Licik, ISIS dan al-Qaeda Gunakan Isu HAM: Terdesak Dihajar Militer Prancis

2 April 2021, 10:24 WIB
LAMBAIKAN TANGAN - Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Sementara Mali Bah Ndaw melambai kepada wartawan saat memasuki Istana Elysee di Paris, Prancis, 27 Januari 2021./REUTERS / GONZALO FUENTES/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

KALBAR TERKINI - Namanya saja teroris. Jika sudah kepepet, gerombolan pembunuh yang tega mengatasnamakan agama ini kerap berlindung di balik isu HAM.  Di Republik Mali, penyidik HAM PBB yang melibatkan warga lokal, mengklaim Prancis bertanggung jawab atas serangan udara yang menewaskan 19 warga sipil.

Warga sipil di negara-negara Afrika Barat selama ini diteror oleh gerombolan-gerombolan pengacau yang berafilasi dengan ISIS dan al-Qaeda.  Bukan hanya membunuh. Warga sipil tak bersalah kerap ditemukan tewas dibantai dengan leher terpenggal.

Prancis telah menempatkan lima ribu personel militer di Mali dan negara-negara Afrika Barat lainnya untuk memerangi gerombolan al-Qaeda dan ISIS. Mali adalah sebuah negara yang terkurung daratan di Afrika Barat, sebelumnya merupakan jajahan Prancis.

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 2 April 2021, Elsa Bocorkan Andin Adalah Pembunuh Roy

Baca Juga: Ramalan Zodiak 2 April 2021: Cinta Gemini Bingung, Enggan Sekedar Jadi Teman

Baca Juga: Sejarah 2 April, Perdagangan Indonesia-Eropa Dibuka Pertama Kali oleh Cornelis de Houtman

Negara terbesar kedua di Afrika Barat ini, berbatasan dengan Aljazair di sebelah utara, Nigeria di timur, Burkina Faso dan Pantai Gading di selatan, Guinea di barat daya, serta Mauritania di barat. Perbatasannya di sebelah utara memanjang ke tengah gurun Sahara. Mayoritas penduduk Mali tinggal di wilayah selatan, yang dibelah Sungai Niger dan Senegal.

Atas rekomendasi PBB, sebagaimana dilansir dari Wikipedia, Mali -yang dahulunya bernama Sudan Prancis ini sejak 20 Desember 2012-, dimasuki oleh pasukan militer Afrika dan juga Prancis PBB, satu di antara lima negara Anggota Tetap di Dewan Keamanan PBB. Pasukan-pasukan  ini  membantu Mali merebut kembali wilayah utara negerinya yang dikuasai kelompok pemberontak Tuareg dukungan teroris al-Qaeda.

Prancis: Kesaksian Palsu Militan

Hadir utuk membantu Pemerintah Mali untuk memberangus pemberontak dan semua gerombolan al-Qaeda dan ISIS, Prancis menolak tuduhan kelompok HAM tersebut. Sebab, tuduhan ini diduga kuat terkait dengan kepentingan teroris serta pemberontak.

Dikutip Kalbar-Terkini.com dari Reuters, Jumat, 2 April 2021,  penyelidik PBB mengklaim, serangan udara Prancis menewaskan 19 warga sipil serta tiga pria bersenjata di suatu pesta pernikahan, dekat Desa Bounti, Mali tengah, Minggu, 3 Januari 2021.

Penyelidik PBB menerbitkan laporan tersebut pada Selasa, 30 Maret 2021. Sementara kelompok advokasi lokal dan internasional, termasuk Asosiasi HAM Mali (Malian Association for Human Rights/AMDH), Amnesti Internasional dan Oxfam France, menuntut Prancis dan Mali melakukan investigasi independen sendiri.

"Kami meminta pihak berwenang Mali dan Prancis untuk menempatkan pencarian keadilan di pusat tindakan mereka, terutama melalui penyelidikan independen dan mendalam," kata Presiden AMDH Moctar Mariko dalam sebuah pernyataan.

Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly, tiba di Mali pada Rabu, 31 Maret 2021  malam untuk mengunjungi Prancis dan pasukan Eropa lainnya. Menurutnya, Prancis tidak akan melakukan penyelidikan ketika ditanya oleh wartawan.

"Yang kami inginkan adalah penyelidikan (PBB) ini, yang dilakukan secara sepihak, harus mempertimbangkan argumen yang ingin kami tekankan untuk pertama kalinya," kata Parly, Kamis, 1 April 2021. 

Pemerintah Prancis mengkritik penggunaan akun saksi yang berlebihan, yang dianggap berisi kesaksian palsu simpatisan militan, atau orang-orang yang berada di bawah pengaruh gerombolan teroris dan pemberontak. 

Parly menegaskan,  pantauan udara militer Prancis memungkinkan untuk mengidentifikasi target sebagai militan. Hasil pantauan, berupa gambar-gambar target dari udara itu, bersifat rahasia milik intelijen Prancis, sehingga tidak akan dibagi dengan penyelidik PBB.

Hal itu pernah dilakukan Prancis pada 2020 setelah berhasil membunuh seorang pemimpin senior al-Qaidah. "Tidak ada tentara di dunia yang memiliki kebiasaan menyediakan data-data  yang memungkinkan musuhnya memahami apa yang kita ketahui tentangnya," tegas Parly.*** 

 

Sumber: Wikipedia & Reuters

 

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler