Surat Al Kafirun, Asbabun Nuzul Beserta Artinya per Ayat Sebagai Berikut

24 Mei 2021, 11:18 WIB
Al-Qur'an Surah Al Kafirun ayat 1-6. /seputar lampung/dzikri abdi setia

KALBAR TERKINI – Di zaman Rasulullah SAW, pertentangan kaum Quraisy begitu luar biasa.

Berbagai cara dilakukan mulai dari cara lembut hingga mengibarkan bendera perang.

Rasulullah pun pernah ditawarkan untuk saling menghormati antar agama yang ada yakni Islam dan ajaran nenek moyang.

Baca Juga: Keistimewaan Membaca Surah Kahfi di Hari Jumat, Berikut Hadist yang Menyertainya

Maka Allah SWT menurunkan Surat Al Kafirun yang menjadi penegasan bahwa agama tidak mungkin berganti-ganti satu hari dengan hari yang lain.    

Surat Al Kafirun (الكافرون) adalah surat ke-109 dalam Al Quran. Berikut ini terjemahan, asbabun nuzul, dan tafsir Surat Al Kafirun.

Surat ini terdiri dari enam ayat dan merupakan Surat Makkiyah. Dinamakan surat Al Kafirun yang berarti “orang-orang kafir” karena surat ini memerintahkan Rasulullah untuk berbicara kepada orang-orang kafir bahwa beliau takkan menyembah berhala yang mereka sembah.

Ia dinamakan juga Surat Al ‘Ibadah. Karena surat ini memproklamirkan ibadah hanya kepada Allah dan takkan beribadah kepada berhala yang disembah orang kafir. Dinamakan pula Surat Ad Din sebagaimana ayat terakhir.

Baca Juga: Rasulullah SAW Menikah di Bulan Syawal, Panduan Bagi Kalian yang Mencari Waktu Terbaik Pernikahan

Nama lainnya adalah surat Al Munabadzah dan Muqasyqasyah. Dinamakan Muqasyqasyah atau Muqasyqisyah (penyembuh) karena kandungannya menyembuhkan dan menghilangkan penyakit kemusyrikan.

Surat Al Kafirun beserta Artinya

Berikut ini Surat Al Kafirun dalam tulisan Arab, tulisan latin dan artinya dalam bahasa Indonesia:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ . لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

(Qul yaa ayyuhal kaafiruun, laa a’budu maa ta’buduun. Walaa antum ‘aabiduuna maa a’bud. Wa laa ana ‘aabidum maa ‘abadtum. Wa laa antum ‘aabiduuna maa a’bud. Lakum diinukum waliya diin)

Artinya:
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.

Baca Juga: Rasulullah Berpuasa Lebih Sering 29 Hari Dibanding 30 Hari, Berikut Hadis Yang Mendasari Rukyatul Hilal

Asbabun Nuzul

Ibnu Katsir menjelaskan asbabun nuzul Surat Al Kafirun dalam tafsirnya. Bahwa orang-orang kafir Quraisy pernah mengajak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyembah berhala-berhala mereka selama satu tahun.

Lalu mereka akan menyembah Allah selama satu tahun. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan surat ini.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas terkait asbabun nuzul Surat Al Kafirun ini.

Bahwa Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, Aswad bin Abdul Muthalib dan Umayyah bin Khalaf menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mereka mengatakan, “Wahai Muhammad, marilah kami menyembah Tuhan yang kamu sembah dan kamu menyembah Tuhan yang kami sembah. Kita bersama-sama ikut serta dalam perkara ini.

Jika ternyata agamamu lebih baik dari agama kami, kami telah ikut serta dan mengambil keuntungan kami dalam agamamu.

Jika ternyata agama kami lebih baik dari agamamu, kamu telah ikut serta dan mengambil keuntunganmu dalam agama kami.”

Penawaran seperti itu adalah penawaran yang bodoh dan konyol. Maka Allah pun menurunkan Surat Al Kafirun sebagai jawaban tegas bahwa Rasulullah berlepas diri dari agama mereka.  

Sayyis Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menjelaskan, bangsa Arab tidak mengingkari adanya Allah. Akan tetapi, mereka tidak mengerti hakikat-Nya sehingga mempersekutukan-Nya.

Mereka beribadah kepada berhala yang mereka buat untuk menggambarkan orang shalih atau malaikat yang menjadi perantara mendekatkan diri kepada Allah.

Mereka sendiri menganggap malaikat adalah anak perempuan Allah.

Mereka merasa heran ketika Rasulullah mendakwahkan tauhid, untuk beribadah hanya kepada Allah.

Mereka pun menentang dakwah itu dengan berbagai cara. Setelah gagal menghentikan Rasulullah dengan menyakiti beliau, mereka menawarkan harta dan jabatan.

Ketika upaya itu juga gagal, mereka mengambil jalan kompromi. Menawarkan kerjasama dengan bersama-sama menyembah Tuhan mereka selama satu tahun.

Lalu tahun berikutnya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah pun menurunkan Surat Al Kafirun sebagai jawabannya.

Tafsir Surat Al Kafirun

Tafsir surat Al Kafirun ini bukanlah tafsir baru. Kami berusaha mensarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah. Agar ringkas dan mudah dipahami.

Ayat 1

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,

Kata qul (قل) yang berarti “katakanlah” merupakan firman Allah dan perintah-Nya agar Rasulullah menyampaikan ayat ini kepada orang-orang kafir, secara khusus kafir Quraisy. Yakni sebagai jawaban atas tawaran mereka.

Kata ini membuktikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan segala sesuatu yang diterimanya dari ayat-ayat Al Quran yang disampaikan oleh malaikat Jibril.

Seandainya ada sesuatu yang disembunyikan, yang paling wajar adalah menghilangkan kata qul ini.

Kata al kaafiruun (الكافرون) berasal dari kata kafara (كفر) yang berarti menutup. Disebut kafir karena hatinya tertutup, belum menerima hidayah Islam.

Siapapun yang tidak menerima Islam, maka ia adalah kafir. Baik itu orang-orang musyrik maupun ahli kitab. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al Bayyinah: 6)

Namun secara spesifik, al kaarifuun yang diajak bicara di Surat Al Kafirun ini adalah orang-orang kafir Quraisy yang mengajak kerjasama menyembah Tuhan secara bergantian.

Sebagai penegasan bahwa tidak mungkin Rasulullah menyembah tuhan mereka dan tidak ada titik temu antara kemusyrikan dengan tauhid.

Ayat 2

لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

Kata a’budu (أعبد) merupakan bentuk kata kerja masa kini dan akan datang (fi’il mudhari’).

Ini merupakan penegasan bahwa Rasulullah tidak akan menyembah tuhan mereka baik di masa kini maupun masa depan.

Menurut Ibnu Katsir, makna maa ta’buduun adalah berhala-berhala dan sekutu-sekutu yang mereka ada-adakan.

Rasulullah tidak akan menyembah mereka dan tidak akan memenuhi ajakan orang kafir dalam sisa usianya.

Ayat 3

وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir itu juga tidak akan menyembah Tuhan yang disembah Rasulullah di masa kini dan masa datang.

Meskipun nantinya penduduk Makkah berbondong-bondong masuk Islam, namun orang-orang yang mendatangi Rasulullah untuk mengajak menyembah tuhan mereka, semuanya tidak masuk Islam bahkan mati terbunuh dalam kondisi kafir.

Ibnu Katsir menjelaskan, maa a’bud (ما أعبد) adalah Allah semata. Lafazh maa bermakna man.

Ayat 4

وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah

Ada sebagian mufassir yang menyamakan makna ayat 4 ini dengan ayat 2. Dan menyamakan makna ayat 5 dengan ayat 3. Padahal jika diperhatikan kata yang digunakan, akan didapati makna yang terkandung di dalamnya.

Kata ‘abadtum (عبدتم) merupakan bentuk kata kerja masa lampau (fi’il madhi). Berbeda dengan kata ta’budun (تعبدون) pada ayat 2 yang merupakan fi’il mudhari’.

Perbedaan maa ta’buduun dan maa ‘abadtum ini menunjukkan bahwa apa yang mereka sembah di masa kini dan esok bisa berbeda dengan apa yang mereka sembah di masa kemarin. Sedangkan untuk Allah yang diibadahi Rasulullah, digunakan kata yang sama yakni maa a’bud. Menunjukkan konsistensi ibadah dan ketaatan hanya kepada Allah. Tidak akan berubah.

Ayat 5

وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ

dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

Perhatikan redaksi ayat 3 dan ayat 5 ini. Sama-sama digunakan kata maa a’bud (ما أعبد) yang merupakan bentuk kata kerja masa kini dan masa datang (fi’il mudhari’). Menegaskan bahwa apa yang beliau sembah tidak berubah.

Sayyid Qutb mengatakan bahwa ayat ini merupakan penegasan terhadap ayat sebelumnya agar tidak ada lagi salah sangka dan kesamaran. Supaya tidak ada lagi prasangka dan syubhat.

Syaikh Muhammad Abduh mengatakan, ayat 2 dan ayat 3 menjelaskan perbedaan yang disembah. Sedangkan ayat 4 dan 5 menjelaskan perbedaan cara beribadah. Tegasnya, yang disembah lain, cara menyembah juga lain.

Ayat 6

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.

Kata diin (دين) artinya adalah agama, balasan, kepatuhan dan ketaatan. Sebagian ulama memilih makna balasan karena menurut mereka orang kafir Quraisy tidak memiliki agama.

Sedangkan yang mengartikan din sebagai agama, bukan berarti Rasulullah mengakui kebenaran agama mereka namun mempersilakan menganut apa yang mereka yakini.

Didahulukannya kata lakum (لكم) dan liya (لي) menggambarkan kekhususan karena masing-masing agama berdiri sendiri dan tidak perlu dicampurbaurkan.

Ibnu Katsir mengutip Imam Bukhari bahwa lakum diinukum yakni kekafiran, sedangkan waliya diin yakni Islam.

Sayyid Qutb menegaskan, “Aku di sini dan kamu di sana! Tidak ada penyeberangan, tidak ada jembatan dan tidak ada jalan kompromi antara aku dan kamu!”

“Sesungguhnya jahiliyah adalah jahiliyah dan Islam adalah Islam. Perbedaan antara keduanya sangat jauh.”

Sedangkan Buya Hamka menegaskan dalam Tafsir Al Azhar, “Soal aqidah, di antara tauhid mengesakan Allah.

Sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampuradukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya adalah kemenangan syirik.”***

Editor: Slamet Bowo Santoso

Sumber: Bersama Dakwah.

Tags

Terkini

Terpopuler