Junta Militer Myanmar Kian Brutal! Eksekusi Dua Politikus Senior: PBB dan ASEAN tak Berguna!

- 27 Juli 2022, 00:17 WIB
Ko Jimmy and Phyo Zayar Thaw, duaaktivis Myanmar yang dieksekusi mati
Ko Jimmy and Phyo Zayar Thaw, duaaktivis Myanmar yang dieksekusi mati /Myanmar Now

KALBAR TERKINI - Keberadaan Perserikatan Bangsa-bangsa apalagi sekelas ASEAN, tak berguna. Junta militer Myanmar kian brutal karena tak tersentuh hukum internasional.

Pada Senin, 25 Juli 2022, junta mengeksekusi dua pembangkang politik utama.

Keduanya, Ko Jimmy (52), seorang veteran pemberontakan pro-demokrasi 1988; dan Phyo Zayar Thaw (41), mantan anggota parlemen Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) serta dua lainnya.

Baca Juga: Junta Myanmar 'Nangis Darah': Total Energies dan Puma Hentikan Operasional!

Dua aktivis lama, dijatuhi hukuman mati pada Januari 2022, karena diduga merencanakan untuk melakukan serangan ke sasaran rezim.

Kduanya telah berada dalam tahanan militer sejak penangkapan mereka pada akhir 2021, sebagaimana dilansir Kalbar-Terkini.com dari portal berita independen Myanmar, Myanmar Now.

Dua pria lainnya, Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw, dieksekusi karena diduga membunuh informan militer, menurut juru bicara junta.

Mereka telah didakwa di bawah Undang-undang Kontra-Terorisme, dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer di Yangon, karena 'membunuh warga sipil yang tidak bersalah'.

Baca Juga: Junta Myanmar Bom Gereja, Empat Warga Tewas

“Hukuman telah dilakukan di bawah prosedur penjara,” menurut sebuah pernyataan yang muncul di Global New Light of Myanmar, media corong junta, Senin.

Tidak ada rincian lebih lanjut yang diberikan.

Myanmar Now telah menerima informasi bahwa keluarga para tahanan diundang ke Penjara Insein Yangon pada Jumat lalu.

Pihak keluarga diizinkan berkomunikasi dengan mereka dari sebuah gedung di dalam kawasan penjara melalui Zoom, tetapi tidak secara langsung.

Baca Juga: Nekat Bunuh Orang Gurkha, Junta Myanmar akan 'Kena Batunya'

Keesokan paginya, keempat tahanan dilaporkan dieksekusi di halaman penjara.

Menurut sumber di penjara, tubuh mereka dikremasi di pemakaman Htein Pin Yangon pada hari yang sama. Informasi ini tidak dapat dikonfirmasi pada saat pelaporan.

Menurut sumber, Ko Jimmy terlihat sehat dan kuat dan memberi tahu anggota keluarga,

“Jangan khawatir. Setiap orang memiliki bagian karmanya masing-masing. Saya melakukan beberapa meditasi hari ini. Saya hidup dengan Dhamma saya sendiri," katanya.

Setelah pertemuan Zoom, anggota keluarga diberitahu oleh pejabat bahwa prosedur penjara akan dilanjutkan.

Mereka tidak boleh kembali ke penjara untuk membawa makanan atau obat-obatan untuk para tahanan.

Setelah pengumuman dibuat pada Senin bahwa mereka telah dieksekusi, keluarga Ko Jimmy dan Phyo Zayar Thaw kembali ke penjara.

Mereka datang bersama pengacara untuk meminta informasi lebih lanjut dari otoritas penjara.

Menurut sumber yang dekat dengan keluarga, petugas penjara menolak memberitahukan kapan eksekusi dilakukan.

Ketika keluarga bertanya apakah mereka bisa mengumpulkan mayat-mayat itu, para pejabat mengatakan bahwa tidak ada keharusan secara hukum untuk membebaskan mayat-mayat itu.

“Mereka tidak akan mengadakan pemakaman," kata sumber itu tentang keluarga, yang menolak untuk menerima bahwa orang yang mereka cintai telah dibunuh oleh rezim.

"Ini benar-benar tidak dapat diterima," tambah sumber itu.

Menurut angka yang dirilis oleh Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) pada 22 Juli 2022, total 117 orang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer.

Ini terjadi sejak kudeta militer tahun lalu, termasuk 41 orang yang dijatuhi hukuman in absentia.

Pada Maret 2021, junta Myanmar memberlakukan darurat militer di 11 kotapraja, termasuk enam di Yangon dan di seluruh negeri.

Junta memberikan otoritas yudisial dan administratif absolut kepada otoritas militer regional di wilayah tersebut.

Pada saat yang sama, junta juga menetapkan hukuman mati untuk 23 kejahatan yang tercakup dalam KUHP, yang sebagian besar tidak akan diperlakukan sebagai kejahatan berat di pengadilan sipil.

Baik Ko Jimmy dan Phyo Zayar Thaw dituduh memimpin, dan merencanakan serangan gerilya terhadap pasukan junta, dan sekutu mereka tahun lalu.

Ko Jimmy ditangkap saat penggerebekan di Kotapraja Dagon Utara pada akhir Oktober 2021.

Dia kemudian dikirim ke rumah sakit militer di Kotapraja Mingaladon., dan dirawat di unit perawatan intensif selama berhari-hari karena cedera yang dideritanya selama penangkapannya oleh angkatan bersenjata.

Militer mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Ko Jimmy pada 13 Februari 2021, menuduhnya menghasut kerusuhan dan mengancam 'ketenangan publik'.

Ini karena dia menulis posting di media sosial yang kritis terhadap kudeta.

Selama delapan bulan berikutnya, dia sering berpindah lokasi untuk menghindari penangkapan saat berpartisipasi dalam berbagai demonstrasi.

Lahir dengan nama Kyaw Min Yu, Ko JImmy juga seorang penulis.

Dia dipenjara pada 1988 karena perannya dalam gerakan anti-kediktatoran ketika itu.

Hingga 2005, Ko Jimmy tetap di balik jeruji besi. Pada tahun 2007, setelah Revolusi Saffron, Ko Jimmy ditangkap lagi, dan ditahan hingga 2012.

Ko Jimmy meninggalkan seorang istri, Nilar Thein—juga seorang aktivis generasi 1988—dan seorang remaja putri.

Mantan anggota parlemen Phyo Zayar Thaw ditangkap oleh militer pada November 2021 di Kotapraja Dagon Seikan. Junta menuduhnya mengatur berbagai serangan terhadap sasaran rezim kudeta.

Phyo Zayar Thaw mewakili Kotapraja Zabuthiri di Naypyitaw setelah mengamankan kursi Majelis Rendah dalam pemilihan 2015, yang dimenangkan NLD dengan telak.

Dia sebelumnya memenangkan kursi di Kotapraja Pobbathiri Naypyitaw selama pemilihan sela pada 2012.

Sebelum menjadi politisi, dia adalah seorang aktivis pro-demokrasi terkemuka, yang sebelumnya menjadi terkenal sebagai anggota band hip-hop perintis, Acid.

Setelah eksekusi junta, organisasi masyarakat sipil Progressive Voice meminta pemerintah asing untuk memberlakukan embargo senjata global, dan sanksi yang ditargetkan terhadap junta.

“Dunia harus segera bertindak untuk mengutuk eksekusi kejam empat aktivis demokrasi di Myanmar dan menghentikan tindakan teror militer Myanmar yang menyedihkan,” kata pernyataan kelompok itu.

Khin Ohmar, Ketua Progressive Voice, menggambarkan eksekusi tersebut sebagai contoh 'kekebalan militer atas kampanye terornya terhadap rakyat Myanmar'.

Komentar itu merujuk pada penindasan yang meluas setelah kudeta pada Februari 2021.

Penentangan nasional terhadap kekuasaan militer melalui protes, pemogokan buruh dan perlawanan bersenjata, telah dihadapi dengan kebrutalan oleh angkatan bersenjata junta.

Tercatat, sedikitnya 2.100 orang telah tewas selama periode ini, dan junta terus menahan lebih dari 10.000 orang di penjara seluruh negeri, menurut laporan AAPP.

Pembunuhan pengunjuk rasa yang meluas dan sistematis, serangan membabi buta terhadap seluruh desa, dan sekarang eksekusi para pemimpin oposisi, menuntut tanggapan segera dan tegas oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa.

Demikian tulis Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB tentang situasi kemanusiaan di Myanmar.

Dia menyebut eksekusi baru-baru ini sebagai 'tindakan bejat', yang seharusnya menjadi 'titik balik bagi respons dunia terhadap krisis [Myanmar]'.


Elaine Pearson, Penjabat Direktur Asia di Human Rights Watch menyatakan bahwa eksekusi tersebut adalah 'tindakan kekejaman total'.

“Kebiadaban dan ketidakpedulian junta terhadap kehidupan manusia bertujuan untuk mendinginkan gerakan protes anti-kudeta,” katanya dalam sebuah pernyataan.

Dia menyerukan pemerintah asing untuk menunjukkan kepada junta bahwa akan ada konsekuensi atas kekejaman dan kejahatannya.

“Mereka harus menuntut tindakan segera, termasuk pembebasan semua tahanan politik, dan membiarkan junta tahu bahwa kekejaman yang dilakukan memiliki konsekuensi," kecamnya.

Amnesty International menyatakan bahwa hukuman mati telah menjadi alat bagi junta dalam penganiayaan, intimidasi, dan pelecehan yang sedang berlangsung terhadap semua yang menentang rezim kudeta.


“Eksekusi ini merupakan perampasan nyawa secara sewenang-wenang dan merupakan contoh lain dari catatan hak asasi manusia Myanmar yang mengerikan,” kata Erwin van der Borght, direktur regional Amnesty International.***

Sumber: Myanmar Now

Editor: Arthurio Oktavianus Arthadiputra

Sumber: Myanmar Now


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x