Paska Kematian Khadafi, Libya Ibarat Neraka Jahanam

18 Februari 2021, 01:21 WIB
PENGUNGSI: Kaum pengungsi di Libya dilaporkan diperlakukan bagai bukan manusia. Dipekerjakan secara paksa, jadi korban pembunuhan atau pelecehan seksual, sudah menjadi bagian dari romantika keseharian mereka./LIBYAN CLOUD NEWS AGENCY-TRIPOLI/ /Kalbar Terkini/Oktavianus Cornelis

TRIPOLI, KALBAR TERKINI - Libya terjebak dalam jurang kemiskinan yang dalam sejak tewasnya sang pemimpin, Muammar Khadafi menyusul serangan Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya pada 2011. Negara tersebut pun menjadi menjadi neraka bagi kaum pengungsi.

Di era Khadafi, ketika perekonomian di Libya belum separah seperti sekarang ini, kehidupan kaum pengungsi kala itu masih lumayan aman. Mereka  sempat memilih Libya sebagai negara yang strategis untuk transit  sebelum pindah ke salah satu negara di Benua Eropa yang bersedia menampung. 

Paska kematian Khadafi, Libya menjadi carut-marut. Mereka pun terjebak karena dilarang keluar dari Libya. Tak tahan lagi dengan  kondisi negara itu, banyak di antara mereka yang melarikan diri ke Eropa lewat laut,  walaupun lebih banyak yang ditangkap dan dipulangkan lagi ke Libya.

Baca Juga: Bahaya! Jika AS Keterlaluan, China Tembakkan Rudal Pembunuh Kapal Induk

Lilitan ekonomi di negara tersebut diduga menjadi penyebab utama jatuhnya moral aparat. Para pengungsi ini  dipandang sebagai bukan manusia. Perang berkepanjangan telah membuat menciptakan perasaan memusuhi serta kehidupan menjadi lebih susah untuk mencari nafkah.

Ketika kaum pengungsi berusaha pula untuk ikut mengais rezeki, terjadilah persaingan dengan warga lokal. Mereka pun dianggap musuh oleh umumnya warga Libya. Para pengungsi menjadi sasaran bulan-bulanan terutama dari oknum-oknum aparat.

Mereka akhirnya kerap menjadi objek pemerasan, pemerkosaan, pembunuhan, penculikan, atau diperjakan secara paksa di berbagai usaha karena dianggap sebagai tenaga kerja gratis atau bisa dipekerjakan semena-mena.

Baca Juga: Bidik Wartawan dan Pekerja Publik Lain, Jokowi: Vaksinasi Adalah Pekerjaan Besar Stop Covid-19

Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE), berusaha mencegah kedatangan pengungsi ini. Eksodus yang sering berlangsung lewat laut berusaha dicegah. Pada 2016, UE membentuk Pakta UE untuk bekerjasama dengan Pemerintah Libya. Kerjasama ini difokuskan di bidang kelautan untuk mencegah eksodus dari Libya.

Dilansir Kalbarterkini.com dari laman Amnesti Internasional, 24 September 2020, kerjasama ini, antara lain, UE menyediakan perahu cepat, pelatihan, dan bantuan dalam koordinasi operasi kelautan untuk memastikan orang-orang itu tidak bisa melarikan diri menggunakan perahu dari Libya.

Mereka bisa dicegat di laut dan dibawa kembali ke Libya. Selama periode ini, diperkirakan 60 ribu pria, wanita dan anak-anak telah ditangkap di laut dan diturunkan di Libya oleh Penjaga Pantai Libya (LCG) dukungan UE. Jumlah mereka sebanyak 8.435 pada 1 Januari dan 14 September 2020.  

Baca Juga: Murka Pelanggaran HAM di Kamp Uighur, Biden: Awas, China akan Bayar Mahal

Didorong oleh keinginan untuk menghentikan kedatangan dengan segala cara, UE menawarkan dukungan penuh kepada Libya. Dukungan ini tanpa mengindahkan hak asasi manusia.

Bukan hanya itu. Menurut Diana Eltahawy, Wakil Direktur Regional Amnesti Internasional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, kehidupan pengungsi di Libya identik dengan pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa; penyiksaan, pemerkosaan atau kekerasan seksual dan penahanan sewenang-wenang.

Baca Juga: Teganya! Afghanistan Masih Berdarah, Pasukan Selandia Baru Ancang-ancang Mundur

Tak sedikit pula pengungsi yang dipaksa bekerja di fabrik-fabrik-tembakau di Tripoli yang kemudian memperlakukan mereka secara kejam. “Libya adalah negara yang tercabik-cabik oleh perang selama bertahun-tahun," katanya. 

Peperangan yang panjang ini menciptakan lingkungan yang sangat bermusuhan kala semua orang Libya mencari nafkah supaya tetap hidup. Penduduk memusuhi kaum pengungsi dan migra. Alih-alih dilindungi, dewasa ini mereka malah menjadi korban pelanggaran HAM yang mengerikan.*** 

Editor: Oktavianus Cornelis

Sumber: Amnesti Internasional   

 

 

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler