KALBAR TERKINI - Malam itu di balik kabut tebal bersuhu 15 derajat selsius, terdengar senandung lirih macapat dari seorang lelaki sepuh di Desa Kembuan, Kecamatan Tonsea Lama, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
Tembang ini seolah menandai kerinduan akan leluhur mereka, para ulama dan santri dari Jawa, Sumatera dan Kalimantan, yang diasingkan ke situ oleh Kolonial Belanda pada abad ke-18.
Sebagian besar warga di kelurahan ini adalah keturunan dari 63 santri pasukan pimpinan Pangeran Diponegoro dan panglimanya, Kyai Modjo. Putera Diponegoro pun tinggal di kawasan tersebut, tapi tak terdapat catatan sejarah tertulis tentang keturunannya di situ.
Jumlah pendatang dari pasukan Diponegoro, lebih banyak dibandingkan tahanan kolonial lainnya, yang menyusul tiba dari Kalimantan dan Sumatera.
Pasukan ini menikahi wanita-wanita setempat, yang kawasannya berkembang menjadi komunitas khas di Minahasa, suku asli di Sulawesi Utara. Keturunan dari asimilasi dua suku ini dikenal sebagai orang 'Jaton', singkatan dari kata 'Jawa Tondano', yang sudah diterima sebagai salah satu subetnis Minahasa.
Baca Juga: Muslim Sunni Ambon Mulai Puasa 1 Ramadan 1442 H
Baca Juga: Kumpulan Doa Selama Ramadhan 1442 H, Mulai dari Doa Pembuka hingga Hari Terakhir
Baca Juga: Digelar Daring dan Luring, Sidang Isbat Penentuan Ramadhan 1442 H Digelar Besok
Jaton merupakan kawasan pemukiman Muslim di tengah mayoritas umat Nasrani di Sulawesi Utara, khususnya di Kabupaten Minahasa.