Lagi, Rakyat Myanmar Meratap: Para Menlu ASEAN tak Kompak, Teken 'Komunike Mandul'

- 7 Agustus 2022, 16:10 WIB
Sejumlah warga di Yangon, Myanmar, menggelar protes pascaeksekusi mati para aktivis pada 25 Juli 2022.
Sejumlah warga di Yangon, Myanmar, menggelar protes pascaeksekusi mati para aktivis pada 25 Juli 2022. /Reuters/Lu Nge Khit/

PHNOM PENH, KALBAR TERKINI - Terungkap sudah alasan kenapa Peerhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mandul menghadapi kekejaman rezim junta militer Myanmar.

Karena banyaknya kepentingan dan kebijakan politik masing-masing negara, maka Filipina, Malaysia, Indonesia, Laos, Singapura, Thailand, Vietnam dan Brunei, telah dituding tak berdaya menghadapi kekejaman junta Myanmar.

Padahal, sudah 2.100 lebih warga Myanmar terbunuh atau dibunuh, sejak rezim junta pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing mengkudeta kepempimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021.

Baca Juga: Junta Myanmar Ikat Tangan 12 Warga dan Ditembak: Mayat Dibakar Hangus!

Dalam pertemuan ini, sebagian besar Menlu ASEAN bersikap lembek menghadapi rezim tersebut.

Demikian terungkap dalam lima hari Pertemuan Menlu ASEAN ke-55 (55th ASEAN Foreign Ministers Meeting/AMM) sejak Rabu, 3 Agustus 2022 di sebuah hotel di Kota Pnom Penh, Ibukota Kamboja.

Media-media internasional yang meliput jalannya pertemuan, memberikan salut atas sikap keras Malaysia lewat Menlu Saifuddin Abdullah yang mengutuk kebrutalan rezim tersebut.

Baca Juga: Junta Militer Myanmar Kian Brutal! Eksekusi Dua Politikus Senior: PBB dan ASEAN tak Berguna!

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari The Asahi Shimpun, mengutip laporan The Associated Press, Jumat, 5 Agustus 2022, ASEAN yang kini dipimpin Kamboja, mengkritik Myanmar.

Hanya saja, kritikan dari perhimpunan ini lebih lemah dari yang diharapkan

Jadwal pertemuan pada Jumat, merupakan hari terakhir '55th ASEAN Foreign Ministers Meeting'. Para menlu seharusnya mengeluarkan komunike terakhir setelah serangkaian pertemuan.

Walaupun mengkritik Myanmar karena kurangnya kemajuan dalam mengakhiri kekerasan, tetapi kritik ini disampaikan dalam bahasa yang lebih lemah daripada harapan masyarakat internasional.

Baca Juga: Rakyat Myanmar terus Dibunuh, Justice for Myanmar: ASEAN Terlibat Kejahatan Perang dan Kemanusiaan!

Pemerintah rezim di Myanmar telah dituduh melakukan ribuan pembunuhan di luar proses hukum.

Bahkan pekan lalu, rezim melakukan eksekusi resmi pertamanya dalam beberapa dasawarsa, yang menimbulkan kecaman dari beberapa anggota ASEAN, dan negara-negara di sekitarnya.

ASEAN telah berusaha menerapkan konsensus lima poin yang dicapainya tentang Myanmar pada 2021.

Kelima konsensus tersebut, antara lain, menyerukan dialog di antara semua pihak terkait, penyediaan bantuan kemanusiaan, dan penghentian kekerasan sesegera mungkin.

Menyusul berita tentang eksekusi pada akhir Juli 2022, Menlu Malaysia Saifuddin Abdullah menuduh Myanmar 'mengejek proses lima poin'.

Namun, dalam komunike terakhir, para Menlu ASEAN hanya menyatakan:"...keprihatinan kami atas krisis politik yang berkepanjangan di negara ini, termasuk eksekusi empat aktivis oposisi...."

Juga sambil ditambahkan: "...sangat kecewa dengan terbatasnya kemajuan dalam penerapan konsensus lima poin..."

Dengan kekerasan yang sedang berlangsung di Myanmar, negara itu diminta untuk tidak mengirim perwakilan politik ke pertemuan ASEAN.

Sebagai protes, pemerintah militer Myanmar menyatakan setuju untuk tidak akan mengirim delegasi sama sekali, sehingga tidak terwakili dalam pembicaraan.

Namun dalam diskusi awal menjelang pertemuan utama, perwakilan tingkat rendah dari Myanmar menyatakan keberatan atas usulan kata-kata dari komunike.

Kritik keras ini diajukan oleh Malaysia, Singapura dan beberapa negara ASEAN lainnya agar Myanmar dikeluarkan dari ASEAN.

Hal ini disampaikan oleh seorang diplomat yang terlibat dalam pembicaraan, berbicara dengan syarat anonim untuk membahas pertemuan pribadi.

Meskipun ASEAN telah mencoba memproyeksikan dirinya sebagai pameran persatuan regional, blok yang beragam ini telah terus-menerus diterpa oleh agenda internal yang saling bertentangan.

Setelah pertemuan sepanjang hari pada Rabu, peserta menunda untuk mengeluarkan komunike bersama karena perbedaan atas beberapa bagian tentang Myanmar, menurut diplomat itu.

Kamboja membuat kompromi pada Kamis malam, yang membuka jalan bagi rilis komunike yang lebih lemah pada Jumat, lanjut diplomat itu.

Ada kekhawatiran bahwa jika kompromi tidak tercapai, maka sudut pandang yang kontras di Myanmar dapat menghalangi penerbitan komunike, seperti dalam insiden memalukan serupa pada 2012.

Ketika itu, Kamboja juga menjadi tuan rumah pertemuan tingkat menteri, menurut diplomat itu.

Dalam pertemuan pada 2012, kebuntuan yang belum terselesaikan berpusat pada apakah tindakan China yang semakin agresif di Laut China Selatan (yang disengketakan) harus dimasukkan dalam komunike.

Kamboja kemudian dituduh oleh Filipina dan Vietnam telah menghalangi penyebutan konflik teritorial yang semakin tegang.

Ini adalah pertama kalinya bagi blok tersebut, yang didirikan pada 1967, gagal mengeluarkan komunike pasca-konferensi dalam sejarahnya.

Penggulingan pemerintah Suu Kyi oleh militer memicu protes damai yang meluas yang ditindas dengan kekerasan.

Protes ini telah berkembang menjadi perlawanan bersenjata, dan negara itu telah tergelincir ke dalam apa yang oleh beberapa pakar PBB dicirikan sebagai perang saudara.

Lebih dari 2.100 orang telah dibunuh oleh pemerintah militer sejak mengambil alih kekuasaan dan hampir 15.000 telah ditangkap, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.

Ini adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang melacak pembunuhan dan penangkapan.

Adapun larangan bagi pemerintah miiliter Myanmar untuk mengikuti pertemuan itu juga sempat diprotes oleh sesama anggota ASEAN.

"Anda mencoba memecahkan masalah di Myanmar, tanpa berbicara dengan mereka,” kecam juru bicara Kamboja untuk pertemuan tersebut, Kung Phoak.

Pejabat Kementerian Luar Negeri Kamboja yang juga menjabat sebagai utusan khusus ASEAN untuk Myanmar ini menyatakan seharusnya militer Myanmar dilibatkan.

“Kami mencoba berbicara dengan mereka, mencoba menjelaskan kepada mereka, mencoba mengungkapkan rasa frustrasi kami," lanjutnya.

Tetapi, "Pada saat yang sama, kami juga ingin mendengar dari mereka tentang apa yang mereka pikirkan..."

"....dan bagaimana mereka dapat berbuat lebih banyak, sehingga kami (ASEAN) dapat memastikan bahwa pelaksanaan konsensus lima poin bergerak maju secepat mungkin," tambah Kung Phoak.

Adapun pertemuan pada 2022 ini merupakan pertama kali sejak pecahnya pandemi COVID-19, yang telah melemahkan ekonomi dan memperumit diplomasi.

Pertemuan ini juga dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan China, serta kenaikan harga pangan dan energi global setelah 'operasi militer' Rusia Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022.

“ASEAN harus menghadapi tantangan dari berbagai jenis dan tingkat tetapi belum pernah sebelumnya, tidak pernah seperti tahun ini," kata kata Menlu Kamboja Prak Sokhonn kepada delegasi sebelum pertemuan.

Pada saat yang sama, lanjutnya, ASEAN dihadapkan dengan begitu banyak bahaya untuk kawasan dan dunia pada umumnya.***

Sumber: The Associated Press, The Asahi Shimbun

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Berbagai Sumber The Associated Press


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x