Namun di saat para peneliti berorientasi menghasilkan terobosan-terobosan baru untuk kesejahteraan petani, justru nasib petani sering tidak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan.
Permasalahan perdagangan bahan baku sawit ada kemungkinan tidak berada di bawah radar Kementerian Perdagangan.
Tidak seperti bahan pangan lainnya. Jangan-jangan ini karena secara intensif ditangani oleh Kementerian Pertanian dari hulu sampau pabrik kelapa sawit (PKS).
“Fakta di lapangan seperti itu, dinas pertanian/perkebunan yang terlibat dalam penentuan harga TBS.
Apakah ini yang melatarbelakangi terjadinya kebijakan DMO/DPO yang kurang ramah petani sawit? Ini perlu dilakukan kajian oleh para pakar di MAKSI,” katanya.
Diakui Darmono, dirinya sudah lama mengamati fenomena jungkir baliknya harga TBS petani sawit dan menyarakan agar petani bisa produksi CPO sendiri.
Resikonya lebih kecil daripada jualan TBS sawit, karena kalau melesetnya tidak bisa jual CPO yang standar, petani sawit bisa jual palm acid oil (PAO) atau industrial palm oil (IVO).
Momentum ini harus dapat digunakan sebagai cambuk bagi seluruh petani sawit di Indonesia untuk merubah posisinya dalam rantai pasok sawit tersebut.
“MAKSI pun saat ini sedang menjajagi penggunaan teknologi yang dikembangkan oleh perusahaan swasta untuk produksi CPO/PAO/IVO sawit rakyat,” tandas Darmono.
Ini bakal menjadi tantangan baru bagi pemerintah di bawah kendali Presiden Jokowi, menjaga senyum ibu-ibu atau mensejahterakan petani sawit.Kita tunggu saja.***