SECRET! Dayak Gelar Kongres Borneo Raya: IKN Picu Wacana Referendum di Pulau Kalimantan

31 Maret 2022, 08:32 WIB
Ilustrasi Orang Suku Dayak Kalimantan. /Screenshot YouTube Aliqul Channel/

KALBAR TERKINI - Masyarakat Dayak Borneo segera menggelar Kongres Borneo Raya (KBR) yang akan dihadiri seluruh organisasi dan lembaga adat Dayak.

Jadwal kongres termasuk kemungkinan referendum di Kalimantan terkait keberadaannya di NKRI mengingat masyarakat Dayak adalah pemilik tanah leluhurnya, Pulau Borneo.

"Pemicu kongres besar ini sudah termasuk tidak dipedulikannya aspirasi dan hak adat orang Dayak terkait keberadaan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di mana, orang Dayak dianggap tidak ada oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo," kata sebuah sumber Kalbar-Terkini.com yang enggan disebut namanya, Rabu 30 Maret 2022.

Baca Juga: Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe Sebaiknya Mundur dari IKN, Tokoh DIO: Kasihan, Sebelum Terlambat!

Diwawancarai pada Rabu, 30 Maret 2022, kunjungan Jokowi ke Titik Nol, pasca pelantikan Kepala dan Wakil Otorita IKN Nusantara, hanya bertemu dengan para tokoh adat tingkat desa, tidak melibatkan skala nasional.

"Padahal, IKN yang akan dibangun secara bertahap selama puluhan tahun, harus merangkul orang Dayak di Pemerintah Otorita IKN Nusantara, setidaknya untuk orang kedua di IKN dan deputi, tapi ternyata suara kami dinafikan.

Padahal, pembangunan IKN secara jangka panjang akan mengalami konflik-konflik sosial," katanya.

Baca Juga: Tokoh Dayak Tak Dipercaya Pimpin IKN, DIO: Jangan Salahkan Kami Jika Tak Percaya Lagi Pada Jokowi

"Jadi, buat apa kami menghargai pemerintah pusat, saat aspirasi kami tidak didengar? Kami dianggap tidak ada, sehingga saatnya orang Dayak menentukan sikap yang tegas," lanjutnya.

Diakuinya, KBR merupakan kongres akbar kedua Suku Dayak setelah Pertemuan Damai Tumbang Anoi di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 Mei – 24 Juli 1894.

Pertemuan adat akbar ini menghasilkan sembilan kesepakatan, yang dijabarkan di dalam 96 hukum adat.

Baca Juga: DIO: Orang Dayak Dukung IKN, Keluarkan 9 Petisi Syarat Wajib untuk IKN Nusantara, Berikut Lengkapnya

Di antaranya, menghentikan praktik perbudakan dan potong kepala manusia (kayau), sebagai bentuk pengukuhan kembali keberadaan Masyarakat Adat Suku Dayak dalam skala lebih luas dan mengikat, dari sudut pandang sosiologi dan anthropologi.

Sementara itu, menurut Aju Dismas, Pemimpin Redaksi DIO-Tv.com, portal berita milik Dayak International Organization (DIO), bahwa kebudayaan akan dibentuk seperti apa, ini sangat tergantung dengan pilihan masyarakatnya.

"Jika masyarakat menginginkan kebudayaan yang berkarakteristik religius, maka dasar yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai religius, spiritual dan sebagainya.

Karena itu, menurut penulis buku sejarah yang juga mantan wartawan koran sore Sinar Harapan, Jakarta, dapat dipahami bahwa secara esensial, kebudayaan itu sangat tergantung dengan keinginan masyarakat pemangku kebudayaan bersangkutan.

"Kebudayaan merupakan kekayaan esensial yang tidak hanya manusia individu sendiri-sendiri, tetapi pula sebagai kelompok sosial, bangsa dalam peranannya memberi nilai-nilai," katanya.

Kebudayaan, tambahnya, merupakan jantung hidup masyarakat, hati pembentuk, pengembang, pematang, serta pemelihara manusia-manusia di dalamnya.

Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo. Sebelum Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, didirikan, masyarakat Suku Dayak, sudah memiliki sistem pemerintahan tradisional sendiri.

Masyarakat Dayak mengedepankan peran para tokoh adat yang disebut Damang (Provinsi Kalimantan Tengah), Temenggung (Provinsi Kalimantan Barat), Kepala Adat (Provinsi Kalimantan Timur), Pemanca (Negara Bagian Sarawak) dan Anak Negeri (Negara Bagian Sabah).

Hasil Pertemuan Damai Tumbang Anoi, Desa Tumbang Anoi, menghasilkan sembilan kesepakatan yang dijabarkan di dalam 96 hukum adat.

Menurut Aju dari sudut pandang sosiologi, Hukum Adat Dayak adalah sistem untuk mengatur komunitas dan masyarakat Adat Suku Dayak, berupa interaksi yang melahirkan adat berupa norma-norma, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, tata susila/etika, budaya, sistem nilai, dan hukum.

Dalam Mitos Suci, lanjutnya, Masyarakat Adat Dayak, telah ada sejak penciptaan alam semesta, dan telah tinggal di Pulau Kalimantan atau Borneo, sebelum adanya Kerajaan Hindu, Buddha, Islam, Belanda, Jepang, Republik Indonesia, Federasi Malaysia, dan Kerajaan Brunei Darussalam.

Dalam Agama Kaharingan, tambah Aju, manusia Suku Dayak terikat Hadat, berupa perintah-perintah atau tuntunan-tuntunan yang bersumber dari peristiwa-peristiwa suci yang dialami para leluluhur pada awal mula zaman.

Misalnya, tambah Aju, hadat kawin bersumber dari peristiwa perkawinan manusia pertama Manyamei Tunggal Garing Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameloh Putak Bulau Janjuel Karangan Limut Batu Kamasan Tambun, tokoh suci sebagai nenek-moyang manusia Suku Dayak Ngaju.

"Dari sudut pandang anthropologi, Adat Dayak berasal dari Tuhan, sebagaimana penuturan Imam di dalam Agama Kaharingan, salah satu agama asli Suku Dayak disebut Basir, dimana Hukum Adat berasal dari Ranying Hatalla Langit; Hadat telah ada sejak penciptaan," jelasnya.

Dalam perspektif itulah, lanjut Aju, sebagaian masyarakat di Kalimantan, kurang menerima Nusantara sebagai nama ibu kota negara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur.

Alasannya, nama nusantara, sudah terlalu umum, dan dari aspek kesejarahan masing mengundang perdebatan.

"Paling tidak, harapan masyarakat Dayak di Kalimantan, nama ibu kota negara di Provinsi Kalimantan Timur, menambah kosa kata di dalam Bahasa di Indonesia," kata Aju yang dikenal pula sebagai budayawan Dayak.

Perlu dipahami, lanjutnya, kosa kata Bangsa Indonesia, termasuk yang termiskin di Indonesia, hanya mencapai 600 ribu kosa kata

Bandingkan dengan kosa kata Bahasa Arab mencapai 2,5 juta kosa kata dan Bahasa Inggris mencapai 6 juta kosa kata.

Miminnya kosa kata dalam Bahasa Indonesia, karena kita kurang mengangkat dan mensosialisasikan bahasa-bahasa daerah di ruang public.

Karena hakekat Bahasa Indonesia, adalah bahasa daerah masing-masing suku bangsa yang disosialisasikan dan kemudian diterima ranah public sebagai Bahasa Indonesia.

Aju juga mengutip pernyataan sejarawan dan penulis buku alumni Universitas Indonesia, JJ Rizal, bahwa Nusantara ditetapkan sebagai nama IKN, sebagai wujud arogansi dan pikiran elit 'keraton Jawa' gaya baru pada 2022.

“Kalau niat bikin Ibu Kota Negara untuk memutus ketimpangan antara Jawa dengan luar Jawa dan sebab itu dipindah ke tengah yaitu pulau Kalimantan, maka pemberian nama Nusantara itu otomatis bertolak belakang dengan gagasan pokok memutus kesenjangan itu,” ujar JJ Rizal, Selasa, 18 Januari 2022.

Sebab, istilah Nusantara, menurut Rizal, mencerminkan bias Jawa yang dominan. Nusantara adalah produk cara pandang Jawa masa Majapahit, yang mendikotomi antara negaragung (kota Majapahit) dengan manca negara (luar kota Majapahit).

Di luar kota Majapahit inilah yang disebut Nusantara. Sebab itu, sebutan Nusantara ini bukan hanya dikotomis dalam artian kewilayahan tetapi juga peradaban.

“Dalam konteks Jawa sebutan mancanegara untuk menjelaskan wilayah yang tidak beradab, kasar tidak teratur atau sesuatu yang sebaliknya dari negaragung yang beradab, harmonis,” ujar Rizal.

Sebab itu, sejak zaman pergerakan, menurut Rizal sebagaimana dikutip Aju, ketika istilah ini muncul untuk digunakan sebagai nama wilayah bangsa dan negara yang hendak dirikan, maka nama Nusantara segera tersingkir karena dianggap Jawa sentris.

“Jadi pemakaian nama ibukota baru itu Nusantara tidak mewakili pikiran Republik Indonesia yang dirikan sebagai amanat untuk setara, tetapi mewakili arogansi dan dominasi pikiran elite 'Keraton Jawa' gaya baru 2022,” ujar Rizal.

Jika mengacu kepada konsistensi dalam menjabarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, mestinya nama ibu kota negara di Provinsi Kalimantan Timur, mengakomodir aspek identitas dan kesejarahan Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Kalimantan.

Hal ini demi mewujudkan integrasi Kebudayaan Dayak dalam skala regional, nasional dan international.

Karena kebudayaan nasional, adalah kebudayaan asli dari berbagai suku-suku bangsa di Indonesia, maka Kebudayaan Dayak juga adalah bagian integral dari kebudayaan nasional.

Jadi sangat wajar, jika masyarakat Dayak di Kalimantan mengharapkan nama ibu kota negara mengacu ke aspek pembakuan rupabumi.

Salah satu point dari sembilan kesepakatan petisi organisasi kemasyarakatan Suku Dayak se-Kalimantan di Pontianak, Senin, 28 Februari 2022, yakni 'Mengembalikan dan memberi nama wilayah dan administrasi pemerintahan sesuai dengan ciri khas Dayak.

Ini meliputi: nama-nama jalan, pelabuhan, bandar udara, gedung sesuai dengan kesejarahan Dayak, tokoh suci panutan dalam mitos dan legenda suci Dayak, tokoh-tokoh pejuang Dayak dari aspek pembakuan nama rupabumi di Ibu Kota Negara Nusantara, demi mewujudkan identitas Dayak dalam skala nasional, regional dan internasional.***

Editor: Slamet Bowo SBS

Tags

Terkini

Terpopuler