Larangan non-Muslim di Malaysia Ucapkan Kata 'Allah', Tokoh Dayak: Pemerintahnya Harus Bijak

- 20 Maret 2021, 00:28 WIB
GEREJA KRISTUS - Gereja Kristus dibangun oleh Belanda ketika mereka menguasai Malaka dari Portugis. Ini  merupakan salah satu bangunan Malaka yang paling terkena dan juga di seluruh Malaysia. Terletak di Jalan Gereja (Church Street), bangunan merah bata langsung dapat dikenali dengan salib putih besar di atasnya. Gereja Kristus dibangun pada 1753 untuk merayakan satu abad pendudukan Belanda. Bagian dalam katedral memiliki bangku buatan tangan berusia 200 tahun, lampu kipas dekoratif, dan plakat yang menghormati tentara Belanda dan penduduk setempat./MALACCA/
GEREJA KRISTUS - Gereja Kristus dibangun oleh Belanda ketika mereka menguasai Malaka dari Portugis. Ini merupakan salah satu bangunan Malaka yang paling terkena dan juga di seluruh Malaysia. Terletak di Jalan Gereja (Church Street), bangunan merah bata langsung dapat dikenali dengan salib putih besar di atasnya. Gereja Kristus dibangun pada 1753 untuk merayakan satu abad pendudukan Belanda. Bagian dalam katedral memiliki bangku buatan tangan berusia 200 tahun, lampu kipas dekoratif, dan plakat yang menghormati tentara Belanda dan penduduk setempat./MALACCA/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

PONTIANAK, KALBAR TERKIN - Larangan Pemerintah Malaysia bagi non-Muslim menggunakan kata 'Allah' dianggap terlalu berlebihan. "Hanya soal kata itu   dalam dialek bahasa Arab, kok jadinya begini," kata Tobias Ranggi, tokoh adat Organisasi Dayak Internasional, Jumat, 19 Maret 2021.

Dihubungi  Kalbar-Terkini.com di Kabupaten Kapuas Hulu dari Kota Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat, Ranggi mengingatkan, nabi-nabi umat Islam dan Nasrani juga sama. "Sebelum agama Islam ada,  kata Allah juga sudah ada kok. Bagaimana orang Nasrani di Libanon atau Irak sebut 'Allah'?  Kan pengucapannya sama dengan umumnya lidah orang Arab. Ini mengada-ada,"  tambahnya.

Sebagai tokoh Organisasi Dayak Internasional, yang juga membawahi komunitas Dayak di Malaysia, termasuk di Negara Bagian Sabah dan Serawak, Ranggi mengimbau supaya permasalahan seperti itu tidak memancing konflik hingga ke Indonesia. "Saya rasa Pemerintah Malaysia harus bijaksana, menjaga masalah ini jangan membuat negaranya terpecah-pecah, karena ada umat Nasrani juga di sana," tambahnya.

Baca Juga: Kapal Terbakar, Petugas Damkar dan Satpam Berkelahi di Pintu Pelabuhan

Baca Juga: Targetkan Anak Pahami Keberagaman, 75 Orang Ikut Pelatihan Guru Online Kebhinekaan

Baca Juga: Di AS, 'Wabah' Membunuh Orang Asia Tiga Abad Silam, Kini Terulang

Sementara itu, dilansir  The Star dari Malaysia, Jumat ini, Council of Churches of Malaysia (CCM) menilai, tidak tepat untuk berdialog tentang masalah penggunaan kata 'Allah' oleh non-Muslim. Sebab,  Pemerintah Malaysia terlanjur  mengajukan banding terhadap keputusan Pengadilan Tinggi Malaysia, yang sebelumnya  menyetujui penggunaan kata 'Allah' dan sejumlah istilah Islam oleh umat Nasrani.

Presiden Uskup Agung Datuk Meltar Jiki Tais menyatakan,  Kementerian Dalam Negeri yang menyerukan dialog dengan non-Muslim pada akhir Maret 2021 juga merupakan  salah satu pemohon banding itu.

 “Dalam laporan surat kabar tertanggal 19 Maret 2021, Menteri Dalam Negeri dilaporkan berencana untuk memulai dialog antara ulama dan Kristen untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, kami menyadari bahwa pemerintah telah mengajukan banding atas keputusan Pengadilan Tinggi pada 15 Maret 2021," tambahnya.  

Halaman:

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x