Covid-19 kian Misterius: Direstui Alam untuk Lawan Vaksinasi Global?

- 25 April 2021, 23:47 WIB
DIRESTUI  ALAM - Lewat kemuncuan varian-varian baru  korona, diyakini terjadi seleksi alam yang 'merestui' kehadiran varian virus yang lebih kebal untuk melibas vaksin-vaksin./ILUSTRASI: PIXABAY/CAPTION: OKTAVIANUS C/
DIRESTUI ALAM - Lewat kemuncuan varian-varian baru korona, diyakini terjadi seleksi alam yang 'merestui' kehadiran varian virus yang lebih kebal untuk melibas vaksin-vaksin./ILUSTRASI: PIXABAY/CAPTION: OKTAVIANUS C/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

KALBAR TERKINI - Pandemi Covid-19 kian  misterius dan membuat begidik.  Ibarat iblis, virus korona melakukan perlawanan ketika manusia memberlakukan vaksinasi global. Lewat kemunculan varian-varian baru, terjadi seleksi alam yang 'direstui'  untuk melibas keberadaan vaksin-vaksin anti-korona.

Jadi, semurka-murkanya umat manusia, toh Covid-19 tak bisa diraba dan selalu  bergerak trengginas dan kejam bagai siluman. Bisa dibayangkan,  andai korona berbentuk manusia, maka pasti sudah dikeroyok manusia sedunia: ditonjok hingga matanya biru, gigi rontok, atau...dijewer kencang-kencang telinganya,  oleh mantan Menkes Terawan Agus Putranto sambil ngomel-ngomel: "Gara-gara ente, ana begadang trus bikin vaksin!"

Varian korona baru kian bermunculan pasca kencangnya gerakan imunisasi manusia dengan menggunakan berbagai temuan vaksin.  Dua kasus infeksi 'terobosan vaksin' misalnya, telah dilaporkan dalam studi baru yang membuat ilmuwan kuatir bahwa beberapa varian Covid-19 dapat menghindari vaksin.

Apalagi, sebagamana dikutip Kalbar-Terkini.com dari Science Alert, Kamis, 22 April 2021, vaksinasi tidak pernah diharapkan dapat memblokir 100 persen infeksi korona. Ini karena faktanya, vaksin-vaksin ini dibuat dalam keadaan mendesak.

Baca Juga: Rumah Sakit Baghdad Terbakar : Hanguskan Jenazah 28 Pasien Covid-19

"Pengamatan kami menggarisbawahi pentingnya perlombaan yang sedang berlangsung antara imunisasi,  dan seleksi alam dari mutan yang lolos dari virus,"  kata ahli biokimia Ezgi Hacisuleyman yang mewakili para peneliti dari Universitas Rockefeller, AS.

Dicontohkan tentang dua wanita yang telah menerima dosis vaksinasi kedua , satu dengan suntikan Pfizer dan kedua denganvaksin Moderna.  

Kabar baiknya, para wanita tersebut hanya memiliki kasus penyakit yang ringan,  jadi ada kemungkinan vaksin masih dapat membantu mereka.

Namun,  belum diketahui apakah orang yang divaksinasi secara lengkap, bisa terkena virus korona yang parah atau tidak.

Studi tersebut memantau staf dan mahasiswa di Universitas Rockefeller, menghasilkan sampel yang mewakili lebih dari 400 karyawan yang divaksinasi,  dan hampir 1.500 relawan yang tidak divaksinasi.

Para peneliti telah mengambil sampel air liur mereka setiap oekan sejak musim gugur.

Baca Juga: Google Luncurkan Aplikasi Rekam Medis

Adapun dua wanita yang sudah divaksinasi penuh karena tertular virus itu, tidak memiliki faktor risiko Covid-19  yang parah.  

Pasien kedua yang sudah berusia 65 tahun, dites positif terkena virus 36 hari setelah menerima dosis vaksin kedua. 

Tetapi pasien pertama dinyatakan positif terinfeksi hanya 19 hari setelah dosis kedua. Itu sebabnya  para peneliti meuyatakan bahwa mereka tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa pasien kedua itu terinfeksi sebelum menerima dosis kedua. 

Melihat sekuens genetik dari varian Hacisuleyman,  tim menemukan bahwa strain pasien pertama mengandung mutasi dari strain B.1.1.7 Inggris,  dan B.1.526 dari New York, AS, atau kemungkinan hasil dari dua strain yang mengalami rekombinasi.

Rekombinasi genetik pada virus,  terjadi ketika dua jalur berbeda dari virus yang sama menginfeksi sel inang yang sama. Dalam lingkungan bersama ini,  kedua virus dapat bertukar gen sambil bereplikasi untuk menghasilkan generasi berikutnya. 

Ini adalah salah satu cara virus mengubah dirinya sendiri, sehingga tubuh manusia  sulit mengenali dan menahannya. 

Baca Juga: Masuk Pontianak Harus Rapid Test Antigen, Edi Kamtono: Satgas Covid-19 Tidak Pernah Lengah

Kemungkinan lain untuk kombinasi mutasi yang terlihat dalam kasus virus pasien pertama, adalah evolusi konvergen. Ini terjadi ketika tekanan selektif dari lingkungan,  mengarah ke mutasi yang sama, dan  berkembang dalam isolasi yang lebih dari sekali. 

Perusahaan-perusahaan kimia biologi  telah berlomba mengembangkan vaksin putaran berikutnya untuk memerangi varian baru ini. Sebab, penelitian menunjukkan strain dari Afrika Selatan B.1.351, kemungkinan mampu menghindari antibodi penetral,  yang dibuat oleh tubuh manusia sebagai respons terhadap vaksin dan infeksi dari sebelumnya.

Jangan Timbun Vaksin

Situasi yang berubah  cepat inilah yang menyebabkan kalagan ahli medis mendesak untuk fokus ke vaksin RNA. Ini adalah yang paling cepat diubah untuk memerangi varian baru, dan juga paling kecil kemungkinannya mengalami penundaan persetujuan.

Sebab   selain RNA,  mereka yang mengkodekan segala sesuatu tentang vaksin yang diperbarui, akan tetap sama. 

Hasil ini menunjukkan betapa pentingnya memvaksinasi sebanyak mungkin orang di seluruh dunia dalam jangka waktu terpendek yang dapat dicapai. Ini untuk mencoba, dan mencegah lebih banyak varian semacam itu yang menerobos. 

Itulah  sebabnya mengapa negara-negara kaya seperti AS, Inggris, dan Australia,  perlu memastikan negara-negara yang lebih miskin untuk juga memiliki akses ke vaksinasi yang cukup, ketimbang menimbun semuanya untuk diri sendiri.

Diingatkan, bahwa membiarkan virus membusuk di tempat-tempat yang tidak memiliki sarana untuk memvaksinasi populasinya sendiri, hanya akan meningkatkan risiko munculnya varian baru yang mungkin lebih berbahaya, dan menghadirkan risiko baru bagi semua orang. 

Karena itulah mengapa Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) perserikatan bmembuat program vaksin COVAX untuk mencoba dan mencegahnya.

Tetapi,  negara-negara kaya pada dasarnya memboikotnya, sementara juga memblokir pengabaian paten sementara,  yang akan memungkinkan lebih banyak negara mengakses informasi yang mereka butuhkan untuk memproduksi vaksin nya sendiri. 

Para ahli terus mendesak negara-negara kaya untuk membagikan vaksin mereka secepat mungkin, sebagaimana  telah dipublikasikan di New England Journal of Medicine.  

Sementara itu, para peneliti menyarankan, bahwa selama periode kritis pandemi,  semua pihak terkait perlu terus bekerja keras di berbagai strategi. Termasuk pengujian serial terhadap orang-orang tanpa gejala untuk melacak tingkat penyebaran,  yang sebenarnya hidup di dalam populasi manusia, dan terus berbagi informasi secara terbuka,  dan cepat.***

 

Sumber: Science Alert

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah