia, Bago bernama Pegu. Terletak sekitar 80 kilometer dari utara Yangon, wilayah ini dibelah oleh Sungai Pegu, yang mengalir ke Teluk Benggala, India. Pada Januari 2005, di Bago terdapat 245 ribu kepala keluarga.
Kota Bago telah dikepung oleh pasukan junta pada Jumat lalu. Para serdadu melancarkan serangan yang mematikan, bahkan menggunakan granat ke arah lusinan pengunjuk rasa.
Setidaknya 82 orang dibunuh dalam tindakan tersebut, menurut organisasi bantuan lokal dan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik yang selama ini memantau kekerasan junta sejak terjadinya kudeta oleh militer terhadap kepemimpinan Ang san Suu Kyii, 1 Februari 2021.
Dalam serangan sebelum fajar, yang dilaporkan melibatkan artileri berat, Tatmadauw menghancurkan basis protes utama di Jalan Ma Ga Dit, bagian timur Bago, menurut penduduk setempat. Beberapa pengunjuk rasa berusia belia, yang berlindung di balik barikade karung pasir pun tewas.
Menurut saksi-saksi mata, tentara memindahkan mayat dari pagoda pada Jumat malam, sekitar pukul 11 malam waktu setempat. "Mereka berteriak-teriak dengan cara yang menandakan bahwa mereka mabuk," kata seorang saksi mata di dekat Pagoda Zeyar Muni.
“Meski saya tidak ada hubungannnya dengan korban, saya sangat terluka, karena tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi, saya harus menonton semua ini, dan ingin mengambil kembali jenazah anak-anak muda yang masih hidup, ”kata saksi.