Ia ternyata seorang pandu yang berdisiplin, militan dan bertanggung jawab.
Hal ini terlihat ketika suatu kali Hizbulwathon mengadakan jambore di lereng Gunung Slamet yang terkenal berhawa dingin.
Pada malam hari udara sedemikian dinginnya, sehingga anak-anak pramuka tidak tahan tinggal di kemah.
Mereka pergi ke penginapan yang ada di dekat tempat tersebut. Hanya Soedirman sendiri yang tetap tinggal di kemahnya.
Setelah lulus dari MULO Wiworo Tomo, Soedirman tetap aktif di Hizbulwathon dan kemudian menjadi guru di HIS Muhammadiyah.
Pilihan itu memang tepat, karena Soedirman mempunyai bakat sebagai seorang guru.
Memiliki 7 Anak
Tahun 1936, Soedirman memasuki hidup baru, ia menikah dengan Alfiah.
Istrinya ini sudah dikenalnya sewaktu bersekolah di Wiworo Torno. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai 7 orang anak.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Sekolah Muhammadiyah terpaksa ditutup, karena Jepang melarang sekolah itu berdiri.