Peneliti Kalimantan Temukan Spesies Burung yang Hilang Sejak 172 Tahun Lalu

- 4 Maret 2021, 08:04 WIB
Tangkapan layar - Paparan tentang burung pelanduk dari Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati pada Direktorat Jenderal KSDAE Indra Eksploitasia secara daring diakses dari Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Tangkapan layar - Paparan tentang burung pelanduk dari Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati pada Direktorat Jenderal KSDAE Indra Eksploitasia secara daring diakses dari Jakarta, Selasa (2/3/2021). /Virna P Setyorini/Antara

KALBAR TERKINI – Satwa endemik Pulau Kalimantan kembali ditemukan peneliti setelah dinyatakan hilang  selama 172 tahun.

Adalah burung pelanduk kalimantan yang memiliki nama latin Malacocincla perspicillata yang diduga mengalami kepunahan sejak 1848 atau 172 tahun yang lalu kembali ditemukan di Kalimantan Selatan.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno saat "media briefing" di Jakarta, Selasa, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada para citizen science.

Baca Juga: Punahnya Anjing Penyanyi Papua Nugini: Lolongannya Memilukan, 'Saingan Beratnya Panbers'

“Mereka adalah masyarakat yang bukan peneliti namun sukarela mengumpulkan dan menganalisa data ilmiah,” ujarnya dilansir Kalbar-Terkini.com dari Antara, Kamis 4 Maret 2021.

Ia mengatakan satwa liar akan sejahtera sepenuhnya apabila hidup di alam habitatnya.

Hal itu juga menegaskan bahwa pihaknya memerangi perburuan ilegal satwa liar yang dilindungi.

Baca Juga: Calon Guru PPPK Wajib Kuasai Program Belajar Mandiri

Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama, Balai Taman Nasional (TN) Sebangau Teguh Willy Nugroho mengatakan burung pelanduk kalimantan yang ditemukan sesuai dengan digambarkan ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte pada 1850.

Berdasarkan spesimen yang dikumpulkan pada 1840-an oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner selama ekspedisinya ke Kalimantan.

Sejak saat itu, tidak ada spesimen atau penampakan lain yang dilaporkan.

Baca Juga: Bangga Ikut Perkenalkan Budaya Jepang, Japan Corne's Untan Lahirkan Duta Baru

Selain itu, asal muasal spesimen masih menjadi misteri, bahkan pulau di mana spesimen tersebut diambil juga tidak jelas.

Asumsi awal bahwa spesimen tersebut diambil di Pulau Jawa pada 1895 bahwa ahli ornitologi Swiss Johann Büttikofer menunjukkan waktu itu Schwaner berada di Pulau Kalimantan.

Spesimen inilah kemudian menjadi spesimen satu-satunya di dunia sehingga semua rujukan dan deskripsi morfologi burung mengacu kepada satu spesimen tersebut.

Baca Juga: Fasilitasi Seleksi PPDB SMA Pradita Dirgantara, Lanud Supadio Wujudkan Peran Pembangunan Pendidikan di Kalbar

Burung penyanyi yang tergolong dalam keluarga Pellorneidae itu, sebelumnya diklasifikasikan Rentan oleh IUCN.

Pada 2008, status burung tersebut berubah menjadi “Kurang Data” berdasarkan penelitian terbaru yang menunjukkan kurangnya informasi yang dapat dipercaya.

Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P 106 Tahun 2018, burung itu belum masuk satwa dilindungi.

Awal mula burung tersebut ditemukan merupakan ketidaksengajaan oleh dua warga lokal di salah satu wilayah di Kalimantan Selatan.

Baca Juga: Univeritas Panca Bhakti Sukses Gelar Merdeka Belajar, Purwanto: Siap Wujudkan Kampus Hijau

Salah satu dari mereka merupakan anggota dari grup sosial media bernama Galeatus yang merupakan grup komunitas dan komunikasi mengenai seluk-beluk burung.

Setelah berdiskusi dan ditelaah oleh tim admin, mereka kemudian menghubungi ahli burung dari Birdpacker untuk mencari informasi lebih lanjut terkait dengan temuan tersebut.

"Terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada saat ini, di antaranya pada warna iris mata, paruh, dan warna kaki. Itulah yang membuat identifikasi mengalami kesulitan saat pertama kali melihat morfologi burung ini," ujar Teguh yang juga salah satu penulis makalah mengenai burung itu.

Baca Juga: Dibangun Secara Swadaya Masyarakat, Sekda Kalbar Pastikan Bantu SMK Plus Sanggau

Ia menegaskan temuan tersebut juga membuktikan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan.

Dirinya berpendapat, pada kondisi pandemi COVID-19 seperti saat ini,  hal penting membangun jaringan antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional.

Serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, terutama spesies penting yang memiliki sedikit data.

“Jejaring ini dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia,” ujar Teguh.***

 

Editor: Slamet Bowo Santoso

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x