KTT Undang Aung Hlaing, Pengamat Myanmar: ASEAN Penyemir Sepatu Jenderal Pembunuh!

- 24 April 2021, 18:25 WIB
UNJUK RASA - Sehari sebelum KTT ASEAN yang membahas khsusus konflik di Myanmar, para pengunjuk rasa di negara tersebut kembali berdemo. Mereka memegang spanduk bertuliskan ‘Apa kita ini? Kami adalah orang Yangon!'  saat mereka berbaris di pusat kota Yangon, Jumat,  23 April 2021./EPA-EFE/VIA MYANMAR  NOW/
UNJUK RASA - Sehari sebelum KTT ASEAN yang membahas khsusus konflik di Myanmar, para pengunjuk rasa di negara tersebut kembali berdemo. Mereka memegang spanduk bertuliskan ‘Apa kita ini? Kami adalah orang Yangon!' saat mereka berbaris di pusat kota Yangon, Jumat, 23 April 2021./EPA-EFE/VIA MYANMAR NOW/ /KALBAR TERKINI/OKTAVIANUS CORNELIS

KALBAR TERKINI - ASEAN dianggap   menjadi tukang semir sepatu para tersangka kriminal dan genosida orang Myanmar terutama pemimpin junta Jenderal Aung Min Hlaing lewat undangan menghadiri KTT-nya di Jakarta, Sabtu,  24 April 2021.

Saat Perserikatan Bangsa-bangsa  (PBB)  tak diharapkan lagi fungsinya dalam menangani konflik di Myanmar, KTT ASEAN dianggap menjadi harapan bagi rakyat Myanmar. Belakangan, dengan mengundang rezim itu maka Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nation /ASEAN)  dianggap tidak mendengarkan suara 50 juta rakyat Myanmar lewat  keberadaan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) paralel, dan sama saja melegitimasi kejahatan rezim terhadap rakyat Myanmar.

Bahkan, dikutip Kalbar-Terkini.com dari The Irrawaddy, Jumat, 23 April 2021,  sebelum rombongan junta datang ke Jakarta,  NUG  sudah menyurati Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol) untuk menangkap pemimpin kudeta Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan jajarannya sebagai penjahat  internasional, dan bisa dibekuk  saat mereka berada di Jakarta untuk menghadiri KTT ASEAN.

Baca Juga: Pesawat Poseidon Ikut Buru KRI Nanggala 402, Berikut Profil Pesawat Pemburu Kapal Selam Tersebut

U Lwin Ko Latt, Menteri Dalam Negeri NUG menegaskan, kejahatan ini terkait pelanggaran HAM berat oleh rezim junta  terhadap etnis Muslim Rohingnya dan pengunjuk rasa. Lebih 700 orang telah tewas sejak rezim mengkudeta kepemimpinan  Aung San Suu Kyi dari Liga Nasional untuk Demokrasi di Myanmar, 1 Februari 2021.

Pihak NUG menambahkan, seruan oleh pemerintah paralel Myanmar,  yang baru dibentuk untuk diundang ke KTT ASEAN, telah diabaikan,  sementara justru pemimpin junta yang diundang.  

Menurut Naw Susanna Hla Hla Soe, mantan anggota parlemen majelis tinggi yang sekarang menjabat Menteri Urusan Wanita,  Pemuda dan Anak-anak NUG,  telah mendesak ASEAN untuk tidak mengakui pemimpin kudeta tersebut, dan mendengarkan  suara rakyat Myanmar.

"Rakyat kami tidak bisa menunggu lama negosiasi,  jika ASEAN mengatakan mereka bekerja sesuai saran komunitas internasional termasuk China, tetapi mereka membutuhkan waktu.  Jika anggota ASEAN ingin menengahi, mereka harus bertemu dengan pemerintah baru Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional, tidak boleh sendirian bertemu dengan pihak junta," tegasnya.

Namun, lanjut Hla Soe, dengan mengetahui sejarah ASEAN maka pihaknya tidak dapat terlalu mengandalkan ASEAN.

"Namun karena kami bertetangga,  dan situasi Myanmar saat ini telah menjadi masalah regional, kami berharap akan ada beberapa pemimpin ASEAN yang akan mendengarkan keinginan lebih dari 50 juta orang di Myanmar. Sekarang berbeda dengan pengalaman masa lalu, tentunya. Namun, ASEAN tidak menunjukkan dukungan atau mengakui pemerintahan rakyat, NUG. Mereka mengundang pemimpin junta, dan kami kecewa," tegasnya.

Baca Juga: Termasuk Kapal Selam Kursk, Berikut Deretan Kepala Selam di Dunia yang Hilang dan Menewaskan Ribuan Awak

 

ASEAN tak Hormati Rakyat Myanmar

Senada itu,  Dr Tin Maung Than, seorang analis politik Myanmar  berkata:  "Saya pikir ASEAN akan mengambil sikap berdasarkan isu-isu yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB. Jika memungkinkan,  ASEAN mungkin ingin menengahi. tapi untuk itu, Myanmar (junta) harus menerimanya."

"Jika tidak, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang dapat dilakukan ASEAN,  adalah terlibat secara konstruktif. Tapi,  ada resiko itu,  dan ada batasannya juga.  Ada risiko, karena anggota ASEAN lainnya terlibat dengan terduga penjahat genosida Myanmar. ASEAN seharusnya  melihat 'kemauan dan kepentingan rakyat Myanmar', seperti yang didesak oleh DK PBB pada 4 Februari 2021," tegasnya.  

"Keinginan dan kepentingan rakyat,  bertentangan dengan rencana junta, termasuk mengadakan pemilihan dengan kemungkinan  melakukan marjinalisasi terhadap Liga Nasional untuk Demokrasi. Jika ASEAN mengabaikan kemauan rakyat, upaya ASEAN hanya akan menyemir sepatu para tersangka kriminal Myanmar [dituduh],  genosida,  dan kejahatan terhadap kemanusiaan," tambah Maung Than.

Menurutnya,  ASEAN perlu menghormati keinginan rakyat Myanmar karena telah memiliki pemerintah sipil, NUG, dan kami mendukungnya,  karena NUG mewakili rakyat. "Jenderal Min Aung Hliang adalah seorang pemimpin teroris dan penjahat. Oleh karena itu, jika ASEAN mengadakan pembicaraan mengenai Myanmar, NUG tidak boleh lepas. Kami sangat keberatan dengan keputusan ASEAN untuk tidak mengundang NUG, " lanjut Maung Than.

Ditegaskan,  rakyat Myanmar, menghormati peran komunitas internasional, termasuk ASEAN dan PBB. "Kami memahami,  perjuangan kami ada di dalam diri kami, dan kami akan melanjutkan serangan kami, untuk melawan kudeta militer dan kediktatoran. Kami juga meminta masyarakat di negara-negara anggota ASEAN, untuk bersolidaritas dengan rakyat Myanmar,  dan mendengarkan suara kami," pintanya.

Baca Juga: Hilangnya KRI Nanggala 402 Jadi Trending Pencarian di Amerika Serikat

Lagi-lagi ASEAN Sebatas 'Mengimbau'

Sementara itu, U Than Soe Naing, seorang analis politik di Myanmar menilai, ASEAN tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menyelesaikan masalah Myanmar.

"Apa yang dapat dilakukannya,  ketika Dewan Keamanan PBB tidak dapat menyelesaikan urusan Myanmar? Saya rasa,  tidak ada keputusan signifikan yang akan keluar dari KTT ASEAN.  Keputusan tersebut dapat dianggap sebagai keberatan terhadap kudeta,  atau menyerukan pembebasan para pemimpin yang ditahan,  dan membawanya ke meja perundingan," katanya.

Ditambahkan, ASEAN mengundang Aung Hlaing, bukan Pemerintah Persatuan Nasional sipil. Artinya, ASEAN menerima Dewan Tata Usaha Negara junta,  tetapi tidak mengakui NUG. Jadi,  undangan itu dianggap tidak adil.

"Meskipun saya tidak berpikir ASEAN akan dapat membuat keputusan apa pun untuk menyelesaikan masalah Myanmar, apa yang mungkin mereka lakukan, setidaknya hanya menyerukan diakhirinya kekerasan yang meningkat dan pembunuhan warga sipil oleh junta. Kami telah melihat Malaysia dan Indonesia aktif dan mengambil posisi mereka. Kami ragu-ragu untuk mengharapkan perubahan sikap di dalam blok tersebut," tambah Soe Naing.

"Kami, rakyat Myanmar, tidak dapat berharap banyak dari KTT ASEAN,  karena blok (ASEAN) hanya dapat bekerja dalam prinsip-prinsipnya, termasuk kebijakan non-interferensi, sebagaimana dinyatakan dalam piagam mereka," tegasnya. "Mereka membutuhkan konsensus dari semua negara anggota,  untuk mengeluarkan pernyataan. Itu benar untuk setiap blok,  yang dibentuk oleh negara yang berbeda."

"Mereka (ASEAN) memiliki keterbatasan. Untuk tetangganya, Myanmar, mereka harus berpikir serius, apakah mereka harus mendorong sanksi atau tindakan lain [terhadap pembuat kudeta], karena mereka juga memiliki kepentingan sendiri," tandas Soe Naing.

Pihak NUG telah meminta Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol) untuk menangkap pemimpin kudeta Jenderal Senior Min Aung Hlaing atas kejahatannya terhadap kemanusiaan pada Rohingya dan pengunjuk rasa.

Sementara dilansir dari The Associated Press, Sabtu, seorang diplomat dari Asia Tenggara mengakui, satu proposal telah dibahas dalam pertemuan pendahuluan, terkait rencana  Perdana Menteri Brunei Hassanal Bolkiah sebagai Ketua ASEAN untuk melakukan perjalanan ke Myanmar.

Jika junta setuju maka Bolkiah  akan bertemu dengan pimpinan militer dan kelompok Suu Kyi untuk mendorong dialog, didampingi oleh Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi, juga dari Brunei.

Sedikit harapan untuk terobosan selama pertemuan dua jam di KTT antara  Aung Hlaing dengan enam kepala negara dan tiga menteri luar negeri yang mewakili ASEAN.   “Tragedi yang sedang berlangsung memiliki konsekuensi serius bagi Myanmar, ASEAN, dan kawasan,” kata Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan pada malam KTT.

Diplomat lain menyatakan, bantuan kemanusiaan dapat ditawarkan ke Myanmar jika kondisinya membaik. Sementara Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi berharap, semua pihak  dapat mencapai kesepakatan tentang langkah-langkah selanjutnya yang dapat membantu rakyat Myanmar keluar dari situasi yang sulit ini.

Sebagaimana prediksi U Than Soe Naing, analis politik di Myanmar, KTT tersebut hanya sebatas 'imbauan' atau 'menyarankan'.  Dikutip dari The Associated Press, ASEAN melalui Brunei mengeluarkan pernyataan yang tidak diharapkan atas skudeta:  mengutuk perebutan kekuasaan,  tetapi ironisnya, mendesak  adanya 'upaya dialog, rekonsiliasi,  dan kembali normal sesuai kemauan dan kepentingan rakyat Myanmar.

Di tengah tekanan Barat, bagaimanapun,  ASEAN sebagai kelompok regional telah berjuang untuk mengambil posisi yang lebih kuat dalam berbagai masalah,  tetapi tetap pada pendekatan non-konfrontatifnya.

"Semua negara ASEAN setuju untuk bertemu  Aung Hlaing,  tetapi tidak menyebutnya sebagai kepala negara Myanmar di KTT itu," kata diplomat Asia Tenggara itu.

Para kritikus menilai,  keputusan ASEAN untuk bertemu dengannya tidak dapat diterima. Sebab, ini  sama saja dengan melegitimasi penggulingan dan tindakan keras mematikan.  Amnesti Internasional mendesak Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya,  untuk menyelidiki Aung Hlaing terkait  'tuduhan kredibel atas tanggung jawab kejahatan terhadap kemanusiaan di Myanmar'.

"Sebagai negara pihak dalam konvensi PBB melawan penyiksaan,  Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk menuntut atau mengekstradisi tersangka pelaku di wilayahnya," demikian Amnesti Internasional.

“Krisis Myanmar yang dipicu oleh militer,  telah memberi ASEAN ujian terbesar dalam sejarahnya,” kata Emerlynne Gil dari kelompok HAM  yang berbasis di London. "Ini bukan masalah internal Myanmar, tetapi masalah hak asasi manusia dan kemanusiaan yang besar, dan  berdampak pada seluruh wilayah dan sekitarnya."

Aparat Polri selama KTT telah membubarkan puluhan pengunjuk rasa yang menentang kudeta dan kunjungan pemimpin junta itu. Lebih 4.300 polisi disebarkanke seluruh wilayah DKI Jakarta  untuk mengamankan pertemuan, yang diadakan di bawah pengamanan ketat di tengah pandemi.

Keragaman ASEAN, termasuk ikatan yang berbeda dari banyak anggotanya dengan China atau AS, bersama dengan kebijakan dasar untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain,  dan memutuskan melalui konsensus. Hal ini telah melumpuhkan kemampuan ASEAN  untuk secepatnya menangani krisis di Myanmar.***

 

Sumber: The Irrawaddy, The Asosciated Press

 

 

 

Editor: Oktavianus Cornelis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x