Upaya AS melestarikan hegemoninya di Eropa, yang mulai sirna di Benua Asia, ditengarai akan mendapatan perlawanan internal UE, menyusul bakal terjadinya krisis energi dahsyat di Benua Eropa, jika semua negara Eropa bersikap sama seperti AS ke Rusia.
Memang, masalah kepentingan politik, bisnis, dan energi yang beragam, telah lama memecah belah blok dari 27 negara UE terkait pendekatan ke Moskow.
Sebab, sekitar 40 persen dari impor gas alam UE, berasal dari Rusia, dan sebagian besar melalui pipa di seluruh Ukraina.
Harga gas telah meroket, dan Kepala Badan Energi Internasional menyatakan, raksasa energi Rusia Gazprom, telah mengurangi ekspornya ke UE pada akhir 2021, meskipun harganya sedang tinggi.
Presiden Rusia Vladimir Putin pun menyatakan, Gazprom menghormati kewajiban kontraknya, bukan untuk menekan Eropa.
Dua kekuatan utama UE, tampak paling berhati-hati. Pipa Nord Stream 2 Jerman dari Rusia, yang sudah selesai, tetapi belum memompa gas, telah menjadi alat tawar-menawar. Presiden Prancis Emmanuel Macron telah memperbarui seruan, yang sebelumnya ditolak untuk pertemuan puncak UE dengan Putin.
Pada akhir 2021, Prancis dan Jerman awalnya menyatakan keraguan tentang penilaian intelijen AS bahwa Moskow mungkin bersiap untuk menyerang.
Pada Sabtu malam lalu, dilansir Kalbar-Terkini.Com dari The Associated Press, Komandan Angkatan Laut Jerman, yakni Wakil Laksamana Kay-Achim Schoenbach, mengundurkan diri setelah mendapat kecaman.
Ini terkait pernyataan Schoenbach bahwa Ukraina tidak akan mendapatkan kembali Semenanjung Krimea, dan juga karena sarannya bahwa Putin layak mendapatkan 'penghormatan'.