PRT Indonesia Dominan di Taiwan: Gaji dan HAM tak Diakomodir dalam UU Perburuhan!

- 9 Maret 2022, 13:50 WIB
TKW Taiwan yang Dapat Majikan Kaya dan Baik Hati
TKW Taiwan yang Dapat Majikan Kaya dan Baik Hati /YouTube CianaNgomels/

KALBAR TERKINI - Kalangan pengasuh dan pekerja alias pembantu rumah tangga (PRT) di Taiwan masih dikecualikan dari perlindungan hak asasi manusia dalam UU Standar Perburuhan.

Di 'pulau separatis' China ini, pengasuh (biasnaya untuk anak-anak dan orang jompo) dan PRT adalah lapangan kerja terbesar kedua.

Sejak 2019, bidang ini masih didominasi orang Indonesia dari total 259.144 jiwa disusul orang Vietnam dan Filipina.

Baca Juga: Warga Taiwan Panik, Delegasi AS Mendadak Nongol di Taiwan: Provokasi bahwa Tiongkok akan Menyerang?

Terkait Hari Perempuan Internasional pada Selasa, 8 Maret 2022, Jaringan Pemberdayaan Migran di Taiwan (MENT) mendesak Pemerintah Taiwan untuk membuat undang-undang baru.

Dilansir Kalbar-Terkini.com dari Taiwan News, UU baru ini dapat meningkatkan kondisi kerja bagi pekerja pengasuhan dan PRT migran.

Keprihatinan ini disampaikan oleh pihak MENT dan kelompok lain dalam konferensi pers yang digelar di hadapan Kementerian Tenaga Kerja (MOL) pada Selasa lalu.

Baca Juga: Delegasi AS ke Taiwan, Dituding Ingin Naikkan Uang Jatah Preman dan Cari Aduan Baru

Pemerintah Taiwan didesak untuk segera memperbaiki kondisi kerja bagi para pengasuh dan PRT ini, sebagaimana pula dilansir dari CNA.

Menurut statistik MOL, 47,3 persen pramuwisma tidak mendapatkan hari libur pada tahun lalu. Sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 34 persen atau sekitar 70.000 pekerja pengasuh dan PRT menyatakan tidak diberikan hari libur selama bekerja.

Selain itu, kalangan ini rata-rata hanya menerima gaji 17.000 dolar NT atau setara dengan 595 dolar AS per bulan, yang lebih rendah dari upah minimum, menurut kelompok buruh tersebut.

Baca Juga: Taiwan Berisiko Dicaplok China Secara Dadakan, Pengamat: Barat Harus Prioritaskan Invasi Tiongkok!

Staf Asosiasi Pekerja Internasional Taiwan (TIWA) Betty Chen menyatakan, RUU layanan rumah tangga untuk menjamin kondisi kerja telah dibuat selama bertahun-tahun lalu.

"Tetapi, belum ada undang-undang seperti itu hingga saat ini. Pemerintah hanya mengedepankan program khusus untuk menjaga pekerja migran di dalam negeri," kecamnya.

Meskipun membutuhkan banyak pekerja pengasuhan dan PRT, menurut Chen, pemerintah seharusnya tidak ingin melihat mengapa banyak pekerja ini yang enggan tinggal berlama-lama di Taiwan.

Baca Juga: China Pastikan Caplok Taiwan jika Perang Ukraina Meletus, Boris Johnson: Kejutan Terdengar di Seluruh Dunia

"Alasan mereka adalah kondisi kerja yang buruk. Jika kondisi ini diperbaiki, mereka akan bertahan," katanya.

Chen pun mendesak Pemerintah Taiwan untuk segera memperbaiki masalah sistemik ini.

"Harus mulai menyusun UU layanan rumah tangga, untuk memastikan manfaat dasar bagi pengasuh dan pekerja rumah tangga migran, seperti gaji, hari libur, dan untuk mengatur jam kerja mereka," sarannya.

Sebagai tanggapan, MOL mengegaskan bahwa lingkungan kerja, jam kerja, dan istirahat bagi kalangan ini sangat berbeda dibandingkan rekan-rekan mereka yang bekerja di sektor industri.

Karena itu, sulit untuk menerapkan UU Standar Ketenagakerjaan bagi pekerja di bidang ini.

Untuk melindungi hak-hak pekerja rumah tangga, tambah MOL, mereka diharuskan menandatangani kontrak kerja dengan majikan sebelum datang ke Taiwan.

Dokumen ini juga memberikan istirahat yang cukup serta satu hari libur setiap tujuh hari, lanjut kementerian.

Selain itu, pemerintah sedang menegosiasikan penyesuaian gaji dengan negara asal pekerja migran yang mempertimbangkan manfaat pekerja dan beban majikan.

Data terakhir pada 2019, misalnya, masih dari Taiwan News, jumlah pekerja migran di Taiwan untuk semua sektor, , terus meningkat, dengan 706.060 pekerja dari luar negeri yang terdaftar.

Sebanyak 90 persen di antaranya berasal dari Indonesia dan Vietnam, menurut Direktorat Jenderal Anggaran, Akuntansi dan Statistik (DGBAS).

Menurut laporan yang dirilis oleh DGBAS pada 1 Juni 2019 saja, jumlah total pekerja asing di Taiwan naik menjadi 706.000, meningkat 3,3 persen dibandingkan periode yang sama pada 2108.

Tiga negara yang masih teratas dalam mendatangkan pekerja migran di Taiwan berdasarkan jumlah penduduk adalah orang Indonesia 271.000 (38,4 persen), Vietnam 221.000 (31,4 persen), dan Filipina 154.000 (21,8 persen).

Dari segi jenis kelamin, perempuan merupakan mayoritas, yaitu 385.000 pekerja (54,6 persen), sedangkan laki-laki sebanyak 321.000 (45,4 persen).

Untuk lapangan pekerjaan, 447.000 (63,3 persen) bekerja di bidang manufaktur, konstruksi, dan pertanian.

Lebih dari 70 persen pekerja di sektor ini adalah laki-laki dan 76,2 persen berusia di bawah 35 tahun.

Bidang terbesar berikutnya adalah perawatan dan pelayan rumah tangga, dengan jumlah 259.144 (36,7 persen) pekerja.

Dari kelompok ini, 99,3 persen adalah perempuan, dan 50 persen berusia antara 35 dan 44 tahun.

Kota-kota dengan pekerja migran terbanyak yang terlibat dalam manufaktur, konstruksi, dan pertanian adalah Taoyuan (91.000), Taichung (78.000), dan New Taipei City (56.000).

Kota-kota dengan pekerja migran terbanyak yang terlibat dalam perawatan dan layanan rumah tangga adalah Taipei sebanyak 44.000, dan New Taipei City dengan 43.000.***

Editor: Slamet Bowo SBS

Sumber: Taiwan News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x