Putin Bredel Media 'Penghianat' Negara, Media Asing pun Kabur!

8 Maret 2022, 12:34 WIB
Ilustrasi jurnalisme perang. /Pixabay/Hosny Salah


KALBAR TERKINI - Kebebasan pers tak boleh kebablasan, apalagi di suatu negara yang sedang berperang.

Masalahnya, tulisan dari pers ini, apalagi media asing yang 'numpang' tempat (alih-alih kebebasan pers), sangat berisiko melemahkan moral pasukan yang sedang bertempur atas nama negara.

Media massa di dalam negeri yang 'terlalu bebas' ini juga bisa dianggap sebagai penghianat negara.

Baca Juga: Intelijen Inggris Lacak Militer Vladimir Putin Lewat Aplikasi Kencan Gay Grindr, Sadap Pesan dan Pantau Invasi

Maka, Presiden Rusia Vladimir Putin meneken sebuah undang-undang untuk mengekang kebebasan pers seperti itu.

UU ini bahkan menghukum penjara hingga 15 tahun bagi siapa saja, perusahaan penerbitan pers, dan media sosial, yang dianggap memuat tulisan memutarbalikkan fakta.

Salah satu media online Rusia, Meduza, melaporkan pada Rabu, 1 Maret 2022, bahwa tindakan Pemerintah Federal Rusia ini terjadi dalam beberapa hari terakhir.

Baca Juga: Ternyata Ini Arti Ucapan URA oleh Vladimir Putin Viral di Media Sosial

Tindakan ini, berupa pemblokiran atau memaksa offline, dan mematikan siaran hampir setiap outlet berita independen yang tersisa di negara itu.

Tindakan keras ini dianggap telah mengurangi kebebasan pers di Rusia menjadi lebih rendah dibandingkan pada akhir periode Uni Soviet.

"Kami belum selesai, pihak berwenang Rusia sudah memblokir Meduza. Kami siap untuk ini, tetapi kami membutuhkan bantuan Anda (pembaca)," tulis Meduza.

Baca Juga: Profil Alex Konanykhin, Pengusaha Rusia yang Tawarkan Rp 14 Miliar untuk Kepala Vladimir Putin

"Pada 1 Maret 2022, rasanya seperti seabad yang lalu, ketika kami mengirim pesan ke pelanggan buletin kami, memperingatkan bahwa pihak berwenang Rusia berencana untuk memblokir Meduza," lanjutnya.

"Blokir ini juga dialami oleh media-media berita independen yang tersisa di Rusia, dan sekarang telah terjadi," tulis Meduza.

Beberapa jam lalu, tulis Meduza, pihaknya menerima konfirmasi, Layanan Federal untuk Pengawasan di Bidang Telekomunikasi, Teknologi Informasi, dan Komunikasi Massa (Roskomnadzor), mengharuskan penyedia layanan Internet di Rusia untuk memblokir akses ke situs webnya.

Baca Juga: Pengusaha Rusia Alex Konanykhin Tawarkan Rp 14 Miliar untuk Kepala Vladimir Putin, Hidup atau Mati

"Kami dan beberapa outlet lainnya dituduh 'menyebarkan informasi yang melanggar hukum...Sederhananya, kami telah dilarang untuk melaporkan informasi dari sumber selain negara Rusia itu sendiri," tambah Meduza.

Hal ini, menurutnya, terutama terkait invasi ke Ukraina, yang oleh Roskomnadzor dianggap melanggar hukum untuk disebut sebagai invasi atau perang.

Tapi, tulisnya lagi: "Rusia sedang berperang dengan Ukraina. Perang ini merupakan tindakan agresi yang tidak beralasan oleh negara Rusia terhadap rakyat Ukraina."

"Meduza menolak segala upaya untuk membatasi kebebasan kami untuk melaporkan kebenaran tentang konflik ini, atau subjek lainnya," tambahnya.

Pihak berwenang Rusia, menurut Meduza, bisa saja mencoba menghentikan publik melihat jurnalismenya, tetapi mereka akan gagal.

"Kami telah mempersiapkan untuk ini. Meduza memiliki aplikasi seluler, memiliki audiens yang sangat besar di media sosial, dan kami mendistribusikan buletin melalui email. Pembaca kami juga masih dapat menghubungi kami menggunakan VPN," tegasnya.


Namun, tambah Meduza, ada satu tantangan yang membuatnya tidak siap. Sembilan puluh persen dari donasi yang diterima, datang melalui sistem pembayaran Stripe dan PayPal.

"Pembaca kami di Rusia ingin terus mendukung kami, tetapi sekarang kartu bank mereka ditolak. Sanksi ekonomi ke sektor keuangan Rusia menciptakan risiko serius bagi crowdfunding kami, memaksa kami untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk," lanjut Meduza.

"Kami terutama mengandalkan Anda, audiens internasional kami, untuk membantu mempertahankan pekerjaan kami," tambah Meduza.

Sejak diluncurkan dalam bahasa Inggris, situs web Meduza telah memperoleh jutaan tampilan unik.

Penonton edisi bahasa Rusia-nya masih jauh lebih besar, dan dukungan semua pembaca dianggap sangat penting untuk mempertahankan kedua proyek.

"Ketidakpastian keuangan di Rusia berarti Meduza harus beralih ke pembaca kami di seluruh dunia. Untuk melanjutkan pekerjaan kami, kami berpaling kepada Anda," tambahnya.

Sementara itu, The New York Times melaporkan pada Jumat, 4 Maret 2022, Rusia sejak Jumat lalu menekan lebih keras terhadap berita dan kebebasan berbicara yang baru kali ini terjadi selama 22 tahun kekuasaan Putin.

Memblokir akses ke Facebook dan outlet berita asing utama dan memberlakukan UU untuk menghukum siapa pun yang menyebarkan 'informasi palsu' tentang Ukraina terkait invasi, diancam penjara 15 tahun.


Selain itu, pemerintah memblokir akses di dalam negeri Rusia sendiri ke situs-situs utama berbahasa Rusia, yang berbasis di luar negeri, dan ke Facebook, jaringan sosial yang populer di kalangan kelas menengah perkotaan.

Kalangan ini kerap memposting kritik keras terhadap perang Putin.

Facebook, menurut klaim regulator internet Rusia, telah terlibat dalam diskriminasi terhadap media berita Rusia, dengan membatasi akses ke akun pro-Kremlin, termasuk saluran televisi Kementerian Pertahanan.

Menurut The New York Times, keputusan itu merupakan pukulan bagi kebebasan internet di Rusia, sekalipun jejaring sosial Barat tetap dapat diakses.

Hingga saat ini, jejaring sosial populer Rusia seperti VKontakte, tetap dapat diakses bersama dengan Instagram, Twitter, dan YouTube.

Tetapi, para analis memperkirakan tindakan keras lebih lanjut, meningkatkan pentingnya aplikasi perpesanan dan jejaring sosial Telegram, yang gagal diblokir oleh Kremlin sejka 2018.

Pejabat Rusia mengklaim bahwa jurnalis yang menulis secara kritis tentang perang – menyebutnya sebagai 'perang' atau 'invasi'- merusak kepentingan nasional, bahkan menyebut mereka sebagai pengkhianat.

Majelis rendah Parlemen, Duma Negara, mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi informasi palsu tentang angkatan bersenjata pada Jumat lalu dengan suara bulat.

Putin pun menandatanganinya. Vyacheslav Volodin, pembicara Duma menyatakan, di bawah UU baru itu, siapa saja yang berbohong, dan membuat pernyataan yang mendiskreditkan angkatan bersenjata Rusia, akan dipaksa memikul hukuman sangat berat.

Teks UU baru tersebut memberikan sedikit rincian tentang apa yang merupakan pelanggaran.

Tetapi, jurnalis Rusia dan penentang Kremlin, mengartikannya bahwa kontradiksi apa pun dari pernyataan pemerintah tentang invasi, dapat diperlakukan sebagai kejahatan.


Tidak segera jelas apakah undang-undang tersebut akan berlaku untuk orang-orang di dalam Rusia — seperti koresponden asing — yang memproduksi konten dalam bahasa selain bahasa Rusia.

Tetapi, anggota parlemen senior lainnya menyatakan bahwa warga dari negara mana pun dapat dituntut di bawahnya.

BBC - yang memiliki layanan besar berbahasa Rusia di Moskow serta biro berbahasa Inggris - menyatakan bahwa telah menghentikan operasinya di dalam negeri Rusia.

"Undang-undang ini tampaknya mengkriminalisasi proses jurnalisme independen," kata Tim Davie, direktur jenderal BBC, dalam sebuah pernyataan.

“Kami tidak memiliki pilihan lain selain menangguhkan sementara pekerjaan semua jurnalis BBC News dan staf pendukung mereka di Federasi Rusia sementara kami menilai implikasi penuh dari perkembangan yang tidak diinginkan ini," katanya.

Putin belum menanggapi perkembangan tersebut pada Jumat lalu.

Sebagai gantinya, Putin menggelar konferensi video yang disiarkan televisi, bersama gubernur wilayah Kaliningrad, sebuah eksklave Rusia yang terjepit di antara Polandia dan Lituania di Laut Baltik.

“Kami tidak melihat kebutuhan untuk memperburuk situasi atau memperburuk hubungan kami,” kata Putin.

“Semua tindakan kami, jika itu terjadi, itu terjadi secara eksklusif, selalu, sebagai tanggapan atas tindakan yang tidak disengaja terhadap Federasi Rusia," lanjutnya.

 

Pada Kamis lalu, pilar media penyiaran independen Rusia, stasiun radio Echo of Moscow dan saluran televisi TV Rain, ditutup di bawah tekanan dari negara.

Kemudian, masih pada Jumat, Pemerintah Rusia menyatakan akan memblokir akses ke media berbahasa Rusia yang diproduksi di luar negeri.

Media-media itu, situs web Voice of America (VOA), BBC, Deutsche Welle, Radio Free Europe/Radio Liberty, dan outlet berita populer yang berbasis di Latvia. Medan.

Alasannya, media-media itu melakukan distribusi sistematis, dari apa yang disebut sebagai informasi palsu tentang 'operasi militer khusus di wilayah Ukraina'.

 

Namun, orang Rusia masih dapat menjangkau media yang diblokir melalui aplikasi perpesanan Telegram, di mana banyak outlet berita juga memiliki akunnya sendiri. Beberapa juga dapat menggunakan jaringan pribadi virtual, atau VPN, untuk melewati batasan.

Hanya saja, outlet berita independen yang berbasis di Rusia melihat bahayanya begitu besar sehingga semakin banyak yang tutup.

Znak, outlet berita independen yang mencakup wilayah Rusia, menutup situs webnya pada Jumat lalu.

“Kami menangguhkan operasi kami mengingat sejumlah besar pembatasan baru pada fungsi media berita di Rusia," tulis Znak.

Yang lain mencoba untuk tetap hidup dengan memberi tahu pembaca bahwa mereka tidak akan lagi meliput perang.

Surat kabar independen besar terakhir Rusia, Novaya Gazeta, menyatakan akan menghapus kontennya tentang perang di Ukraina.

The Village, majalah gaya hidup digital yang memindahkan operasinya dari Rusia ke Polandia minggu ini, menyatakan bahwa mereka secara surut mengedit artikelnya untuk mengubah penyebutan kata 'perang' menjadi 'operasi khusus'.

Sampai baru-baru ini, internet Rusia yang sebagian besar tanpa sensor, telah menyediakan saluran bagi orang Rusia.

Salurna ini mengekspresikan perbedaan pendapat, dan membaca laporan berita di luar gelembung propaganda Kremlin, yang menyelimuti sebagian besar media berita tradisional negara itu.

Namun di tengah perang di Ukraina (yang telah memicu protes di seluruh negeri dan penentangan dari Rusia secara online), Kremlin tampaknya melihat internet sebagai ancaman baru.

Begitu pula dengan Echo of Moscow, sebuah stasiun radio yang didirikan oleh pembangkang Soviet pada 1990 kemudian diakuisisi oleh raksasa energi negara Gazprom.

Pihak Echo of Moscow menyatakan pada Jumat lalu bahwa mereka akan menghapus semua akun media sosial perusahaan, dan mematikan situs webnya sebagai bagian dari proses 'likuidasi'.

Pada sore hari, saluran YouTube populernya. hilang. Lebih dari satu juta orang telah mendengarkan programnya setiap hari, menurut pemimpin redaksi lama stasiun radio itu, Aleksei A Venediktov.

“Echo adalah rumah saya,” kata Irina Vorobyeva, seorang jurnalis yang bekerja di stasiun radio itu selama lebih 15 tahun, dalam sebuah wawancara pada Kamis lalu.

“Ini adalah rumah bagi sejumlah besar jurnalis, dan ini adalah rumah bagi sejumlah besar tamu kami, yang datang ke sini untuk membicarakan pendapat mereka, untuk membicarakan hal-hal yang tidak diketahui dunia," tambahnya.


Situasi ini juga merupakan perubahan besar bagi Novaya Gazeta, surat kabar independen berusia 29 tahun.

Media ini telah mengalami pembunuhan enam jurnalis, yang editornya Dmitri Muratov, menerima Hadiah Nobel Perdamaian 2021.

Dalam buletin email pada Jumat pagi lalu, Nadezhda Prusenkova, salah satu jurnalis surat kabar itu, menulis bahwa sulit untuk melihat banyak rute agar publikasi tetap ada. "Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya," tulisnya.***

Sumber: Meduza, The New York Times

 

Editor: Slamet Bowo Santoso

Sumber: New York Times meduza

Tags

Terkini

Terpopuler