Baca Juga: Ajang Latihan Puasa Ramadhan, Ini Keutamaan dan Niat Lengkap Puasa Rajab
(Imam) Sa’id bin Jubair menjawab: “Seseorang yang melakukan dosa, kemudian setiap kali dia teringat dosanya, dia memandang rendah amalnya” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017, h. 314)
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/126852/ketika-sa-id-bin-jubair-ditanya--siapa-yang-paling-banyak-ibadahnya?_ga=2.189073448.2022078000.1614480339-1043900779.1614480339
Imam Sa’id bin Jubair (w. 95 H) adalah seorang ulama dari kalangan tabi’in. Ia mengambil riwayat hadits dari Ibnu ‘Abbas, Sayyidiah ‘Aisyah, ‘Adi bin Hatim, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Mas’ud al-Badri, Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubair, ad-Dlahak bin Qais, Abu Sa’id al-Khudri, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Milad ke-43 Masjid Istiqlal, Wapres Ma’ruf Amin Berharap jadi Wadah Cara Berpikir Wasathiyah
Ia belajar Al-Qur’an kepada Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas (qara’al qur’ân ‘alâ ibni ‘abbâs). Ia memiliki banyak murid, sebut saja Abu Shalih al-Samman, Adam bin Sulaiman, Abu ‘Amr, Habib bin Abi Tsabit, Sulaiman bin Abi al-Mughirah, Abdullah bin Sa’id (anak), Abdul Malik bin Abu Sulaiman, dan masih banyak lainnya.
(Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Bairut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 4, h. 322-324) Ibadah adalah pembebasan.
Dengan hanya menyembah Allah yang Maha Esa, yang ke-mahaan-Nya tidak bisa diukur dan diangankan, manusia terbebas dari perbudakan horizontal, atau perbudakan sesama makhluk.
Baca Juga: Dapatkan Pahala di Bulan Rajab, Perbanyak Istigfar Hingga Solat Malam
Dengan hanya menyembah-Nya, manusia mengalami pembebasan. Dalam bahasa Sayyidina al-Mughirah bin Syu’bah (w. 50 H), sahabat nabi yang mulia itu, menjadi Muslim adalah terbebas dari penyembahan sesama makhluk. Ia mengatakan
: وإخراج العباد من عبادة العباد إلى عبادة الل
“Mengeluarkan (atau membebaskan) para hamba dari menyembah sesama makhluk kepada (hanya) menyembah Allah (semata).” (Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003, juz 9, h. 621-622)
Artinya, beribadah dapat melahirkan kesetaraan sesama makhluk, tidak ada yang lebih mulia, tidak ada yang lebih unggul, dan tidak ada yang lebih utama, selain ketakwaan dan manfaat yang diberikannya untuk sesama.