Afghanistan: Negeri Multietnis yang Meratap Sepanjang Masa

11 Mei 2021, 01:38 WIB
ETNIS HAZARA - Etnis Hazara adalah bagian dari keberadaan garnizun Kekaisaran Mongol ketika menyerbu Afghanistan. Pada 1221, pasukan Mongolia menghadapi begitu banyak perlawanan ketika tiba, dan mengepung Lembah Bamiyan./ILUSTRASI TENTARA BERKUDA MONGOLIA: ENKHTAMIR ENKHDAVAA FROM PIXABAY/CAPTION: OKTAVIANUS CORNELIS/ /ENKHTAMIR ENKHDAVAA FROM PIXABAY

KALBAR TERKINI -Afghanistan adalah  negara yang terus meratap sepanjang zaman. Didiami orang Pashtun sebagai pribumi, Afghanistan juga dihuni oleh kalangan keturunan alias blasteran dari ras pendatang terutama Arab, India dan Mongol.

Itu sebabnya, Afghanistan sepanjang sejarah telah identik dengan konflik antaretnis  lewat panglima-panglima perang, yang di masa moderen berkembang menjadi  konflik antarsesama  Islam. Selama berabad-abad, terus berjatuhan korban dari kalangan rakyat jelata, alias sesama mahluk ciptaan-Nya, yang ditakdirkan lahir dengan beragam ciri khas fisik dari ras  masing-masing.

Di Kota Kabul,  Ibu Kota Afghanistan, kalangan Muslim Syiah dari etnis Hazara yang berwajah blasteran Mongolia, adalah musuh bebuyutan Taliban dari Muslim Sunni.  Lewat gerakan nasionalis Muslim Sunni, etnis  Hazara jadi bulan-bulanan, terutama di Kota Kabul, Ibu Kota Afghanistan.  

Terakhir, Sabtu, 8 Mei 2021, bom mobil meledak di kompleks sekolah Syed Al-Shahda, Sabtu, 8 Mei 2021, menewaskan puluhan pelajar. Sebagian  besar korban adalah murid perempuan berusia 13 sampai 18 tahun.  

Baca Juga: Taliban Diduga Bantai lagi 16 Warga Afghanistan: Masyaallah! Pura-pura 'Bingung'

Berada di kawasan Muslim Syiah dari etnis Hazara, yang mendominasi pemukiman di Dasht-e-Barchi, para murid di sekolah ini  dari kalangan keluarga tidak mampu Muslim  Syiah,  musuh bebuyutan Taliban, gerakan radikal Muslim Sunni.

Sejak Era Mongolia-Koalisi AS 

Etnis Hazara selalu diburu oleh Taliban. Di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, banyak warga Afghanistan dari etnis Hazara yang tinggal di sana, untuk mencari suaka karena menjadi bulan-bulanan teror di negaranya.

Hazara adalah bagian dari keberadaan garnizun Kekaisaran Mongol  ketika menyerbu Afghanistan. Pada 1221, dikutip Kalbar-Terkini.com dari The Diplomat, 30 Juni 2017, pasukan Mongolia menghadapi begitu banyak perlawanan ketika tiba, dan mengepung Lembah Bamiyan.  

Perlawanan sengit ini akhirnya menewaskan  cucu Genghis Khan.  Dengan marah, orang Mongol membunuh sebagian besar penduduk asli di lembah itu, kemudian digantikan oleh keturunannya.

Sebagian besar orang Hazara modern yang tinggal di sana adalah keturunan dari garnisun Mongol, yang banyak di antaranya mengambil istri dari etnis Tajik.

Tak satu pun kerajaan di masa lalu,  atau koalisi-negara modern yang bisa menaklukkan suku-suku yang bertikai di wilayah itu hingga di era modern negara Afghanistan.

Baca Juga: Serangan Bom Mobil Kabul: Parlemen 'Ngamuk', Pemerintah Dianggap Gagal!

Bahkan, sejak masuknya AS di Afghanistan pada 2001, karena mengejar gerombolan al-Qaeda (yang dilindungi Taliban pasca serangan di Menara Kembar,  11 September 2001), kini AS pun angkat tangan. Begitu pula pasukan koalisinya dari  Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Presiden Joe Biden bahkan bersikeras tak mau memperpanjang lagi keberadaan  pasukan AS di Afghanistan, yang disebut tugas terlama bagi negaranya di suatu negara: dua dekade! Banyak prajurit AS telah tewas dalam pengabdian yang tanpa akhir sebagai 'polisi dunia'.

Afghanistan merupakan negara yang begitu rumit. Taliban terus mendapatkan kekuatan, sementara ISIS sempat berkembang di seluruh negeri. Taliban, ISIS, berbagai panglima perang, dan pemerintah Afghanistan,  terus berperang satu sama lain.

Dalam artikelnya di Atlantik, penulis Peter Beinart menggambarkan perang yang dipimpin AS saat ini di Afghanistan,  sebagai perang tanpa harapan: Taliban tidak mungkin membuat kesepakatan,  karena waktu ada di pihak mereka.

Taliban hanya 'harus menunggu'  sampai AS memutuskan untuk benar-benar pergi dari Afghanistan.

Keterlibatan AS di Afghanistan menjadikannya sebagai konflik terpanjang dalam sejarah AS. Ini dengan catatan: kemungkinan pengecualian keterlibatan AS di Perang Perang Vietnam, tergantung sejauh mana seseorang menafsirkan kronologi konflik itu.

AS telah mengucurkan dana untuk membiayai pasukannya selama di negara itu. Dengan budget yang yang lebih banyak daripada untuk membangun kembali negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II, hanya sedikit kemajuan yang dicapai AS selama di Afghanistan.

Tidak mengherankan,  jika Taliban terus menguasai seluruh Afghanistan, menebar teror, dan kian memperlemah pemerintahan.

Baca Juga: Bom Mobil Kabul, Hazara Persenjatai Diri : Sudah Cukup Kami Diserang!

Negara yang Sulit Diperintah

Afghanistan dikenal sebagai  negara yang sulit diperintah. Kekaisaran demi kerajaan, bangsa demi bangsa,  telah gagal menenangkan apa yang sekarang menjadi wilayah modern Afghanistan, sehingga memberi wilayah itu julukan 'Makam Kerajaan'.

Bahkan,  semua kekaisaran yang pernah hadir di sana, hanya sekedar memenangkan beberapa pertempuran awal.

Ketika AS dan NATO akhirnya memutuskan meninggalkan Afghanistan,  langkah itu akan menjadi yang terbaru,  dari serangkaian negara yang sudah terlebih dahulu melakukannya.

Seperti yang dipelajari Inggris dalam perang pada 1839-1842 di Afghanistan: kerap  lebih mudah berbisnis dengan penguasa lokal dengan dukungan rakyat,  ketimbang mendukung pemimpin yang didukung oleh kekuatan asing.

Jika pun lumayan bertahan, biaya untuk menopang pemimpin dukungan asing pun akhirnya bertambah. Kerajaan paling bersejarah,  yang paling dekat untuk mengendalikan Afghanistan, telah mengadopsi pendekatan 'ringan tangan'.

Seperti yang dilakukan Kerajaan Mughal: berhasil mengontrol daerah itu secara longgar, dengan membayar berbagai suku, atau memberi mereka otonomi. Upaya apapun yang menyerupai kontrol terpusat, bahkan oleh pemerintah asli Afghanistan sekalipun, sebagian besar telah gagal.

Afghanistan sangat sulit ditaklukkan, dan sulit diperintah. Ini terutama karena tiga faktor.

Pertama, karena Afghanistan terletak di jalur darat utama,  antara Iran, Asia Tengah, dan India.  

Afghanistan telah diserang berkali-kali,  dan dihuni oleh sejumlah besar suku. Banyak yang saling bermusuhan satu sama lain dan orang luar.  

Kedua, karena frekuensi invasi dan maraknya kesukuan di daerah tersebut,  maka pelanggaran hukum mengarah ke situasi,  di mana hampir setiap desa atau rumah, dibangun seperti benteng, atau qalat.  

Ketiga, medan fisik Afghanistan membuat penaklukan dan pemerintahan menjadi sangat sulit, memperburuk kecenderungan sukunya. Afghanistan didominasi oleh beberapa gunung tertinggi dan bergerigi di dunia.

Ini termasuk Hindu Kush, yang mendominasi negara,  dan mengalir melalui tengah dan selatan negara, serta pegunungan Pamir di timur. Pamir Knot, tempat pertemuan Hindu Kush, Pamir, Tian Shan, Kunlun, dan Himalaya di Badakhshan, timur laut Afghanistan.

Sebuah survei tentang sejarah Afghanistan menunjukkan tentang betapa sulitnya menduduki dan memerintah negara tersebut.   

Pada sekitar 500 SM, negara ini  membentuk bagian timur kekaisaran Achaemenid dari Persia. 

Sebagian Afghanistan sebelumnya merupakan bagian dari kerajaan India kuno,  Gandhara, sebuah wilayah di tempat yang sekarang menjadi Pakistan barat laut,  dan Afghanistan timur.    

Sebagian besar Afghanistan selatan dan timur diyakini telah dihuni oleh nenek moyang Pashtun saat ini (juga dikenal sebagai orang Afghanistan secara historis).

Bahasa Pashto dari mereka, sebenarnya adalah bahasa Iran timur kuno,  yang terkait erat dengan Avestan, yang bahkan lebih kuno: bahasa asli kitab suci Zoroaster.  

Afghanistan relatif sedikit penduduknya saat ini. Sebab,  Alexander Agung dilaporkan telah menyapu daerah itu dengan sedikit perlawanan.

Setelah itu, Kekaisaran Maurya dari India menguasai sebagian besar Afghanistan, meskipun kerajaan penerus Yunani muncul di Balkh (Baktria) di Afghanistan utara.  

Agama Buddha dan Hindu,  menyebar ke seluruh wilayah selama periode itu.

Hanya setelah runtuhnya Kekaisaran Maurya dan beberapa invasi dari Asia Tengah, maka barulah pegunungan Afghanistan mulai 'terisi', dan memperoleh reputasinya sebagai rumah bagi banyak orang yang suka berperang,  yang mempertahankan wilayah masing-masing.

Banyak penjajah telah berasimilasi dengan struktur suku Pashtun, kemudian menyesuaikan bahasa mereka.

Berbagai suku mendirikan kerajaan di wilayah Afghanistan,  sebelum pecah menjadi negara kecil. Ini termasuk Greco-Bactrians, Indo-Parthia, Saka (Scythians), the Great Buddha-building Kushan, Kidarites, dan Hephthalites (White Hun).

Ketika itu, wilayah tersebut telah memperoleh reputasi yang sulit.  

Baca Juga: Kabul Diserang Jahanam: Puluhan Siswi Tewas, Jenazah Berserakan bersama Buku dan Tas

Pasukan  Arab pun Dihajar

Ketika orang Arab tiba di wilayah itu pada awal abad VIII, wilayah tersebut adalah tambal sulam dari kerajaan kecil,  tapi kuat.

Upaya menaklukkan Zunbils dari Kandahar, gagal secara spektakuler, dan menjadi kemunduran besar pertama yang dihadapi oleh orang Arab setelah penaklukan besar mereka dimulai.  

Ekspedisi 20 ribu pasukan Arab yang dikirim melawan Zunbils,  hanya kembali dengan 5.000 orang.

Butuh hampir 200 tahun untuk mengislamkan Afghanistan, dari barat ke timur, sebuah proses yang hampir selesai ketika Ya'qub ibn al-Layth al-Saffar (seorang pandai besi Persia, yang lahir di Zaranj, Afghanistan, perbatasan dengan Iran), menaklukkan Kabul.  

Bahkan kemudian, dinasti Hindu Shahi bertahan selama seratus tahun lagi di bagian paling timur Afghanistan saat itu, hingga ditaklukkan oleh Mahmud dari Ghazni (juga di Afghanistan),  sekitar pergantian milenium. 

Ketika bangsa Mongol tiba di Afghanistan, mereka menghadapi begitu banyak perlawanan di lembah Bamiyan, yang mereka terkepung pada 1221, sehingga cucu Genghis Khan terbunuh.

Dengan marah, orang Mongol membunuh sebagian besar penduduk asli lembah itu: sebagian besar orang Hazara modern yang tinggal di sana adalah keturunan dari garnisun Mongol, beberapa di antaranya mengambil istri Tajik.

Fragmentasi terjadi lagi setelah melemahnya Kekaisaran Mongol.

Ẓahīr-ud-Dīn Muḥammad Babur, kaisar Mughal pertama, berhasil mendapatkan kerajaan di Kabul selama dua dekade,  sebelum menaklukkan India. Sebagian besar wilayah Hindu Kush, tetap di bawah kendali Mughal secara longgar hingga 1738. 

Baca Juga: Iran Dituduh Dalangi Serangan Roket ke Hanggar AS di Irak

Kiat Taklukkan Afghanistan: Tangan Besi! 

Mughal kemudian  ditaklukkan oleh Nader Shah,  dan diwarisi satu dekade kemudian oleh Ahmad Shah Durrani, yang mendirikan Afghanistan modern setelah kematian Nader Shah.

Pemerintahan Mughal atas Afghanistan,  adalah kombinasi dari kontrol atas beberapa pusat kota, dan pengabaian yang jinak,  ditambah dengan pembayaran suku-suku di wilayah tersebut, suatu formula yang kemudian direplikasi oleh Inggris.  

Namun, pemerintahan Mughal selalu menghadapi bahaya, karena Mughal menghadapi pemberontakan suku yang terus-menerus.

Pemberontakan yang sangat serius terjadi pada 1672-1677 pimpinan penyair Khushal Khan Khattak, namun  akhirnya dikalahkan oleh Kaisar Mughal, Aurangzeb. 

Kekaisaran Mughal meluas hingga ke barat,  sampai di Ghazni dan Bamiyan, Afghanistan tengah.

Setelah bertempur dengan Persia Safawi untuk Kandahar selama beberapa dekade, mereka kehilangan wilayah itu secara permanen,  selama masa pemerintahan Shah Jahan.   

Kaum Safawi juga harus berurusan dengan suku-suku Afghanistan yang sulit diatur. Pemberontakan melawan Safawi akhirnya pecah di Kandahar pada 1709,  karena upaya Persia untuk mengontrol suku Pashtun,  dan mengubah mereka menjadi Syiah Islam.

Pemberontakan Afghanistan menjatuhkan Kekaisaran Safawi. dan akhirnya Afghanistan modern didirikan pada 1747 oleh Ahmad Shah Durrani, yang mengambil wilayah dari keturunan Nader Shah di Persia, Mughal, dan Uzbek di utara.

Sejak itu, seperti yang telah dipelajari oleh Inggris dan Rusia: meskipun mungkin menaklukkan wilayah di Afghanistan untuk sementara waktu (dan mengalahkan orang-orang Afghanistan secara militer dalam pertempuran terbuka,), namun hampir tidak mungkin untuk menahan wilayah itu dalam waktu lama.

Sebab,  daerah itu akan kembali dipenuhi dengan gerilyawan,  suku, dan kastil yang terus-menerus dapat membebani kekuatan asing.  

Itu sebabnya,  AS  diklaim harus belajar dari sejarah Afghanistan,  dan memahami,  bahwa perang yang meningkat,  tidak akan berdampak khusus yang hasilnya signifikan.

Tanpa pendudukan permanen, yang paling tidak efektif, berdarah dan biaya mahal, merupakan satu-satunya cara untuk menangani Afghanistan.*** 

 

Sumber: The Diplomat, berbagai sumber 

 

 

Editor: Oktavianus Cornelis

Tags

Terkini

Terpopuler