Wagner Grup, Tentara Bayaran Rusia Mengganas di Afrika: Bantai Warga Mali dan Mauritania

- 8 Agustus 2022, 15:56 WIB
Kelompok tentara bayaran Rusia Grup Wagner mengklaim Moskow membutuhkan antara 600.000 dan 800.000 tentara untuk mengalahkan Ukraina.*
Kelompok tentara bayaran Rusia Grup Wagner mengklaim Moskow membutuhkan antara 600.000 dan 800.000 tentara untuk mengalahkan Ukraina.* /Reuters/

KALBAR TERKINI - Tentara bayaran (mercenary) legendaris dunia asal Rusia yakni Grup Wagner (Wagner Group) ternyata juga merajalela di negara-negara Benua Afrika.

Pasukan swasta bayaran, juga dikenal dengan sebutan Soldier of Fortune, juga merupakan judul sebuah tembang slow rock dari grup band Deep Purple.

Grup Wagner populer setelah kepergok digunakan oleh Pemerintah Rusia untuk berperang membantu Pemerintah Suriah dan membantu negara ini dalam perang di Ukraina.

Dalam catatan Kalbar-Terkini.com, sebagian besar personel Grup Wagner dilaporkan adalah kalangan pecatan tentara atau desertir dengan catatan hitam selama mereka aktif di kesatuan militer negara masing-masing.

Baca Juga: LINK NONTON FILM THE CONTRACTOR SUB INDO! Film Baru Garapan STX Film, Aksi Tentara Bayaran Dimulai

Pasukan tentara swasta ini dikenal kejam. Mereka dilaporkan tega membunuh manusia seperti binatang, sebagaimana dilaporkan Africa News, mengutip AFP, sebagaimana dilansir Kalbar-Terkini.com, Sabtu, 6 Agustus 2022.

Grup Wagner terlihat muncul di Mali, dan disebut sebagai 'tentara kulit putih'. Mereka diduga terlibat dalam kematian 33 warga sipil di Mali, termasuk 29 warga Mauritania dan empat warga Mali.

Menurut laporan pakar dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang dikonsultasikan oleh AFP pada Jumat, 5 Agustus 2022, ke-33 warga sipil ini ditemukan tewas setelah hilang sejak 5 Maret 2022.

Baca Juga: Tentara Bayaran Grup Warner Hadapi Pengadilan Internasional

Warga-warga sipil ini berasal dari Robinet El Ataye di wilayah Segou di Mali, dekat perbatasan dengan Mauritania, yang menyebabkan kegemparan baik di Mali maupun Mauritania.

Ironisnya, kekejaman ini justru dilakukan oleh Tentara Mali dengan melibatkan Grup Wagner. Mereka dilaporkan melakukan 'tindakan kriminal secara berulang' terhadap warga di wilayah perbatasan antarnegaraini.

Pemerintah Mali dan Mauritania telah meluncurkan penyelidikan bersama, yang hasilnya belum dipublikasikan pada awal Agustus 2022 ini.

Menurut seorang diplomat di New York, AS, aksi terakhir adalah bagian dari operasi kelompok paramiliter Grup Wagner, yang telah dikerahkan bersama militer Mali sejak Januari 2022.

Baca Juga: Kerap Mencuri di Pedesaan, Tentara Bayaran Turki Tega pula Culik Warga Suriah

Sementara itu, Pemerintah Rusia membantah terlibat dengan kehadiran Grup Wagner di Mali dan Mauritania.

Dilaporkan bahwa pada 5 Maret 2022 pukul 8.30 pagi (setempat dan GMT), sekelompok tentara kulit putih tiba dengan helikopter di Robinet El Ataye.

Ini adalah sebuah desa dengan banyak sumur yang sering digunakan oleh penggembala Mali dan Mauritania yang mencari padang rumput, menurut laporan.

Para prajurit ini mengumpulkan para pria, termasuk remaja, mengikat tangan mereka di belakang punggung, dan menutup matanya.

Mereka kemudian digiring ke tengah desa, sementara perempuan dan anak-anak diperintahkan pulang, dan tidak melihat, demikian laporan.

Menurut kelompok pencari fkata dari kedua negara ini, mereka tidak dapat mengunjungi lokasi, tetapi telah mengumpulkan beberapa kesaksian.

Tentara yang dikerahkan kemudian menjarah harta benda dari rumah-rumah warga, termasuk tempat tidur, ponsel, perhiasan, peralatan memasak, dan pakaian.

Pukul 11 pagi, sekelompok FAMAS, nama Angkatan Bersenjata Mali, tiba di desa.

FAMAS kemudian memukuli orang-orang yang ditutup matanya menggunakan tongkat yang digunakan oleh para gembala.

Para wanita yang dikurung di dalam rumah hanya bisa mendengar tangisan para pria yang dipukuli, catat laporan kelompok tersebut.

FAMAS kemudian dilaporkan membebaskan beberapa pria yang lebih muda, dan membawa 33 pria, yang terdiri dari 29 warga Mauritania dan empat warga Mali (Tuareg).

Setelah keberangkatan tentara pada jam dua siang, para wanita menunggu sia-sia kembalinya para pria ke desa.

Keesokan harinya, kerabat menemukan mayat empat kilometer dari Robinet El-Ataye, jelas para ahli.

"Mereka telah ditembak dan kemudian dibakar," tulis laporan para ahli dari kelompok ini.

Panel mengacu pada pola serupa penjarahan dan pemukulan di lima tempat lain di daerah itu pada 5 dan 6 Maret 2022, meskipun tidak ada yang terbunuh.

Kelompok ini mencatat bahwa sebelas mayat yang ditemukan di Robinet El Ataye dilaporkan telah diserahkan kepada keluarga mereka oleh pihak berwenang Mauritania.

Mereka memiliki akses ke desa, seperti halnya pihak berwenang Mali, selama pekerjaan komisi penyelidikan bersama.

Selain komisi ini, pembukaan penyelidikan juga telah diumumkan oleh pengadilan militer di Bamako.

Namun, militer, yang berkuasa di Mali setelah dua kudeta pada Agustus 2020 dan Mei 2021, tetap bersikeras bahwa tentara Mali tidak ada hubungannya dengan penghilangan ini.

Tentara Mali telah melakukan banyak operasi militer untuk memburu kelompok jihad di wilayah Segou dan Mopti di Mali tengah sejak awal 2022.

Tentaranya telah beberapa kali dituduh melakukan pelecehan oleh LSM.

Republik Mali (bahasa Prancis: République du Mali) adalah sebuah negara yang terkurung daratan di Afrika Barat, sebelumnya merupakan jajahan Prancis.

Negara terbesar kedua di Afrika Barat ini, dilansir dari Wikipedia, berbatasan dengan Aljazair di sebelah utara, Niger di timur, Burkina Faso dan Pantai Gading di selatan, Guinea di barat daya, serta Mauritania di barat.

Perbatasannya di sebelah utara memanjang ke tengah gurun Sahara, dan penduduknya tinggal di wilayah selatan, di mana terdapat Sungai Niger dan Senegal.

Awalnya bernama Sudan Prancis, nama Mali sendiri mengambil nama dari turunan Mali.

Mali menjadi pusat perdagangan emas yang membuat pemimpinnya, Mansa Musa menjadi salah satu orang terkaya dalam sejarah.

Mansa Musa adalah seorang muslim yang taat. Dalam perjalanan ibadahnya ke Mekkah, Mansa Musa membawa banyak budak, emas, dan pengawal berkain sutra.

Dia membagikan emasnya kepada orang-orang miskin yang dilaluinya.

Secara tidak sadar, donasinya ini menyebabkan harga emas di Timur Tengah menjadi turun drastis.

Kota yang paling terkenal di Mali adalah Timbuktu, yang terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan di Afrika pada abad ke-14- 16.

Selain itu, kota ini juga dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran dan pendidikan Islam di Afrika dengan berdirinya Universitas Timbuktu.

Timbuktu pada masa kejayaannya merupakan bagian dari turunan Mali.

Kota lain yang terkenal adalah Djenné yang terdapat Masjid Raya Djenné yang terbuat dari lumpur.

Masjid ini dimasukkan dalam lambang negara Mali dan menjadi situs warisan dunia UNESCO.

Pada 20 Desember 2012, untuk membantu Mali merebut kembali wilayah utara itu, yang kini dikuasai kelompok pemberontak Islam,

Dewan Keamanan PBB, menyetujui pengiriman pasukan militer Afrika.

Pemberontak Tuareg dan kelompok militan Islam yang terkait Al-Qaeda, memanfaatkan kudeta pada Maret 2022 untuk menguasai wilayah utara yang luas.

Sementara itu, Republik Islam Mauritania adalah sebuah negara yang berada di Afrika Utara.

Negara ini berbatasan dengan Mali di timur dan selatan, Senegal di barat daya, Samudra Atlantik di sebelah barat, Sahara Barat di utara dan barat laut, dan Aljazair di timur laut.

Mauritania adalah negara terbesar kesebelas di Afrika, yang 90 persen wilayahnya terletak di Sahara.

Sebagian besar dari 4,4 juta penduduknya tinggal di daerah beriklim sedang di selatan, dengan kira-kira sepertiganya terkonsentrasi di ibu kota sekaligus kota terbesarnya, Nouakchott di pesisir Atlantik.

Nama negara ini berasal dari Mauretania, sebuah wilayah yang menjadi tempat kerajaan-kerajaan Berber berdiri dari abad III-VII SM di ujung barat laut Afrika yang sekarang menjadi wilyah Maroko dan Aljazair.

Bangsa Berber mulai menduduki wilayah Mauritania sejak abad III Masehi. Bangsa Arab menaklukkan daerah ini pada abad VIII, membawa Islam, budaya Arab, dan bahasa Arab.

Pada awal abad ke-20, Mauritania dijajah oleh Prancis sebagai bagian dari Afrika Barat Prancis.

Mauritania mencapai kemerdekaannya pada 1960. Sejak saat kemerdekaannya, Mauritania mengalami kudeta berulang kali, dan mengalami periode kediktatoran militer.

Peristiwa paling baru terjadi pada 6 Agustus 2008, ketika pemerintahan digulingkan dalam suatu kudeta militer, yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Ould Abdel Aziz.

Pada 16 April 2009, Aziz mengundurkan diri dari militer untuk mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden pada 19 Juli, dan menang.

Dia juga memenangkan pemilihan presiden berikutnya pada 2014.

Mohamed Ould Ghazouani menggantikan Abdel Aziz setelah memenangkan pemilihan umum pada 2019.

Peristiwa ini dianggap sebagai transisi kekuasaan damai pertama di Mauritania sejak kemerdekaan.

Secara budaya dan politik, negara ini adalah bagian dari dunia Arab. Mauritania adalah anggota Liga Arab dan bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa resmi negara.

Bahasa Prancis digunakan secara luas dan berfungsi sebagai basantara, mencerminkan budaya warisan kolonialnya.

Agama resminya adalah Islam, dan hampir seluruh penduduknya beragama Islam Suni.

Terlepas dari identitas Arab-nya, Mauritania adalah negara multietnis, di mana 30 persen populasinya adalah kaum Bidan, atau biasa disebut 'moor putih'.

Sedangkan kaum Haratin, atau biasa disebut 'moor hitam', terdiri dari 40 persen

Kedua kelompok tersebut mencerminkan perpaduan etnis, bahasa, dan budaya Arab-Berber.

Sebanyak 30 persen sisa populasinya terdiri dari berbagai kelompok etnis sub-Sahara.

Meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk bijih besi dan minyak bumi, Mauritania adalah salah satu di antara negara-negara miskin.

Basis utama ekonominya ada pada pertanian, peternakan, dan perikanan.

Sekitar 20 persen dari penduduk Mauritania hidup dengan penghasilan kurang dari 1,25 dolar AS per hari.

Perbudakan di Mauritania merupakan masalah hak asasi manusia paling utama, dengan sekitar empat persen (155.600 orang) dari populasi negara menjadi budak.

Jumlah tersebut adalah yang tertinggi dari semua negara. Masalah HAM lain di Mauritania termasuk mutilasi alat kelamin perempuan, poligami, dan pekerja anak.

Mauritania adalah negara terakhir di dunia yang menghapus perbudakan, pada 1981, dan mengkriminalisasikannya pada 2007.***

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Berbagai Sumber Africa News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x